Hak Asasi dan Ideologi Nasional - Tulisan Nurcholish Madjid - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Monday, February 26, 2018

Hak Asasi dan Ideologi Nasional - Tulisan Nurcholish Madjid

foto: Nurcholish Madjid

Bagi bangsa Indonesia, sudah tentu persoalan hak-hak asasi harus dicari dan dikaitkan akar-akarnya dengan ideologi nasional Pancasila. Dalam hal ini, lepas dari berbagai usaha yang telah dijalankan untuk memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila itu agar Pancasila benar-benar bermakna dan mewujud nyata dalam kehidupan bangsa, tidak sekadar menjadi ungkapan kosong dan bersifat cliche yang dikemukakan berulang-ulang, agaknya harus kita sadari bahwa di masyarakat sekarang ini berkembang sikap-sikap skeptis, bahkan sinis, kepada berbagai usaha indoktrinasi Pancasila, disebabkan kenyataan banyaknya kesenjangan antara yang diucapkan secara lisan dengan yang dilakukan dalam tindakan-tindakan.


Jika kita batasi pengamatannya kita hanya kepada kenyataan ini saja—dengan sedikit mengesampingkan kenyataan-kenyatan lain yang barangkali bernilai positif maka dapat dilihat adanya indikasi kontraproduktif dari usaha-usaha indoktrinasi. Apalagi masyarakat sering dirasakan bahwa pancasila lebih banyak digunakan sebagai “pentung sakti” untuk memukul siapa saja yang sikap sosiaal politiknya kurang berkenan, dengan mencapnya sebagai “anti-Pancasila” atau cap lain yang serupa.

Sudah tentu Pancasila jauh lebih banyak daripada hal tersebut. Sebagai bangsa yang telah dipersatukan oleh ideology nasional itu tentu kita harus memberi apresiasi yang wajar kepada Pancasila sebagai common platform kehidupan sosial politik nasional kita. Cita-cita persatuan Indonesia seperti diungkapkan dalam sila ketiga dapat dikatakan telah terwujud secara optimal. Sebuah Negara yang terdiri dari 17000 pulau, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh bentangan dari London sampai Teheran dapat dipersatukan dengan mantap dan wajar, dengan tingkat stabulitas dan keamanan yang tinggi. Itu semua adalah prestasi yang bukan main, dan jelas tidak dapat disikapi secara taken for granted.
Tetapi membatasi penilaian terhadap Pancasila hanya kepada efektivitasnya sebagai daktor pemersatu bangsa – betapapun amat pentingnya persatuan itu – akan sama dengan memperlakukan Pancasila sebagai ideology yang hanya bernilai instrumental.

Dengan perlakuan seperti itu maka ada bahaya bahwa Pancasila – seperti halnya apasaja yang bernilai instrumental belaka – dapat dikesampingkan atau malah dibuang segera setelah tujuan tercapai, seperti persatuan tersebut.

Karena itu, harus ada pendekatan kepada Pancasila sebagai rangkuman nilai-nilai instrinsik, yang menjadi tujuan dalam dirinya sendiri (the end in itself). Berkenaan dengan inilah melihat masalah hak-hak asasi manusia dalam kerangka Pancasila atau melihat Pancasila sebagai dasar bagi ide-ide tentang hak-hak asasi manusia menjadi sangat relevan dan urgen. Ini dapat kita mulai dengan masalah hak-hak asasi manusia, yaitu sila Perikemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam hal ini sungguh abash untuk kita mempertaanyakan: Seberapa jauh kita telah melaksanakan paham dasar kemanusiaan yang adil dan beradab? Atau, seberapa jauh perlakuan sesame manusia dalam masyarakat kita telah memenuhi rasa keadilan dan keberadaban? Atau, jika mau ungkapan yang keras: Apakah perilaku kemanusiaan dalam masyarakat kita justru banyak unsur kezalimannya dan kebiadabannya?

Disini segera terbayang dalam benak, bagaimana pasar Ciputat, di sebelah selatan Jakarta, yang dihuni oleh pedagang-pedagang kecil pada pertengahan bulan Oktober 1994 “terbakar”, dengan memusnahkan sama sekali asset-aset para pedagang kecil itu, tidak lama setelah terpampang papan besar yang memberi tahu semua orang bahwa di tempat itu akan didirikan sebuah pusat belanja yang serba modern! Dari kasus semacam itu, muncul pertanyaan, siapa yang bertugas membela dan melindungi rakyat kecil itu? Jawabannya semua orang tahu siapa mereka. Tetapi kemudian apakah mereka mau dan mampu melakukan tugasnya itu, jawabannya barangkali tidak seorang pun tahu!

Mungkin sekali bahwa tipisnya komitmen pribadi (dan social) dalam masyarakat pada umumnya kepada nilai-nilai kemanusiaan seperti hak-hak asasi ini adalah akibat dari verbalisme yang sering terdengar disinyalir oleh para ahli. Dengan verbalisme itu seseorang merasa telah berbuat sesuatu hanya karena telah mengatakan, mengucapkan atau menghapal rumusan-rumusan.

Dan verbalisme ini memperoleh warna keresmiannya karena ujian-ujian atau tes-tes tentang ideology Negara (malah juga agama) terbatas hanya kepada seberapa jauh orang hapal di luar kepala rumusan-rumusan dan ungkapan-ungkapan baku yang telah “disahkan” secara resmi, tanpa peduli apakah yang bersangkutan benar-benar mengerti maknanya dan memahami substansinya.


HAK ASASI MANUSIA
Perjuangan menegakkan hak asasi di negeri kita adalah hal yang amat wajar sebagai kewajiban kita semua, disebabkan oleh tuntutan nilai-nilai falsafah kenegaraan kita, Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban kita berusaha menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ditambaglagi bahwa kita sebagai anggota PBB, dengan sendirinya kita menerima dan menyetujui serta terikat kepada butir-butir dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), 1948. Bertitik tolak dari tuntutan nilai-nilai kefalsafahan negera kita itu, maka disini akan dibahas masalah-masalah hak-hak asasi dalam kaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi. Berpijak kepada nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, kita akan bicarakan bagaimana korelasi antara capaian-capaian pembangunan sekarang ini dengan pengembangan dan pengukuhan kesadaran nilai-nilai kemanusiaan.

Usaha menegakkan hak-hak asasi dapat  juga dipandang sebagai kelanjutan logis, alami, dan wajar dari tingkat perkembangan dan kemajuan bangsa kita di segala bidang. Pada saat sekarang ini kita bangsa Indonesia telah sampai kepada jaan persimpangan pertumbuhan dan perkembangan yang amat menentukan untuk masa mendatang. Pembangunan ekonomi yang telah  berjalan selama sekitar seperempat abad telah menunjukkan hasil yang sangat mengesankan. Dari suatu bangssa yang miskin dan hamper bangkrut pada awal tahun  60-an kini Indonesia mulai tampil dengan cukup harga dan kepercayaan diri dalam pergaulan antarbangsa. Meski pun sesungguhnya kita masih jauh dari kemakmuran Negara-negara maju – bahkan diantara negera-negara Asia Tenggara pun kita masih tergolong yang terbelakang – namun hasil yang telah dicapai oleh bangsa kita melandasi harapan bagi masa depan yang lebih baik, yaitu masa depan yang lebih makmur, lebih terbuka, lebih adil, dan lebih demokratis.

Dari pengalaman yang sejauh ini telah berlangsung, kia membuktikan kebenaran peringatan Nabi Saw. Bahwa kemiskinan akan menyeret manusia kepada sikap-sikap mengingkari kebenaran. Kemiskinan akan membuat manusia terhalang dari usaha-usaha dirinya menuju kepada harkat dan martabat kemanusiaannya yang lebih tinggi. Oleh sebab kemiskinan dan kemelaratan membuat seseorang lebih terpusat kepada usaha-usaha mempertahankan hidup jasmaninya, maka kemiskinan dan kemelaratan juga membuatnya terhalang dari perhatian kepada tingkat kehidupan yang lebih mulia, yaitu kehidupan ruhani, kehidupan untuk memenuhi dorongan naluri manusia guna kembali (inabah) kepada Tuhan. Sebab Tuhanlah sumber segala kebahagiaan, asal-muasal segala yang ada. Tuhanlah pangkal keberadaan kita semua, dan Dia-lah tujuan keberadaan kita semua.

 HAK ASASI MANUSIA DAN MASYARAKAT MADANI
Ketika kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan muncul, biasanya tampil dalam bentuk gerakan pembela-hak-hak asasi dan perbaikan harkat atau dignity kaum lemah atau tersisih. Gerakan seperti itu dengan sendirnya menegaskan klaim moral  yang asasi, yaitu harkat kemanusiaan universal dan persmaan semua orang. Karena klaim demikian itu benar-benar mendasar, maka tidak mudah ditolak atau disanggah terang-terangan oleh para pemegang kekuasaan Negara, di mana saja selutuh dunia. Akibatnya, gerakan hak-hak asasi dan perbaikan harkat kaum lemah boleh jadi menikmati kebebasan berkiprah yang lebih besar daripada kekuatan-kekuaatan oposisi atau kelompok-kelompok yang menghendaki pembagian kembali sumber-sumber daya ekonomi melalui tuntutan pemerataan misalnya.
Gerakan hak-hak asasi dan pembelaan martabat kaum lemah juga mungkin kebal daripada kooptasi, karena tuntutannya mungkin tidak mudah ditebus, dibayar, atau disuap dengan hak-hak istimewa atau privilege tertentu, kedudukan, atau uang untuk pribadi-pribadi para pejuangnya.

Meskipun unsur-unsur masyarakat madani boleh jadi berdiri tegak dalam oposisi terhadap pemerintah, pemerintah sendiri tidak boleh melupakan peran pokoknya selaku wasit pembuat aturan, dan penertib masyarakat madani. Sebab masyarakat madani atau civil society itu, bagaimanapun, bukanlah pengganti pemerintah. Terlalu sering muncul harapan bahwa civil society adalah suatu obat mujarab, namun bukti menunjukkan dengan jelas bahwa Negara mempunyai peran kunci untuk ikut mendorong pertumbuhan demokrasi. 

Demokratisasi bukanlah musuh bebuyutan ataupun kawan setia bagi kekuasaan Negara.
Negara dituntut untuk mampu menangani civil society begitu rupa sehingga tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Sebaliknya, kalangan civil society harus senantiasa menyadari bahwa sekalipun tertib demokratis tidak dapat dibina melalui kekuasaan Negara, ia juga tidak dapat dibina tanpa kekuasaan Negara. Memang benar, sebagaimana menjadi keyakinan banyak sarjana, civil society adalah musuh alamiah otokrasi. Kediktatoran dan bentuk-bentuk lain kekuasaan arbiter. Civil society adalah bagian organic demokrasi, dan ia menurut definisinya sendiri adalah lawan rezim-rezim absolutis. Tapi mengkhawatirkan civil society akan mampu menumbangkan pemerintahan adalah sikap yang naif. Bahkan sebenarnya saling hubungan antara pemerintah dan civil society lebih sering didefinisikan dalam kerangka kerjasama ketimbang konflik.

Karena itu, di Negara-negara dengan susunan kekuasaan tidak demokratis, kita memerlukan strategi-strategi yang halus. Kita memerlukan suatu kerangka yang memberi peluang kepada warga masyarakat untuk mengikat tali hubungan dengan pemerintah pada suatu saat, dan pada saat yang lain mungkin mengendorkan atau melepaskan ikatan itu, namun dengan tanggung jawab. Tapi kita juga perlu kepada ruang bagi adanya ikatan antara Negara dan civil society baik yang sejalan maupun yang bersimpang jalan dan dari segi kepraktisan, tidaklah realistis mengharapkan serikat-serikat kewarganegaraan untuk memikul tugas oposisi dalam konteks Negara yang penguasanya sering menyamakan antara oposisi dan pembangkangan atau pengkhianatan. Diperlukan strategi-strategi yang lebih lembut daripada konfrontasi.



Tulisan Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
diambil dari Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid II hlm.774-775

No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages