![]() |
foto: Mahbub Djunaidi (repro) |
Oleh Mahbub Djunaidi
Orang Jerman itu
bak serigala. Beraninya main keroyok. Kalau sendirian, nyalinya kecil. Dan
seperti halnya seekor anjng yang pasrah di depan cambuk juragannya sambil
mengharap faedah fisik dari sikapnya, begitu pulalah prajurit Jerman terhadap
opsirnya. Ini perumpamaan W. Trotter: Instincts of The Herd in Peace
and War, 1916. Betul atau tidak, ini penilaian seorang Inggris. Sedangkan
buat dirinya sendiri, orang Inggris melantik singa sebagai simbol nasionalnya Singa
itu, kata banyak orang, lebih perkasa daripada monyet, kambing, ular, bahkan
harimau sekalipun.
Namun, penulis non-Inggris G.J.
Renier: The English, Are They Human?(1931) punya penglihatan lain.
Mungkin benar orang Inggris itu garang di negeri-negeri jajahan, tapi tidak di
kampung halaman. Di sini, mereka cenderung menganggap makhluk hewan itu seperti
sanak saudara, bahkan memiliki hak yang lebih spesial ketimbang awak sendiri.
Negeri itu punya rupa-rupa ormas yang menghambakan dirinya bagi kemaslahatan
binatang. Ada The Royal Society for the Prevention of Cruelty to
Animals, ada Our Dumb Friends League, ada The Nation
Equine Defence League, malahan ada pula The Council of Justice to
Animal, semacam LBH spesial buat kepentingan makhluk-makhluk dungu itu. Dan
buat kehidupan anjing, ada perhatian ekstra. Kumpulan-kumpulan seperti The
Select Society of Ye Yolly Old Dogs, The Pit Ponies Protection Society, The
Performing and Captive Animals Defense League, dan masih banyak lagi
tersedia serupa itu. Pendek kata, para anjing baik yang masih remaja maupun
yang sudah jompo tak boleh disia-sia, tak boleh tuna-urus. Dilihat dari sudut
ini, dilihat dari betapa gembrotnya kucing-kucing dan burung-burung dan
anjing-anjing di kawasan itu, jelaslah bangsa Inggris ibarat singa yang sudah
terbina. Britania surga bagi binatang. Kucing-kucing Italia yang habis badan
bisa gila melihat kucing Inggris yang penuh rawatan. Juga kuda Spanyol yang
sempoyongan, jika dibanding kuda Inggris yang lebih kokoh daripada tuannya
sendiri.
Cina dimisalkan naga. Entah di mana
bisa berjumpa hewan ini. Sungguh perlambang yang menakutkan, sampai-sampai buku
“The Dragon Seed” melanjutkan rasa cemas itu ke alamat Hoakiaw yang
bertebaran di pulau-pulau belahan selatan. Tetapi, lambang naga ini rupanya
bisa ditawar. Sebab, ada pula yang menyebutnya “the blue ants” : 800
juta menyemut dengan seragam periode Yenan berwarna biru.
Nah, bagaimana pula dengan bangsa kita,
bangsa Indonesia ini? Seumpama hewan apakah dia? Dari sudut beranak pinak,
lazim diumpamakan marmut, walau sebenarnya babi lebih gawat angka kelahirannya.
Dari sudut kepatuhannya yang serampangan, dia diibaratkan bebek walau tidak
selamanya bebek itu mengandung perlambang buruk. Kalimat Ki dalang “bebek
pulang sore ke kandang sendiri” bukanlah pertanda tolol, melainkan isyarat masyarakat
makmur adanya.
UUD tak menyinggung-nyinggung nama
hewan sepatah pun. Tidak garuda, dan tidak pula banteng. Oleh ketentuan
sesudahnya, simbol hewan itu memiliki sifat resmi. Garuda, kata Yamin almarhum
“sebenarnya lambang pembangun dan pemelihara”. Katanya pula, kitab Morawangsa
dari kerajaan Kedah dan kerajaan Merina di Madagaskar memandang hewan ini
lambang pemelihara. Lantas bagaimana dengan hewan banteng? Secara resmi, dia
bukan perlambang bangsa seperti singa Inggris atau naga Cina, melainkan lambang
demokrasi, atau persisnya “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”. Sedangkan lambang kenasionalan, atau
persisnya Persatuan Indonesia, bukannya hewan, melainkan sejenis pohonan :
beringin.
Kemudian, ada tafsiran yang kurang
begitu resmi, namun pernah amat berpengaruh : banteng lambang semangat bangsa.
Sabar, tak banyak cingcong, tapi bila diganggu bisa jadi berang dan pengamuk.
Versi tafsiran ini sudah semakin tak kedengaran. Akibat perubahan struktur
politik di masyarakat manusia, arti penting hewan banteng selaku lambang
semangat menjadi berantakan. Konsekuensinya pun tera di lain sektor : empat
patung banteng dalam posisi siap nyeruduk yang mulanya berdiri di tiap sudut
Monumen Nasional pada suatu hari digotong orang tanpa bilang ba atau bu. Hotel
Banteng yang belum kunjung selesai diganti nama Hotel Borobudur, juga yang
belum jadi. Hanya kondektur bus kota Jakarta yang masih kerap meneriakkan nama
itu, bukan lantaran gejolak rasa kebangsaan atau semacam itu, melainkan
semata-mata karena nama terminalnya begitu. Selebihnya tak ada.
Memang rada kikuk di zaman harus realis
dan pragmatis ini kita masih menyama-nyamakan diri dengan tabiat hewan. Tak
peduli chimpanse sekalipun, rata-rata binatang sukar diharap realis dan
pragmatis. Makin lama“ethology” tidak bicara apa-apa. Yang perlu
sekarang tampaknya jadi innovator, atau kalau nasib baik jadi entrepreneur,
bukannya menjunjung derajat hewan di atas kepala. Toh orang Jepang yang maju
itu tidak punya hewan simbol sama sekali, malahan dia sendiri dijuluki orang
“binatang-ekonomi” : selalu siap mengendus, mengais, dan mematuk.
Berhenti menobatkan hewan sebagai
simbol bukan berarti manusia sekarang bersikap konfrontatif dengannya. Malah
kebalikannya. Di tengah hiruk-pikuk teknologi, para konservis, para naturalis,
para antipolusi, seperti setengah gila meneriakkan perlunya perlindungan bagi
maslahat kehidupan hewan. Dan supaya tidak kelaparan, manusia bersepakat
sesamanya untuk menyetop kalahiran, tapi tak seorang pun berhasrat menerapkan
Keluarga Berencana di dunia binatang, Kondomisasi tak berlaku buat mereka.
Leluasa beranak cucu.

Apabila lapisan atas dewasa ini senang
kuda, pastilah tak punya latar belakang rohaninya sama sekali. Atau karena
hobby, atau mata pencaharian, atau (kalau memang kuda jempolan) semacam
standar sosial. Begitu pula halnya ayam negeri; hewan petelur ini sama sekali
tak ada sangkut paut dengan simbol semangat bangsa atau perorangan, melainkan
punya daya tarik ekonomi buat orang-orang bebas tugas yang sedikit bingung,
atau guna menumbuhkan produsen baru di kalangan pesantren, seperti yang
dilakukan Menteri Agama Mukti Ali. Walaupun banyak hewan-hewan piaraan itu kena
sembelih bulan Maulud yang lalu, rasanya gairah produktif akan terus timbul,
andaikata ada dropping “starte” lagi. Kalau “starte” berabe, “grower” pun
jadilah. Malah mendingan, tidak terlampau bikin repot para santri.
Tempo, 9 Juni 1973
====================================================
Mahbub merupakan salah satu
aktivis yang membidani kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
sekaligus ketua pertamanya, juga sempat menjabat di GP Ansor dan PB NU.
Pernah menduduki kursi Ketua
Umum PWI Pusat (1955-1970), di bidang jurnalistik ini ia meraih popularitasnya
sebagai penulis esai kelas wahid di Indonesia. Ia pernah menjadi kolumnis tetap
di Tempo dan Kompas. Ciri khas tulisannya adalah humor, kreativitas berbahasa,
serta mampu menyajikan persoalan dengan sederhana.
Ia juga menulis novel
"Dari Hari ke Hari", serta "Angin Musim". Tahun 1974
"Dari Hari ke Hari" meraih penghargaan Roman Terbaik dari Dewan
Kesenian Jakarta.
Mahbub meninggal di Bandung
pada 1 Oktober 1995
No comments:
Post a Comment