Oleh: Ignatius Haryanto
“Hidup sebagai nyai terlalu
sulit dia Cuma budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam
segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap segala
kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah badan bisa diusir dengan
semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum pribumi karena
dilahirkan tanpa perkawinan syah.
Aku telah bersumpah dalam
hati; takkan melihat orangtua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku sudah
tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa penghinaan itu. Mereka
telah bikin aku jadi nyai begini. Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian,
yang baik, nyai yang sebaik baiknya. Mama pelajari dari semua yang bisa ku pelajari
dari kehendak tuanku: kebersihan, Bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan
rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtua sendiri. Akan
kubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa
lebih berharga dari mereka, sekalipun hanya sebagai nyai.”
(Premoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1980, hmi. 80)
Pembaca novel Pramoedya Ananta
Toer pasti ingat yang mengatakankalimat itu. Dialah Nyai Ontosoroh, tokoh kedua
terpenting dalam novel itu, yang mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai nyai
kepada Minke, si tokoh utama. Kehidupan
menjadi Nyai tak disesalkan Nyai Ontosoroh. Ia menjalani hidupnya dengan tabah
dan kesadaran penuh betapa sinisnya masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19 pada
sosok seorang nyai. Nyai Ontosoroh adalah salah satu tokoh perempuan yang akan
dikupas dalam tulisan ini.
Secara keseluruhan tulisan ini
akan memfokuskan pada pembahasan tentang penderitaan perempuan dalam dua novel
Pramoedya, Yaitu Bumi Manusia dan Larasati, yang mengambil nama tokoh utamanya sebagai
judul. Cerita Larasati, sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung pada
lampiran budaya Lentera, suratkabar Bintang Timur antara tanggal 2 April
hingga 17 Mei 1960.
Perempuan
dan Nasionalisme
Dalam tulisan ini dua tokoh
perempuan dari dua novel berbeda tadi hendak digambarkan sebagai “manusia
perbatasan”, dimana keduanya menunjukan posisi sebagai individu yang berbatas
dengan nasionalisme di lain sisi, dan kedua tokoh perempuan itu terobsesi
dengan ide tersebut.
Disini, perempuan disebut
“manusia perbatasan”, karena sosok perempuan dalam penulisan sejarah
kontemporer, memang masih terpinggir. Peran mereka agak diabaikan, dan rekaman
kipraknya dalam buku-buku sejarah-sejarah resmi sangat sedikit. Selama ini yang
dibuat adalah penokohan nasionalisme terutama pada tokoh-tokoh politik dan
militer, yang sebagian besar adalah laki-laki, pada hal, demi nasionalismenya,
tak jarang para perempuan harus menghadapi penderitaan yang berat juga.
Dari dominasi laki-laki dalam
penulisan sejarah kontemporer ini, Pramoedya ingin mengangkat perempuan pada
penghargaan yang lebih tinggi, dan menjadikan tokoh-tokoh penting dalam
karyanya.
Ketika membaca novel
Pramoedya, jangan lagi mempertanyakan nasionalisme atau kontribusi perempuan
dalam berbagai frasa sejarah manusia. Karena Pramoedya menjadikan perempuan
sebagai aktor yang memegang kunci
perubahan. Dan dengan caranya sendiri – walau sering tak dianggap penting oleh
manusia lain zamannya – mewarnai perubahan sejarah manusia. Dalam
karya-karyanya, Pramoedya menunjukkan bahwa penderitaan para perempuan itu,
yang tampak hanya penderitaan pribadi, sebenarnya punya makna yang mendalam
bagi masyarakat luas. Disini kita akan teringat dengan slogan dari kalangan
feminis bahwa yang privat (pribadi) adalah juga politis.
Sosok perempuan yang
ditampilkan Pramoedya menunjukkan ciri perempuan yang punya karakter kuat,
memiliki pendirian teguh, mengampil keputusan dengan pertimbangan matang, tidak
tergantung pada putusan laki-laki, dan tak larut dalam emosi – karena kerap
dikatakan perempuan bersikap lebih “emosional” daripada rasional.
Kehidupan masyarakat pada
sekitar abad 19 menjadi setting Bumi
Manusia , Nyai Ontosoroh dikisahkan sebagai janda yang hidup bersama dua
orang anaknya, dan memiliki perkebunan besar. Posisi seorang nyai pada masa itu
sebenarnya adalah posisi yang tidak menguntungkan, karena ia adalah gundik
seorang tuan Belanda yang menjadikannya istri dalam waktu singkat, namun
kemudian ditinggalkan begitu saja. Menurut Gerard Termoshuizen (1995:59) Nyai
Ontosoroh adalah korban sturktur social yang telah diciptakan dan dipelihara
oleh laki-laki. Namun ternyata, secara tak terduga, Nyai Ontosoroh berhasil
merelativisir norma-norma Barat. Dan ini lahir dari seorang Indonesia yang
memiliki keterkaitan social dan politik dan semangatnya menunjukkan perlawanan
terhadap mentalitas kolonial dan feudal. Lebih jauh, menurut Termoshuizen Nyai
Ontosoroh dalam karya tersebut “merupakan personifikasi penderitaan orang
Indonesia dan symbol dari kebebasan (kemerdekaan), martabat kemanusiaannya, dan
kebanggaan atas identitas nasionalnya.”.
Dalam bahasa A. Teeuw
(1997:230-270), tokoh-tokoh dalam karya Pramoedya Ananta Toer adalah prototype
perempuan Indonesia yang lewat perjuangan dan semangatnyasendiri berhasil
mengatasi dirinya dari kekuatan orang kulit putih dan masyarakat di sekitarnya,
dan sebaliknya para toean dan
majikan, sebagaimana digambarkan dalam tetralogy Buru ini adalah gambaran dari
kedosaan dan ketidakadilan yang ditampilkan oleh pemerintah kolonial.
Masih dalam bahasa Teeuw, Nyai
Ontosoroh adalah sosok yang berhasil mentransformasi diri menjadi bukan hanya
sekadar seorang gundik; malahan ia telah menginisiasi Minke dan membebaskannya
dari system feudal-kolonial. Dan akhirnya bagi Minke, alias Thirto Adhisoerjo,
Nyai Ontosoroh adalah teladannya dalam soal nasionalisme. Namun tak hanya itu,
Minke pun terbelalak ketika tahu kepandaian dan keterampilan yang dimiliki Nyai
Ontosoroh adalah hasil pendidikan otodidak. Dan demikian kekagetan Minke:
“Mama, ijinkan aku
bertanya,” begitu usahaku untuk keluar dari bayang-bayangnya, “lulus sekolah
apa mama dulu?”
“Sekolah?” ia
menggelengkan kepala seperti sedang mengintai langit., menjerihkan ingatan.
“Seingatku belum pernah.”
“Mana Mungkin? Mama
bicara, membaca mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?”
“Apa Salahnya? Hidup
bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.”
Sungguh aku terperanjat
mendengar jawaban itu. Tak pernah itu dikatakan setiap orang diantara
guru-guruku. (Bumi Manusia, hlm. 64)
Memang perempuan-perempuan
dalam novel Pramoedya adalah sosok pembebas dari belenggu diri dan belenggu
system social di sekitarnya. Ia berani menerobos tabu, dan juga menjadi pejuang
yang tak kalah bersemangat dengan para
lelaki. Dalam kelanjutan nobel Bumi
Manusia misalnya, ditunjukkan pula sosok perempuan Tionghoa, Ang San Mei,
yang menjadi pejuang kelompok pergerakan Tionghoa – Melayu.
Selanjutnya kita akan
mencermati Larasati dalam Larasati.
Dalam novel ini, diceritakan bahwa Larasati adalah artis panggung yang cantik,
penampilanny ditunggu oleh para penontonnya, malahan ia juga punya banyak penggermar
diluar dunia panggung. Ketika masa revolusi, tahun 1940-an Larasati masih
berusia bayi. Dan ia tumbuh dewasa sebagai seorang gadis pada masa Kolonial
Belanda dan Jepang.
Pada masa itu, ia dikenal sebagai perempuan yang kerap
dikejar-kejar para opsir tentara kolonial. Dengan penuh keterpaksaan ia
merelakan tubuhnya dinikmati banyak laki-laki. Ia melakukan hal itu dengan
penuh kesadaran sebagai seorang nasionalis tulen, demi pengumpulan informasi
strategis, dan supaya ia bisa menjadi kurir pembawa Oeang Republik Indonesia
(ORI) bagi kepentingan para pejuang nasional Indonesia. Akan tetapi, walau
telah menunjukkan dedikasinya pada saat berjuang, tetapi banyak pejuang lain
menganggap perempuan tak lebih dari beban yang harus mereka pikul dan mereka
selamatkan dalam situasi revolusioner. Perempuan tak punya tempat dalam
revolusi, menurut para pejuang bersenjata ini.
Penderitaan
Konsekuensi Nasionalisme
Posisi sosialnya yang masih
jauh dari kondisi kesetaraan, mengahasilkan penderitaan tersendiri bagi
perempuan-perempuan tersebut. Pada mereka ini, banyak orang memandang rendah
karena mereka adalah perempuan yang status social maritalnya tak jelas, tak
bersuami, walaupun tubuhnya jadi idaman puluhan laki-laki. Tetapi di luar
status sosialnya yang tak jelas, perempuan-perempuan ini justru menunjukkan
sikapnya yang sangat nasionalis. Perempuan-perempuan yang dilecehkan oleh
lingkungan sekitarnya ini justru memiliki kekuasaan yang khas.
Mereka memiliki kekuasaan yang
khas, dan ternyata sangat berpenaruh. Ia boleh saja menderita karena harus
hidup di zaman serba bersiap, dan mendasarkan keamanan hidupnya atas kesetiaan
sejumlah orang yang masih menanggapnya sebagai seorang tuan. Di lusr itu, sang
perempuan harus berjuang keras untuk bisa mengikuti ritme hidup orang
kebanyakan di tanah kolonial, dab di republic yang masih muda usia.
Larasati dengan caranya
sendiri, menunjukkan sikap hormat kepada para pejuang nasionalis, dimana pada
akhir kisahnya digambarkan bahwa ia lebih bersedia hidup bersama dengan seorang
pejuang bagi bangsanya, ketimbang dengan seorang penghkhianat dan oportunis,
yang mengambil keuntungan dari situasi penjajahan.
Kembali airmata membasahi matanya yang baru sebentar tadi
kering. Tetapi Larasati tahu, terhadap pengkhianatan-pengkhianatan ini tak
perlu mengalah, dan ia pun tak akan pernah. Dan perlahan-lahan ia menjawab,
“Memang
aku hanya seorang pelacur, tual colonel. Tapi dia masih berhak mempunyai
kehormatan. Karena, dia tak pernah menjual warisan nenek moyangnya pada orang
asing.” (Larasati, hlm. 30)
Berbagai penderitaan dihadapi
oleh perempuan Larasati sebagai suatu yang tak terelakkan, namun penderitaan
itudihadapinya dengan penuh ketabahan, dan juga sikap perlawanan khas, yang
menjadikannya sebagai sosok-sosok yang tangguh, dan tabah dalam menghadapi
penderitaan. Ada satu bagian dari Larasati
yang menunjukkan percakapan antara Larasati dengan seorang Indonesia yang
bekerja untuk Belanda, yang menunjukkan
dengan jelas sikap nasionalisme Larasati, walau ia bukan orang yang mengenyam
pendidikan formal yang cukup.
“Dunia Modern ini,”
kolonel itu memulai, “dibangunkan di atsa pucuk meriam. Kau dengar, Ara?”
“Aku dengar, tuan
colonel!”
“Bagus, barang siapa
tidak cukup punya meriam sekarang atau besok, besok lusa, atau lusanya lagi,
dia harus menyerahkan diri pada yang punya lebih banyak. Kau pernah mempelajari
sejarah, Ara? – ah, tentu saja tidak.”
“Belum dan tidak, tuan
colonel!”
“Apalagi sejarag
perang. Kau mengerti sekarang mengapa kau berpihak pada yang di seberang sana?
Karena kau tak pernah mempelajari sejarah. Juga mereka yang ikut dari sebrang
sana karena bodohnya. Karena tidak tahu sejarah. Masih ingat Jepang?” ia
tertawa. “Keberanian saja tidak cukup. Apa nasibnya kemudian? Binatang-binatang
itu menyerah tanpa sayarat. Menyerah begitu hina, sedang pasukannya masih
begitu banyak.”
“Memang, Malah mereka
menyerah hanya pada pemuda yang cuma punya bambu!”
(Larasati, hlm 33-34)
Situasi revolusioner yang
membuat para pejuang berperang secara gerilya memang bukan keadaan yang normal.
Namun ketidak normalan tadi diterima dengan penuh kesadaran oleh Larasati,
bahkan ia ikut andil menyelundupkan uang republic ke wilayah yang masih dikuasai
Belanda. Meski begitu toh usaha perjuangannya tak dihargai oleh para pejuan
laki-laki lainnya.
“Aku akan ikut
denganmu, Ibuku juga.”
Martabat terkejut. Ia
tatap Larasati dengan pandangan tak mengerti.
“Kau heran? Sini bukan
tempatku.”
“Sini bukan tempat
kita, Ara, Tapi kalau kau ikut ada juga kesulitannya. Kami hanya dapat larikan
satu mobil, mobil colonel sendiri. Delapan orang ikut serta membawa beberapa
ribu peluru kerabin dan kerabin kurang selusin. Jadi ….”
“Maksudmu tidak ada
tempat?”
“tentu saja tidak,
maksud kami sedang akan lakukan terobosan maut. Itu tidak tepat bagi seorang
wanita, walau kami ingin membaawa.:
Tak terkirakan kecil
hati Larasati mendengar jawaban itu. Ia belum dimasukkan ke dalam kelas pejuang
oleh si martabat ini. Tapi ia menjaga agar tak membantah, tidak melukai rencana
anak muda itu. Mungkin dia lebih penting bagi revolusi daripada aku. (Larasati, hlm. 121-122)
Hal tentang penderitaan dan
kaitannya dengan nasionalisme suatu bangsa pernah dikemukakan oleh sejarawan
Prancis, Ernest Renan yang mengatakan bahwa nasionalisme salah satunya dibangun
atas perasaan penderitaan yang sama yang dialami oleh sekelompok orang, dan untuk itu membuat terbentuknya
suatu perasaan:
A Nation is a soul, a spiritual principle.
Two things, which are really only one, go to make up this soul or spiritual
principle. One of these things lies in the past, the other in the present. The
one is possession in common of rich heritage of memories; and the other is
actual agreement, the will to continue to make the most of the joint
inheritance. Man, gentleman, cannot be improvised. The nation, like the
individual, is the fruit of long past spent in toil, sacrifice, since our
ancestors have made us what we are. (1995:153)
Tentu saja konsepsi ini
berbeda dengan konsepsi nasionalisme yang lainnya, misalnya yang pernah
dikemukakan oleh Benedict Anderson tentang nasionalisme sebagai hasil dari
komunitas imaji. Renan memberi dimensi emosional dalam paparannya soal
nasionalisme tadi, dan penggambaran dari novel Pramoedya juga menunjukkan bahwa
emosi adalah hal yang penting dipertimbangkan dalam pembentukan nasionalisme.
Perempuan,
Sumber Inspirasi
Walau terlalu jauh, dan tidak lazim dalam
dunia sastra untuk membandingkan karya sastra dengan kehidupan pribadi si penulisnya,
dalam kasus Pramoedya ini, mau tak mau kita akan terjebak juga untuk melihat
kenyataan hidup Pramoedya, pengarang terbesar Indonesia, dengan karya-karya
Opus Magnum yang menggetarkan dunia.
Kekaaguman Pramoedya terhadap
perempuan boleh jadi bersumber pada kekagumannya pada sosok nenek dan ibunya.
Dalam salah satu kesempatan Pramoedya pernah berkata bahwa kisah Gadis Pantai yang terbit tahun 1987
sebenarnya adalah kisah tentang neneknya.
Sosok ibu memang dekat dengan
diri Pramoeda, dan dalam video biografi Pramoedya yang dibuay oleh yayasan
Lontar (2004), terdengar banyak pengakuannya dimana ia lebih mengenangkan sosok
ibunya yang punya pengaruh besar dalam hidupnya. Bahkan ketika ibunya meninggal
saat ia berusia 17 tahun, ia harus menguburkan ibunya seorang diri tanpa
bantuan siapapun, demi memenuhi pesan ibunya, bahwa ia tak boleh
mengemis-ngemis kepada orang lain.
Disamping penghormatan yang
besar pada sosok perempuan, topic tentang kegetiran hidup dan penderitaan
manusia, adalah hal yang juga mencolok dalam tulisan-tulisan Pramoedya. Bisa
dikatakan, ia dengan sangat hidup, mampu menggambarkan kegetiran seseorang
manusia yang berada dalam situasi terbuang, disia-siakan, dicurigai, ditakuti,
dikejar-kejar, ditinggalkan orang terkasih, dan terlilit kemiskinan.
Memang pengalaman Pramoedya
sendiri juga tidak jauh berbeda dengan apa yang ia tuangkan dalam karyanya. Ia
sangat akrab dengan kondisi dan pengalaman dilecehkan, dianggap bodoh, memiliki
perasaan mider.
Sejumlah peristiwa penting
yang membuatnya sakit hati, kerap ia sebut dalam berbagai kesempatan, misalnya
penghinaan dari pengarang Idrus, pengarang yang adalah idolanya. Tapi ketika
Idrus bertemu dengan Pramoedya yang tengah naik daun pada decade 1950-an, Idrus
berkata dengan kasar, “Pram, kamu itu bukannya menulis, tapi berak…”
Kasarnya pendapat orang lain
terhadap dirinya, ia tuangkan pula dalam bahasa perckapan antara Minke, dengan
Tuan Mellema, saat mereka pertama kali bertemu, ketika Minke datang pertama
kali ke rumah keluarga Mellema tersebut “Kowe kira, kalo sudah pake-pakean
Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa?
Tetap Monyet!” (Bumi Manusia, hlm,
37)
Ucapan demikian kasar
menunjukkan dengan sangat jelas, bagaimana pengkelasan dalam masyarakat
kolonial demikian tajam, dan mereka bangsa Eropa yang sangat menikmati situasi
sebaagai penjajah tak segaan-segaan mengumpat untuk menunjukkan ketidak sukaan
kepada kelompok pribumi yang juga turut menikmati pendidikaan ala colonial
tersebut.
Kegetiran hidup lain yang dirasakan
Praamoedya adalah ketika ayahnya, guru di sekolah Taman Siswa, malu dengan
intelejensia anaknya, Pramoedya yang sempaat tinggal kelas, dan tidak
menunjukkan prestasi mengesankan di sekolah, telah membuat kecewa ayahnya. Dan
ketika ia akhirnya naik kelas, ia malah disuruh kembali ke kelas lamanya. Ia
tak bisa berkata-kata, dan lalu lari sekuat-kuatnya menuju rumah, di depan
kuburan. Pada sebuah pohon jarak, ia memeluk erat-erat dan menjerit
sekuat-kuatnya.
Dan tiga belas tahun berada
dalam penjara di Pulau Buru, bukanlah akhir penderitaannya, malah merupakan
episode penderitaan baru. Ditudh sebagai simpatisan partai komunis, Pramoedya
dipenjarakan bersama puluhan ribu tahanan politik lainnya. Ia memang pernah
menjadi pengurus mingguan Lentera pada harian Bintang Timur, dan menjadi tokoh
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Selain itu ia juga terlibat dalam perdebatan
antara kelompok Lekre dengan kelompok Manifest Kebudayaan pada decade 1960-an.
Semua itu seolah cukup untuk bolehmemenjarakan
dirinya selama belasan tahun di pulau sebelah barat pulau Maluku di Indonesia
Timur. Dan sementara ia mengalami pemenjaraan dan kerja paksa, ia pun menulis
sejumlah novelnya. Kelak, setelah ia keluar dari penjara, bukunya dilarang
terbit, ia tak boleh bicara di depan public, memegang bukunya saja, ibarat
memegang buku bacaan porno, yang harus selalu hati-hati agar tak ketahuan orang
lain, terutama aparat pemerintah.
Penulisan
Sejarah Perempuan
Prof A. Teeuw menulis bahwa
Tertralogi ditulis pada masa ketika Pramoedya semakin sadar tentang “the people
must know their history”, terutama sejak tahun 1965, ketika ia mulai meneliti
sejarah yang luas tentang zaman permulaan nasionalisme Indonesia.
Dalam kerangka permulaan ini
pulalah maka buku biografi Raden Ajeng Kartini dibuat. Pram melihat bahwa
Kartini adalah “pemula dari sejarah Indonesia modern. Dialah yang menggodok
asipirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di
Demak – Kudus – Jepara sejak pertengahan dua abad lalu.” Lebih jauh ia
menyebutkan Kartini sebagai “orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang
menutup zaman tengah, zaman feodalisme Pribummi yang ‘sakit’ menurut istilah
Bung Karno.” (Ibid. hlm xii)
Kekaguman pada sosok Kartini
dan juga sosok wanita lain di Nusantara ini juga terungkap dalam diri Minke
saat ia merenungkan keperkasaan dan kemandirian Nyai Ontosoroh yang kemudian
menjadi mertuanya.
Memang ada sangat
banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyai Ontosoroh yang pernah kutemui. Menurut
cerita Jean Marais, wanita Aceh sudah terbiasa turun ke medan-medan perang melawan
kompeni. dan rela berguguran disamping pria. Juga di Bali, di tempatku sendiri
wanita petani beerja bahu-membahu dengan kaum pria di sawah dan di ladang. Namun
semua itu tidak seperti Mama – dia tahu lebih daripada kampung halamannya sendiri.
Dan semua teman sekolah
tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat, seorang dara, setahun lebih
tua daripada daku. Ia putri Bupati J – wanita pribumi pertama yang menuis dalam
bahasa Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya
yang pertama diumumkan ia berumur 17. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah
dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bis ada pribumi, dara
pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa,
apalahi dimuat dalam majalah keilmuan? Tapi aku peraya, dan harus percaya,
sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. (Bumi Manusia, hlm. 65)
Lewat sosok kartini, Nayi Ontosoroh,
Larasati, dan banyak tokoh perempuan lainnya, Pramoedya menyodorkan cerita lain
dalam sejarah Indonesia, baik berupa tulisan sejarah, maupun karya fiksinya,
yang memberikan tempat lebih layak bagi para perempuan dalam perjuangan
nasionalismenya. Masih banyak buku tulisan Pramoedyaa yang kita bisa rujuk
untuk menunjukkan perempuan pembebas tersebut, misalnya dalam Arok Dedes, Arus Balik, Gadis Pantai, dan
lain-lain.
Bagaimanapun juga corak khas
penulisan sastra ala Pramoedya adalah bukan pada upaya mengutak ngatik bahasa
dan sastra tapi bahwa ia menunjukkan dedikasinya pada perjuangan kemanusiaan.
Manifesto ini bisa terlihat dalam salah satu tulisan Pram yang menjelaskan
posisinya dalam soal penulisan sastra:
Bagi saya keindahan itu
terletak pada keyakinan yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap
penindasan. Jika keindahan itu terletak pada kemurnian karena bukan dalam mengutak-atik bahasa.
Jika penulisan sosok perempuan
yang perkasa, mandiri dan membebaskan itu tak bisa dilepaskan dari kerangka
yang dimiliki Pram sendiri dalam menciptakan karya sastra pembebasan terhadap
penindasan, dan bahwa keindahan sastra ia letakkan pada kemurnian pencarian
terhadap nilai pembebasan dan perjuangan kemanusiaan. Seringkali dalam
tulisannya ia mengontraskan berbagai kelompok kelas dalam masyarakat, dan hal
ini membuat tulisannya menjadi tajam. Ia juga dengan cermat dan pandai
menggambarkan detai perasaan dari subjek-subjek perempuan ceritanya.
Kembali dengan kerangka Renan,
maka historiografi yang ditulis Pramoedya menekankan unsur empati atas
penderitaan yang menjadipengikat manusia-manusia yang hidup dalam komunitas
yang disebut bangsa. Untuk itu kaum perempuan memiliki perasaan yang sangat
kuat – sebagai akibat penderitaan yang dialaminya – sebagai warga suatu “nation”,
dan menggunakan caranya tersendiri mengekspresikan perjuangan nasionalnya,
tidak dengan mengangkat bedil atau parang, tapi dengan mengupayakan pendidikan,
merangsang kemajuan berpikir, dan membesarkan anak-anak, serta turut langsung
dalam kancah revolusi, walau ia bukan pemeran utama di dalamnya.
Tak berlebihan kalau kita juga
menambah gelar lain untuk Pramoedya ini: sejarawan feminis.
Ignatius
Haryanto,
Jurnalis
Catatan:
1.
Naskah ini diterbitkan sebagai buku oleh
penerbit Hasta Mitra pada bulan April 2000.
2.
Lihat pengantar Pramoedya Ananta Toer
untuk Panggil Aku Kartini Saja, (2000,
hlm. Xiii).
3.
Diambil dari Majalah Basis Nomor 03-04,
Tahun ke 54, Maret - April 2005 hlm 49-55
No comments:
Post a Comment