![]() |
foto: Nurcholish Madjid |
Bagi bangsa Indonesia, sudah tentu
persoalan hak-hak asasi harus dicari dan dikaitkan akar-akarnya dengan ideologi
nasional Pancasila. Dalam hal ini, lepas dari berbagai usaha yang telah
dijalankan untuk memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila itu agar Pancasila
benar-benar bermakna dan mewujud nyata dalam kehidupan bangsa, tidak sekadar menjadi
ungkapan kosong dan bersifat cliche yang dikemukakan berulang-ulang, agaknya
harus kita sadari bahwa di masyarakat sekarang ini berkembang sikap-sikap skeptis,
bahkan sinis, kepada berbagai usaha indoktrinasi Pancasila, disebabkan
kenyataan banyaknya kesenjangan antara yang diucapkan secara lisan dengan yang
dilakukan dalam tindakan-tindakan.
Jika kita batasi pengamatannya
kita hanya kepada kenyataan ini saja—dengan sedikit mengesampingkan kenyataan-kenyatan
lain yang barangkali bernilai positif maka dapat dilihat adanya indikasi kontraproduktif
dari usaha-usaha indoktrinasi. Apalagi masyarakat sering dirasakan bahwa
pancasila lebih banyak digunakan sebagai “pentung sakti” untuk memukul siapa
saja yang sikap sosiaal politiknya kurang berkenan, dengan mencapnya sebagai “anti-Pancasila”
atau cap lain yang serupa.
Sudah tentu Pancasila jauh
lebih banyak daripada hal tersebut. Sebagai bangsa yang telah dipersatukan oleh
ideology nasional itu tentu kita harus memberi apresiasi yang wajar kepada
Pancasila sebagai common platform kehidupan
sosial politik nasional kita. Cita-cita persatuan Indonesia seperti diungkapkan
dalam sila ketiga dapat dikatakan telah terwujud secara optimal. Sebuah Negara yang
terdiri dari 17000 pulau, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh
bentangan dari London sampai Teheran dapat dipersatukan dengan mantap dan
wajar, dengan tingkat stabulitas dan keamanan yang tinggi. Itu semua adalah
prestasi yang bukan main, dan jelas tidak dapat disikapi secara taken for granted.
Tetapi membatasi penilaian
terhadap Pancasila hanya kepada efektivitasnya sebagai daktor pemersatu bangsa –
betapapun amat pentingnya persatuan itu – akan sama dengan memperlakukan
Pancasila sebagai ideology yang hanya bernilai instrumental.
Dengan perlakuan seperti itu
maka ada bahaya bahwa Pancasila – seperti halnya apasaja yang bernilai
instrumental belaka – dapat dikesampingkan atau malah dibuang segera setelah
tujuan tercapai, seperti persatuan tersebut.
Karena itu, harus ada pendekatan
kepada Pancasila sebagai rangkuman nilai-nilai instrinsik, yang menjadi tujuan
dalam dirinya sendiri (the end in
itself). Berkenaan dengan inilah melihat masalah hak-hak asasi manusia
dalam kerangka Pancasila atau melihat Pancasila sebagai dasar bagi ide-ide
tentang hak-hak asasi manusia menjadi sangat relevan dan urgen. Ini dapat kita
mulai dengan masalah hak-hak asasi manusia, yaitu sila Perikemanusiaan yang
adil dan beradab.
Dalam hal ini sungguh abash untuk
kita mempertaanyakan: Seberapa jauh kita telah melaksanakan paham dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab? Atau, seberapa jauh perlakuan sesame manusia
dalam masyarakat kita telah memenuhi rasa keadilan dan keberadaban? Atau, jika
mau ungkapan yang keras: Apakah perilaku kemanusiaan dalam masyarakat kita
justru banyak unsur kezalimannya dan kebiadabannya?
Disini segera terbayang dalam
benak, bagaimana pasar Ciputat, di sebelah selatan Jakarta, yang dihuni oleh
pedagang-pedagang kecil pada pertengahan bulan Oktober 1994 “terbakar”, dengan
memusnahkan sama sekali asset-aset para pedagang kecil itu, tidak lama setelah
terpampang papan besar yang memberi tahu semua orang bahwa di tempat itu akan
didirikan sebuah pusat belanja yang serba modern! Dari kasus semacam itu,
muncul pertanyaan, siapa yang bertugas membela dan melindungi rakyat kecil itu?
Jawabannya semua orang tahu siapa mereka. Tetapi kemudian apakah mereka mau dan
mampu melakukan tugasnya itu, jawabannya barangkali tidak seorang pun tahu!
Mungkin sekali bahwa tipisnya
komitmen pribadi (dan social) dalam masyarakat pada umumnya kepada nilai-nilai
kemanusiaan seperti hak-hak asasi ini adalah akibat dari verbalisme yang sering
terdengar disinyalir oleh para ahli. Dengan verbalisme itu seseorang merasa
telah berbuat sesuatu hanya karena telah mengatakan, mengucapkan atau menghapal
rumusan-rumusan.
Dan verbalisme ini memperoleh
warna keresmiannya karena ujian-ujian atau tes-tes tentang ideology Negara (malah
juga agama) terbatas hanya kepada seberapa jauh orang hapal di luar kepala
rumusan-rumusan dan ungkapan-ungkapan baku yang telah “disahkan” secara resmi,
tanpa peduli apakah yang bersangkutan benar-benar mengerti maknanya dan
memahami substansinya.
HAK ASASI MANUSIA
Perjuangan menegakkan hak
asasi di negeri kita adalah hal yang amat wajar sebagai kewajiban kita semua,
disebabkan oleh tuntutan nilai-nilai falsafah kenegaraan kita, Pancasila. Semua
sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban kita berusaha menegakkan hak-hak
asasi, khususnya sila kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ditambaglagi bahwa
kita sebagai anggota PBB, dengan sendirinya kita menerima dan menyetujui serta
terikat kepada butir-butir dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights),
1948. Bertitik tolak dari tuntutan nilai-nilai kefalsafahan negera kita itu,
maka disini akan dibahas masalah-masalah hak-hak asasi dalam kaitannya dengan
demokrasi dan demokratisasi. Berpijak kepada nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, kita akan bicarakan bagaimana korelasi antara capaian-capaian
pembangunan sekarang ini dengan pengembangan dan pengukuhan kesadaran
nilai-nilai kemanusiaan.
Usaha menegakkan hak-hak asasi
dapat juga dipandang sebagai kelanjutan
logis, alami, dan wajar dari tingkat perkembangan dan kemajuan bangsa kita di
segala bidang. Pada saat sekarang ini kita bangsa Indonesia telah sampai kepada
jaan persimpangan pertumbuhan dan perkembangan yang amat menentukan untuk masa
mendatang. Pembangunan ekonomi yang telah
berjalan selama sekitar seperempat abad telah menunjukkan hasil yang
sangat mengesankan. Dari suatu bangssa yang miskin dan hamper bangkrut pada
awal tahun 60-an kini Indonesia mulai
tampil dengan cukup harga dan kepercayaan diri dalam pergaulan antarbangsa.
Meski pun sesungguhnya kita masih jauh dari kemakmuran Negara-negara maju –
bahkan diantara negera-negara Asia Tenggara pun kita masih tergolong yang
terbelakang – namun hasil yang telah dicapai oleh bangsa kita melandasi harapan
bagi masa depan yang lebih baik, yaitu masa depan yang lebih makmur, lebih
terbuka, lebih adil, dan lebih demokratis.
Dari pengalaman yang sejauh
ini telah berlangsung, kia membuktikan kebenaran peringatan Nabi Saw. Bahwa
kemiskinan akan menyeret manusia kepada sikap-sikap mengingkari kebenaran.
Kemiskinan akan membuat manusia terhalang dari usaha-usaha dirinya menuju
kepada harkat dan martabat kemanusiaannya yang lebih tinggi. Oleh sebab
kemiskinan dan kemelaratan membuat seseorang lebih terpusat kepada usaha-usaha
mempertahankan hidup jasmaninya, maka kemiskinan dan kemelaratan juga
membuatnya terhalang dari perhatian kepada tingkat kehidupan yang lebih mulia,
yaitu kehidupan ruhani, kehidupan untuk memenuhi dorongan naluri manusia guna
kembali (inabah) kepada Tuhan. Sebab
Tuhanlah sumber segala kebahagiaan, asal-muasal segala yang ada. Tuhanlah
pangkal keberadaan kita semua, dan Dia-lah tujuan keberadaan kita semua.
HAK ASASI MANUSIA DAN MASYARAKAT MADANI
Ketika kelompok-kelompok dan
gerakan-gerakan muncul, biasanya tampil dalam bentuk gerakan pembela-hak-hak
asasi dan perbaikan harkat atau dignity
kaum lemah atau tersisih. Gerakan seperti itu dengan sendirnya menegaskan klaim
moral yang asasi, yaitu harkat
kemanusiaan universal dan persmaan semua orang. Karena klaim demikian itu
benar-benar mendasar, maka tidak mudah ditolak atau disanggah terang-terangan
oleh para pemegang kekuasaan Negara, di mana saja selutuh dunia. Akibatnya,
gerakan hak-hak asasi dan perbaikan harkat kaum lemah boleh jadi menikmati
kebebasan berkiprah yang lebih besar daripada kekuatan-kekuaatan oposisi atau
kelompok-kelompok yang menghendaki pembagian kembali sumber-sumber daya ekonomi
melalui tuntutan pemerataan misalnya.
Gerakan hak-hak asasi dan
pembelaan martabat kaum lemah juga mungkin kebal daripada kooptasi, karena
tuntutannya mungkin tidak mudah ditebus, dibayar, atau disuap dengan hak-hak
istimewa atau privilege tertentu,
kedudukan, atau uang untuk pribadi-pribadi para pejuangnya.
Meskipun unsur-unsur
masyarakat madani boleh jadi berdiri tegak dalam oposisi terhadap pemerintah,
pemerintah sendiri tidak boleh melupakan peran pokoknya selaku wasit pembuat
aturan, dan penertib masyarakat madani. Sebab masyarakat madani atau civil society itu, bagaimanapun,
bukanlah pengganti pemerintah. Terlalu sering muncul harapan bahwa civil society adalah suatu obat mujarab,
namun bukti menunjukkan dengan jelas bahwa Negara mempunyai peran kunci untuk
ikut mendorong pertumbuhan demokrasi.
Demokratisasi bukanlah musuh bebuyutan
ataupun kawan setia bagi kekuasaan Negara.
Negara dituntut untuk mampu
menangani civil society begitu rupa
sehingga tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Sebaliknya, kalangan civil society harus senantiasa menyadari
bahwa sekalipun tertib demokratis tidak dapat dibina melalui kekuasaan Negara,
ia juga tidak dapat dibina tanpa kekuasaan Negara. Memang benar, sebagaimana
menjadi keyakinan banyak sarjana, civil
society adalah musuh alamiah otokrasi. Kediktatoran dan bentuk-bentuk lain
kekuasaan arbiter. Civil society
adalah bagian organic demokrasi, dan ia menurut definisinya sendiri adalah
lawan rezim-rezim absolutis. Tapi mengkhawatirkan civil society akan mampu menumbangkan pemerintahan adalah sikap
yang naif. Bahkan sebenarnya saling hubungan antara pemerintah dan civil society lebih sering didefinisikan
dalam kerangka kerjasama ketimbang konflik.
Karena itu, di Negara-negara
dengan susunan kekuasaan tidak demokratis, kita memerlukan strategi-strategi
yang halus. Kita memerlukan suatu kerangka yang memberi peluang kepada warga
masyarakat untuk mengikat tali hubungan dengan pemerintah pada suatu saat, dan
pada saat yang lain mungkin mengendorkan atau melepaskan ikatan itu, namun
dengan tanggung jawab. Tapi kita juga perlu kepada ruang bagi adanya ikatan
antara Negara dan civil society baik
yang sejalan maupun yang bersimpang jalan dan dari segi kepraktisan, tidaklah
realistis mengharapkan serikat-serikat kewarganegaraan untuk memikul tugas
oposisi dalam konteks Negara yang penguasanya sering menyamakan antara oposisi
dan pembangkangan atau pengkhianatan. Diperlukan strategi-strategi yang lebih
lembut daripada konfrontasi.
Tulisan
Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
diambil
dari Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid II hlm.774-775
No comments:
Post a Comment