PEREMPUAN-PEREMPUAN PEMBERONTAK - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Monday, February 26, 2018

PEREMPUAN-PEREMPUAN PEMBERONTAK


Oleh: Ignatius Haryanto

“Hidup sebagai nyai terlalu sulit dia Cuma budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap segala kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah badan bisa diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai oleh umum pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan syah.


Aku telah bersumpah dalam hati; takkan melihat orangtua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku sudah tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa penghinaan itu. Mereka telah bikin aku jadi nyai begini. Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang sebaik baiknya. Mama pelajari dari semua yang bisa ku pelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, Bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtua sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga dari mereka, sekalipun hanya sebagai nyai.”
(Premoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1980, hmi. 80)

Pembaca novel Pramoedya Ananta Toer pasti ingat yang mengatakankalimat itu. Dialah Nyai Ontosoroh, tokoh kedua terpenting dalam novel itu, yang mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai nyai kepada Minke, si tokoh utama.  Kehidupan menjadi Nyai tak disesalkan Nyai Ontosoroh. Ia menjalani hidupnya dengan tabah dan kesadaran penuh betapa sinisnya masyarakat Jawa pada akhir abad ke-19 pada sosok seorang nyai. Nyai Ontosoroh adalah salah satu tokoh perempuan yang akan dikupas dalam tulisan ini.
Secara keseluruhan tulisan ini akan memfokuskan pada pembahasan tentang penderitaan perempuan dalam dua novel Pramoedya, Yaitu Bumi Manusia dan Larasati,  yang mengambil nama tokoh utamanya sebagai judul. Cerita Larasati, sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung pada lampiran budaya Lentera, suratkabar Bintang Timur antara tanggal 2 April hingga 17 Mei 1960.

Perempuan dan Nasionalisme
Dalam tulisan ini dua tokoh perempuan dari dua novel berbeda tadi hendak digambarkan sebagai “manusia perbatasan”, dimana keduanya menunjukan posisi sebagai individu yang berbatas dengan nasionalisme di lain sisi, dan kedua tokoh perempuan itu terobsesi dengan ide tersebut.
Disini, perempuan disebut “manusia perbatasan”, karena sosok perempuan dalam penulisan sejarah kontemporer, memang masih terpinggir. Peran mereka agak diabaikan, dan rekaman kipraknya dalam buku-buku sejarah-sejarah resmi sangat sedikit. Selama ini yang dibuat adalah penokohan nasionalisme terutama pada tokoh-tokoh politik dan militer, yang sebagian besar adalah laki-laki, pada hal, demi nasionalismenya, tak jarang para perempuan harus menghadapi penderitaan yang berat juga.

Dari dominasi laki-laki dalam penulisan sejarah kontemporer ini, Pramoedya ingin mengangkat perempuan pada penghargaan yang lebih tinggi, dan menjadikan tokoh-tokoh penting dalam karyanya.
Ketika membaca novel Pramoedya, jangan lagi mempertanyakan nasionalisme atau kontribusi perempuan dalam berbagai frasa sejarah manusia. Karena Pramoedya menjadikan perempuan sebagai aktor  yang memegang kunci perubahan. Dan dengan caranya sendiri – walau sering tak dianggap penting oleh manusia lain zamannya – mewarnai perubahan sejarah manusia. Dalam karya-karyanya, Pramoedya menunjukkan bahwa penderitaan para perempuan itu, yang tampak hanya penderitaan pribadi, sebenarnya punya makna yang mendalam bagi masyarakat luas. Disini kita akan teringat dengan slogan dari kalangan feminis bahwa yang privat (pribadi) adalah juga politis.

Sosok perempuan yang ditampilkan Pramoedya menunjukkan ciri perempuan yang punya karakter kuat, memiliki pendirian teguh, mengampil keputusan dengan pertimbangan matang, tidak tergantung pada putusan laki-laki, dan tak larut dalam emosi – karena kerap dikatakan perempuan bersikap lebih “emosional” daripada rasional.

Kehidupan masyarakat pada sekitar abad 19 menjadi setting Bumi Manusia , Nyai Ontosoroh dikisahkan sebagai janda yang hidup bersama dua orang anaknya, dan memiliki perkebunan besar. Posisi seorang nyai pada masa itu sebenarnya adalah posisi yang tidak menguntungkan, karena ia adalah gundik seorang tuan Belanda yang menjadikannya istri dalam waktu singkat, namun kemudian ditinggalkan begitu saja. Menurut Gerard Termoshuizen (1995:59) Nyai Ontosoroh adalah korban sturktur social yang telah diciptakan dan dipelihara oleh laki-laki. Namun ternyata, secara tak terduga, Nyai Ontosoroh berhasil merelativisir norma-norma Barat. Dan ini lahir dari seorang Indonesia yang memiliki keterkaitan social dan politik dan semangatnya menunjukkan perlawanan terhadap mentalitas kolonial dan feudal. Lebih jauh, menurut Termoshuizen Nyai Ontosoroh dalam karya tersebut “merupakan personifikasi penderitaan orang Indonesia dan symbol dari kebebasan (kemerdekaan), martabat kemanusiaannya, dan kebanggaan atas identitas nasionalnya.”.

Dalam bahasa A. Teeuw (1997:230-270), tokoh-tokoh dalam karya Pramoedya Ananta Toer adalah prototype perempuan Indonesia yang lewat perjuangan dan semangatnyasendiri berhasil mengatasi dirinya dari kekuatan orang kulit putih dan masyarakat di sekitarnya, dan sebaliknya para toean dan majikan, sebagaimana digambarkan dalam tetralogy Buru ini adalah gambaran dari kedosaan dan ketidakadilan yang ditampilkan oleh pemerintah kolonial.

Masih dalam bahasa Teeuw, Nyai Ontosoroh adalah sosok yang berhasil mentransformasi diri menjadi bukan hanya sekadar seorang gundik; malahan ia telah menginisiasi Minke dan membebaskannya dari system feudal-kolonial. Dan akhirnya bagi Minke, alias Thirto Adhisoerjo, Nyai Ontosoroh adalah teladannya dalam soal nasionalisme. Namun tak hanya itu, Minke pun terbelalak ketika tahu kepandaian dan keterampilan yang dimiliki Nyai Ontosoroh adalah hasil pendidikan otodidak. Dan demikian kekagetan Minke:

“Mama, ijinkan aku bertanya,” begitu usahaku untuk keluar dari bayang-bayangnya, “lulus sekolah apa mama dulu?”
“Sekolah?” ia menggelengkan kepala seperti sedang mengintai langit., menjerihkan ingatan. “Seingatku belum pernah.”
“Mana Mungkin? Mama bicara, membaca mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah?”           
“Apa Salahnya? Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.”
Sungguh aku terperanjat mendengar jawaban itu. Tak pernah itu dikatakan setiap orang diantara guru-guruku. (Bumi Manusia, hlm. 64)

Memang perempuan-perempuan dalam novel Pramoedya adalah sosok pembebas dari belenggu diri dan belenggu system social di sekitarnya. Ia berani menerobos tabu, dan juga menjadi pejuang yang tak  kalah bersemangat dengan para lelaki. Dalam kelanjutan nobel Bumi Manusia misalnya, ditunjukkan pula sosok perempuan Tionghoa, Ang San Mei, yang menjadi pejuang kelompok pergerakan Tionghoa – Melayu.
Selanjutnya kita akan mencermati Larasati dalam Larasati. Dalam novel ini, diceritakan bahwa Larasati adalah artis panggung yang cantik, penampilanny ditunggu oleh para penontonnya, malahan ia juga punya banyak penggermar diluar dunia panggung. Ketika masa revolusi, tahun 1940-an Larasati masih berusia bayi. Dan ia tumbuh dewasa sebagai seorang gadis pada masa Kolonial Belanda dan Jepang.

Pada masa itu,  ia dikenal sebagai perempuan yang kerap dikejar-kejar para opsir tentara kolonial. Dengan penuh keterpaksaan ia merelakan tubuhnya dinikmati banyak laki-laki. Ia melakukan hal itu dengan penuh kesadaran sebagai seorang nasionalis tulen, demi pengumpulan informasi strategis, dan supaya ia bisa menjadi kurir pembawa Oeang Republik Indonesia (ORI) bagi kepentingan para pejuang nasional Indonesia. Akan tetapi, walau telah menunjukkan dedikasinya pada saat berjuang, tetapi banyak pejuang lain menganggap perempuan tak lebih dari beban yang harus mereka pikul dan mereka selamatkan dalam situasi revolusioner. Perempuan tak punya tempat dalam revolusi, menurut para pejuang bersenjata ini.

Penderitaan Konsekuensi Nasionalisme
Posisi sosialnya yang masih jauh dari kondisi kesetaraan, mengahasilkan penderitaan tersendiri bagi perempuan-perempuan tersebut. Pada mereka ini, banyak orang memandang rendah karena mereka adalah perempuan yang status social maritalnya tak jelas, tak bersuami, walaupun tubuhnya jadi idaman puluhan laki-laki. Tetapi di luar status sosialnya yang tak jelas, perempuan-perempuan ini justru menunjukkan sikapnya yang sangat nasionalis. Perempuan-perempuan yang dilecehkan oleh lingkungan sekitarnya ini justru memiliki kekuasaan yang khas.

Mereka memiliki kekuasaan yang khas, dan ternyata sangat berpenaruh. Ia boleh saja menderita karena harus hidup di zaman serba bersiap, dan mendasarkan keamanan hidupnya atas kesetiaan sejumlah orang yang masih menanggapnya sebagai seorang tuan. Di lusr itu, sang perempuan harus berjuang keras untuk bisa mengikuti ritme hidup orang kebanyakan di tanah kolonial, dab di republic yang masih muda usia.
Larasati dengan caranya sendiri, menunjukkan sikap hormat kepada para pejuang nasionalis, dimana pada akhir kisahnya digambarkan bahwa ia lebih bersedia hidup bersama dengan seorang pejuang bagi bangsanya, ketimbang dengan seorang penghkhianat dan oportunis, yang mengambil keuntungan dari situasi penjajahan.

Kembali airmata  membasahi matanya yang baru sebentar tadi kering. Tetapi Larasati tahu, terhadap pengkhianatan-pengkhianatan ini tak perlu mengalah, dan ia pun tak akan pernah. Dan perlahan-lahan ia menjawab,

“Memang aku hanya seorang pelacur, tual colonel. Tapi dia masih berhak mempunyai kehormatan. Karena, dia tak pernah menjual warisan nenek moyangnya pada orang asing.” (Larasati, hlm. 30)

Berbagai penderitaan dihadapi oleh perempuan Larasati sebagai suatu yang tak terelakkan, namun penderitaan itudihadapinya dengan penuh ketabahan, dan juga sikap perlawanan khas, yang menjadikannya sebagai sosok-sosok yang tangguh, dan tabah dalam menghadapi penderitaan. Ada satu bagian dari Larasati yang menunjukkan percakapan antara Larasati dengan seorang Indonesia yang bekerja untuk Belanda,  yang menunjukkan dengan jelas sikap nasionalisme Larasati, walau ia bukan orang yang mengenyam pendidikan formal yang cukup.

“Dunia Modern ini,” kolonel itu memulai, “dibangunkan di atsa pucuk meriam. Kau dengar, Ara?”
“Aku dengar, tuan colonel!”
“Bagus, barang siapa tidak cukup punya meriam sekarang atau besok, besok lusa, atau lusanya lagi, dia harus menyerahkan diri pada yang punya lebih banyak. Kau pernah mempelajari sejarah, Ara? – ah, tentu saja tidak.”
“Belum dan tidak, tuan colonel!”
“Apalagi sejarag perang. Kau mengerti sekarang mengapa kau berpihak pada yang di seberang sana? Karena kau tak pernah mempelajari sejarah. Juga mereka yang ikut dari sebrang sana karena bodohnya. Karena tidak tahu sejarah. Masih ingat Jepang?” ia tertawa. “Keberanian saja tidak cukup. Apa nasibnya kemudian? Binatang-binatang itu menyerah tanpa sayarat. Menyerah begitu hina, sedang pasukannya masih begitu banyak.”
“Memang, Malah mereka menyerah hanya pada pemuda yang cuma punya bambu!”
(Larasati, hlm 33-34)

Situasi revolusioner yang membuat para pejuang berperang secara gerilya memang bukan keadaan yang normal. Namun ketidak normalan tadi diterima dengan penuh kesadaran oleh Larasati, bahkan ia ikut andil menyelundupkan uang republic ke wilayah yang masih dikuasai Belanda. Meski begitu toh usaha perjuangannya tak dihargai oleh para pejuan laki-laki lainnya.

“Aku akan ikut denganmu, Ibuku juga.”
Martabat terkejut. Ia tatap Larasati dengan pandangan tak mengerti.
“Kau heran? Sini bukan tempatku.”
“Sini bukan tempat kita, Ara, Tapi kalau kau ikut ada juga kesulitannya. Kami hanya dapat larikan satu mobil, mobil colonel sendiri. Delapan orang ikut serta membawa beberapa ribu peluru kerabin dan kerabin kurang selusin. Jadi ….”
“Maksudmu tidak ada tempat?”
“tentu saja tidak, maksud kami sedang akan lakukan terobosan maut. Itu tidak tepat bagi seorang wanita, walau kami ingin membaawa.:
Tak terkirakan kecil hati Larasati mendengar jawaban itu. Ia belum dimasukkan ke dalam kelas pejuang oleh si martabat ini. Tapi ia menjaga agar tak membantah, tidak melukai rencana anak muda itu. Mungkin dia lebih penting bagi revolusi daripada aku. (Larasati, hlm. 121-122)

Hal tentang penderitaan dan kaitannya dengan nasionalisme suatu bangsa pernah dikemukakan oleh sejarawan Prancis, Ernest Renan yang mengatakan bahwa nasionalisme salah satunya dibangun atas perasaan penderitaan yang sama yang dialami oleh sekelompok  orang, dan untuk itu membuat terbentuknya suatu perasaan:

A Nation is a soul, a spiritual principle. Two things, which are really only one, go to make up this soul or spiritual principle. One of these things lies in the past, the other in the present. The one is possession in common of rich heritage of memories; and the other is actual agreement, the will to continue to make the most of the joint inheritance. Man, gentleman, cannot be improvised. The nation, like the individual, is the fruit of long past spent in toil, sacrifice, since our ancestors have made us what we are. (1995:153)

Tentu saja konsepsi ini berbeda dengan konsepsi nasionalisme yang lainnya, misalnya yang pernah dikemukakan oleh Benedict Anderson tentang nasionalisme sebagai hasil dari komunitas imaji. Renan memberi dimensi emosional dalam paparannya soal nasionalisme tadi, dan penggambaran dari novel Pramoedya juga menunjukkan bahwa emosi adalah hal yang penting dipertimbangkan dalam pembentukan nasionalisme.

Perempuan, Sumber Inspirasi
 Walau terlalu jauh, dan tidak lazim dalam dunia sastra untuk membandingkan karya sastra dengan kehidupan pribadi si penulisnya, dalam kasus Pramoedya ini, mau tak mau kita akan terjebak juga untuk melihat kenyataan hidup Pramoedya, pengarang terbesar Indonesia, dengan karya-karya Opus Magnum yang menggetarkan dunia.

Kekaaguman Pramoedya terhadap perempuan boleh jadi bersumber pada kekagumannya pada sosok nenek dan ibunya. Dalam salah satu kesempatan Pramoedya pernah berkata bahwa kisah Gadis Pantai yang terbit tahun 1987 sebenarnya adalah kisah tentang neneknya.

Sosok ibu memang dekat dengan diri Pramoeda, dan dalam video biografi Pramoedya yang dibuay oleh yayasan Lontar (2004), terdengar banyak pengakuannya dimana ia lebih mengenangkan sosok ibunya yang punya pengaruh besar dalam hidupnya. Bahkan ketika ibunya meninggal saat ia berusia 17 tahun, ia harus menguburkan ibunya seorang diri tanpa bantuan siapapun, demi memenuhi pesan ibunya, bahwa ia tak boleh mengemis-ngemis kepada orang lain.

Disamping penghormatan yang besar pada sosok perempuan, topic tentang kegetiran hidup dan penderitaan manusia, adalah hal yang juga mencolok dalam tulisan-tulisan Pramoedya. Bisa dikatakan, ia dengan sangat hidup, mampu menggambarkan kegetiran seseorang manusia yang berada dalam situasi terbuang, disia-siakan, dicurigai, ditakuti, dikejar-kejar, ditinggalkan orang terkasih, dan terlilit kemiskinan.
Memang pengalaman Pramoedya sendiri juga tidak jauh berbeda dengan apa yang ia tuangkan dalam karyanya. Ia sangat akrab dengan kondisi dan pengalaman dilecehkan, dianggap bodoh, memiliki perasaan mider.

Sejumlah peristiwa penting yang membuatnya sakit hati, kerap ia sebut dalam berbagai kesempatan, misalnya penghinaan dari pengarang Idrus, pengarang yang adalah idolanya. Tapi ketika Idrus bertemu dengan Pramoedya yang tengah naik daun pada decade 1950-an, Idrus berkata dengan kasar, “Pram, kamu itu bukannya menulis, tapi berak…”

Kasarnya pendapat orang lain terhadap dirinya, ia tuangkan pula dalam bahasa perckapan antara Minke, dengan Tuan Mellema, saat mereka pertama kali bertemu, ketika Minke datang pertama kali ke rumah keluarga Mellema tersebut “Kowe kira, kalo sudah pake-pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap Monyet!” (Bumi Manusia, hlm, 37)

Ucapan demikian kasar menunjukkan dengan sangat jelas, bagaimana pengkelasan dalam masyarakat kolonial demikian tajam, dan mereka bangsa Eropa yang sangat menikmati situasi sebaagai penjajah tak segaan-segaan mengumpat untuk menunjukkan ketidak sukaan kepada kelompok pribumi yang juga turut menikmati pendidikaan ala colonial tersebut.

Kegetiran hidup lain yang dirasakan Praamoedya adalah ketika ayahnya, guru di sekolah Taman Siswa, malu dengan intelejensia anaknya, Pramoedya yang sempaat tinggal kelas, dan tidak menunjukkan prestasi mengesankan di sekolah, telah membuat kecewa ayahnya. Dan ketika ia akhirnya naik kelas, ia malah disuruh kembali ke kelas lamanya. Ia tak bisa berkata-kata, dan lalu lari sekuat-kuatnya menuju rumah, di depan kuburan. Pada sebuah pohon jarak, ia memeluk erat-erat dan menjerit sekuat-kuatnya.

Dan tiga belas tahun berada dalam penjara di Pulau Buru, bukanlah akhir penderitaannya, malah merupakan episode penderitaan baru. Ditudh sebagai simpatisan partai komunis, Pramoedya dipenjarakan bersama puluhan ribu tahanan politik lainnya. Ia memang pernah menjadi pengurus mingguan Lentera pada harian Bintang Timur, dan menjadi tokoh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Selain itu ia juga terlibat dalam perdebatan antara kelompok Lekre dengan kelompok Manifest Kebudayaan pada decade 1960-an.

Semua itu seolah cukup untuk bolehmemenjarakan dirinya selama belasan tahun di pulau sebelah barat pulau Maluku di Indonesia Timur. Dan sementara ia mengalami pemenjaraan dan kerja paksa, ia pun menulis sejumlah novelnya. Kelak, setelah ia keluar dari penjara, bukunya dilarang terbit, ia tak boleh bicara di depan public, memegang bukunya saja, ibarat memegang buku bacaan porno, yang harus selalu hati-hati agar tak ketahuan orang lain, terutama aparat pemerintah.

Penulisan Sejarah Perempuan
Prof A. Teeuw menulis bahwa Tertralogi ditulis pada masa ketika Pramoedya semakin sadar tentang “the people must know their history”, terutama sejak tahun 1965, ketika ia mulai meneliti sejarah yang luas tentang zaman permulaan nasionalisme Indonesia.

Dalam kerangka permulaan ini pulalah maka buku biografi Raden Ajeng Kartini dibuat. Pram melihat bahwa Kartini adalah “pemula dari sejarah Indonesia modern. Dialah yang menggodok asipirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak – Kudus – Jepara sejak pertengahan dua abad lalu.” Lebih jauh ia menyebutkan Kartini sebagai “orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme Pribummi yang ‘sakit’ menurut istilah Bung Karno.” (Ibid. hlm xii)

Kekaguman pada sosok Kartini dan juga sosok wanita lain di Nusantara ini juga terungkap dalam diri Minke saat ia merenungkan keperkasaan dan kemandirian Nyai Ontosoroh yang kemudian menjadi mertuanya.

Memang ada sangat banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyai Ontosoroh yang pernah kutemui. Menurut cerita Jean Marais, wanita Aceh sudah terbiasa turun ke medan-medan perang melawan kompeni. dan rela berguguran disamping pria. Juga di Bali, di tempatku sendiri wanita petani beerja bahu-membahu dengan kaum pria di sawah dan di ladang. Namun semua itu tidak seperti Mama – dia tahu lebih daripada kampung halamannya sendiri.

Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat, seorang dara, setahun lebih tua daripada daku. Ia putri Bupati J – wanita pribumi pertama yang menuis dalam bahasa Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya yang pertama diumumkan ia berumur 17. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bis ada pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalahi dimuat dalam majalah keilmuan? Tapi aku peraya, dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. (Bumi Manusia, hlm. 65)

Lewat sosok kartini, Nayi Ontosoroh, Larasati, dan banyak tokoh perempuan lainnya, Pramoedya menyodorkan cerita lain dalam sejarah Indonesia, baik berupa tulisan sejarah, maupun karya fiksinya, yang memberikan tempat lebih layak bagi para perempuan dalam perjuangan nasionalismenya. Masih banyak buku tulisan Pramoedyaa yang kita bisa rujuk untuk menunjukkan perempuan pembebas tersebut, misalnya dalam Arok Dedes, Arus Balik, Gadis Pantai, dan lain-lain.

Bagaimanapun juga corak khas penulisan sastra ala Pramoedya adalah bukan pada upaya mengutak ngatik bahasa dan sastra tapi bahwa ia menunjukkan dedikasinya pada perjuangan kemanusiaan. Manifesto ini bisa terlihat dalam salah satu tulisan Pram yang menjelaskan posisinya dalam soal penulisan sastra:

Bagi saya keindahan itu terletak pada keyakinan yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jika keindahan itu terletak pada kemurnian karena bukan dalam mengutak-atik bahasa.

Jika penulisan sosok perempuan yang perkasa, mandiri dan membebaskan itu tak bisa dilepaskan dari kerangka yang dimiliki Pram sendiri dalam menciptakan karya sastra pembebasan terhadap penindasan, dan bahwa keindahan sastra ia letakkan pada kemurnian pencarian terhadap nilai pembebasan dan perjuangan kemanusiaan. Seringkali dalam tulisannya ia mengontraskan berbagai kelompok kelas dalam masyarakat, dan hal ini membuat tulisannya menjadi tajam. Ia juga dengan cermat dan pandai menggambarkan detai perasaan dari subjek-subjek perempuan ceritanya.

Kembali dengan kerangka Renan, maka historiografi yang ditulis Pramoedya menekankan unsur empati atas penderitaan yang menjadipengikat manusia-manusia yang hidup dalam komunitas yang disebut bangsa. Untuk itu kaum perempuan memiliki perasaan yang sangat kuat – sebagai akibat penderitaan yang dialaminya – sebagai warga suatu “nation”, dan menggunakan caranya tersendiri mengekspresikan perjuangan nasionalnya, tidak dengan mengangkat bedil atau parang, tapi dengan mengupayakan pendidikan, merangsang kemajuan berpikir, dan membesarkan anak-anak, serta turut langsung dalam kancah revolusi, walau ia bukan pemeran utama di dalamnya.

Tak berlebihan kalau kita juga menambah gelar lain untuk Pramoedya ini: sejarawan feminis.
Ignatius Haryanto,
Jurnalis
Catatan:
1.       Naskah ini diterbitkan sebagai buku oleh penerbit Hasta Mitra pada bulan April 2000.
2.      Lihat pengantar Pramoedya Ananta Toer untuk Panggil Aku Kartini Saja, (2000, hlm. Xiii).
3.      Diambil dari Majalah Basis Nomor 03-04, Tahun ke 54, Maret - April 2005 hlm 49-55


No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages