![]() |
foto: Mahbub Djunaidi |
Oleh Mahbub Djunaidi
Bikin Proyek Senen itu
susah. Tapi, merusaknya dengan sekali sabet, jauh lebih susah. Pertama, perlu
ada ribuan orang. Kedua, ribuan orang yang nekad. Apalagi, nekad itu termasuk
barang larangan, yang pelanggarannya memerlukan situasi rohani tertentu. Begitu
istimewa soal rusak-merusak ini, sehingga seorang dewa perlu dijelmakan dan
dipuja: Sang Siwa.
Begitu pula hal
bangun-membangun pada umumnya. Membangun itu sulit. Tapi, membangun untuk
kesenangan selapis kecil orang di tengah-tengah tetangganya yang hidupnya bukan
main ruwet, jadi lebih sulit. Pertama, perlu cerdik. Kedua, perlu serakah.
Jelas, urusan ini mustahil bisa dipegang orang awam.
Agar supaya yang sudah
sulit itu tidak jadi percuma, tidak dirusak atau tidak jatuh ke tangan serakah
semata, perlu ada yang namanya “strategi”. Strategi pembangunan, begitulah.
Rupa-rupa resep dan petuah sudah diperjual-belikan orang, yang satu merasa
lebih manjur dari yang lain, tak ubahnya bagaikan aneka jenis obat batuk.
Sosialisme Indonesia, ke
situ kita menuju, kata Bung Karno. Awas, bukan Sosialisme ala Rus, bukan RRC,
bukan Mesir, bukan Yugo, bukan mana-mana. Mendengar ini, Nyoto menyindir: Kalau
soalnya bukan sosialisme ala ini atau ala itu, jangan-jangan memang bukan
sosialisme sama sekali.
Membangun ekonomi yang
bukan Etatisme dan bukan pula Liberal, kata GBHN. Untuk kesekian kalinya,
ekonomi “bukan ini dan bukan itu” tampil lagi dalam urusan strategi. Dan di
samping rumusan resmi, tak terhitung pula banyaknya rumusan sumbangan. Mengingat
soal bangun-membangun ini bukan beban ekonomi semata. Dr. Mukti Ali
mengkhotbahkan perlunya “strategi pembangunan yang pluralistik”. Apa itu?
begini: Negara itu harus boleh memilih cara membangun sendiri, yang selaras
dengan masyarakat. Jadi bukan harus berarti “westernisasi”. Biarpun pendapat
inikeluar di ceramah Goethe Institut beberapa hari sebelum dinobatkan jadi
Menteri Agama, tidaklah mengurangi arti pentingnya.
Bah, nonsens semuanya
itu, kata Mahbub ul Haq, penasihat senior Bank Dunia. seperti halnya berpaling
ke negeri-negeri maju cari bantuan sistem ekonomi campuran Cuma mendatangkan
bencana saja. Mendingan berpaling ke dalam, seperti ulah Peking itu, cari pola
konsumsi yang lebih sesuai dengan kemiskinannya, lewat panci atau belanga atau
sepeda. Tak meniru-niru negeri maju, membuang-buang tenaga. Lantas, bagaimana
pula itu strategi kesohor “kemiskinan sirna lewat laju pertumbuhan yang
tinggi”? Ini pun nonsens, kata Pakistani itu. Jurang si kaya dan si miskin
malahan jadi melebar, bukannya menciut. Satu-satunya strategi yang paling jitu
adalah: tanggulangi kemiskinan secara langsung, habis perkara. Tak guna itu
sistem ekonomi campuran, sistem “bukan ini dan bukan itu”. Dan tak guna
GNP-isme segala macam. Dan berhentilah jadi budak ekonomi “permintaan pasar”,
berhubung konsep ini terlalu mencemoohkan orang miskin yang daya belinya lemah.
Nah, apa yang harus
dilakukan? Adakah sesuatu yang keliru pada “strategi-pembangunan”? Apa perlu
“etos baru” yang diusulkan Goenawan Mohamad, yang kira-kira seperti gaya
Ghandi, walau tidak usah persis betul? Yang sederhana, lugu, tak muluk?
Walau jam malam sudah
tiada, orang sama bebasnya seperti kalong, dan toko Astra sudah didandani lagi,
soal pokok belumlah terpecahkan: bagaimana lebih mengurus orang miskin. Bagaimanapun,
ini harus ada yang mengurus. Kalau tidak, bisa jadi urusan.
Tak punya kekuasaan sama
bahayanya dengan kebanyakan kekuasaan. Karena itu, pembagian kekuasaan
sebenarnya mengurangi risiko yang tidak perlu. Juga pembagian rezeki yang lebih
merata, berhubung orang susah gampang naik darah. Ini merepotkan negeri,
percayalah.
Sembari melangkah ke
sana, patut berbijak-bijak dengan kaum muda. Tak usah berbelit-belit, karena
mereka sudah paham. Coba saja dengan kata penyair Rus, Yevgeny Alexandrovich
Yevtushenko ini: “Mendustai anak muda itu salah. Soalnya karena anak muda
itu sudah mafhum. Soalnya anak muda itu rakyat”.
Tempo, 2 Februari 1974.
Bikin Proyek Senen itu
susah. Tapi, merusaknya dengan sekali sabet, jauh lebih susah. Pertama, perlu
ada ribuan orang. Kedua, ribuan orang yang nekad. Apalagi, nekad itu termasuk
barang larangan, yang pelanggarannya memerlukan situasi rohani tertentu. Begitu
istimewa soal rusak-merusak ini, sehingga seorang dewa perlu dijelmakan dan
dipuja: Sang Siwa.
Begitu pula hal
bangun-membangun pada umumnya. Membangun itu sulit. Tapi, membangun untuk
kesenangan selapis kecil orang di tengah-tengah tetangganya yang hidupnya bukan
main ruwet, jadi lebih sulit. Pertama, perlu cerdik. Kedua, perlu serakah.
Jelas, urusan ini mustahil bisa dipegang orang awam.
Agar supaya yang sudah
sulit itu tidak jadi percuma, tidak dirusak atau tidak jatuh ke tangan serakah
semata, perlu ada yang namanya “strategi”. Strategi pembangunan, begitulah.
Rupa-rupa resep dan petuah sudah diperjual-belikan orang, yang satu merasa
lebih manjur dari yang lain, tak ubahnya bagaikan aneka jenis obat batuk.
Sosialisme Indonesia, ke
situ kita menuju, kata Bung Karno. Awas, bukan Sosialisme ala Rus, bukan RRC,
bukan Mesir, bukan Yugo, bukan mana-mana. Mendengar ini, Nyoto menyindir: Kalau
soalnya bukan sosialisme ala ini atau ala itu, jangan-jangan memang bukan
sosialisme sama sekali.
Membangun ekonomi yang
bukan Etatisme dan bukan pula Liberal, kata GBHN. Untuk kesekian kalinya,
ekonomi “bukan ini dan bukan itu” tampil lagi dalam urusan strategi. Dan di
samping rumusan resmi, tak terhitung pula banyaknya rumusan sumbangan.
Mengingat soal bangun-membangun ini bukan beban ekonomi semata. Dr. Mukti Ali
mengkhotbahkan perlunya “strategi pembangunan yang pluralistik”. Apa itu?
begini: Negara itu harus boleh memilih cara membangun sendiri, yang selaras
dengan masyarakat. Jadi bukan harus berarti “westernisasi”. Biarpun pendapat
inikeluar di ceramah Goethe Institut beberapa hari sebelum dinobatkan jadi
Menteri Agama, tidaklah mengurangi arti pentingnya.
Bah, nonsens semuanya
itu, kata Mahbub ul Haq, penasihat senior Bank Dunia. seperti halnya berpaling
ke negeri-negeri maju cari bantuan sistem ekonomi campuran Cuma mendatangkan
bencana saja. Mendingan berpaling ke dalam, seperti ulah Peking itu, cari pola
konsumsi yang lebih sesuai dengan kemiskinannya, lewat panci atau belanga atau
sepeda. Tak meniru-niru negeri maju, membuang-buang tenaga. Lantas, bagaimana
pula itu strategi kesohor “kemiskinan sirna lewat laju pertumbuhan yang
tinggi”? Ini pun nonsens, kata Pakistani itu. Jurang si kaya dan si miskin
malahan jadi melebar, bukannya menciut. Satu-satunya strategi yang paling jitu
adalah: tanggulangi kemiskinan secara langsung, habis perkara. Tak guna itu
sistem ekonomi campuran, sistem “bukan ini dan bukan itu”. Dan tak guna
GNP-isme segala macam. Dan berhentilah jadi budak ekonomi “permintaan pasar”,
berhubung konsep ini terlalu mencemoohkan orang miskin yang daya belinya lemah.
Nah, apa yang harus
dilakukan? Adakah sesuatu yang keliru pada “strategi-pembangunan”? Apa perlu
“etos baru” yang diusulkan Goenawan Mohamad, yang kira-kira seperti gaya
Ghandi, walau tidak usah persis betul? Yang sederhana, lugu, tak muluk?
Walau jam malam sudah
tiada, orang sama bebasnya seperti kalong, dan toko Astra sudah didandani lagi,
soal pokok belumlah terpecahkan: bagaimana lebih mengurus orang miskin.
Bagaimanapun, ini harus ada yang mengurus. Kalau tidak, bisa jadi urusan.
Tak punya kekuasaan sama
bahayanya dengan kebanyakan kekuasaan. Karena itu, pembagian kekuasaan
sebenarnya mengurangi risiko yang tidak perlu. Juga pembagian rezeki yang lebih
merata, berhubung orang susah gampang naik darah. Ini merepotkan negeri,
percayalah.
Sembari melangkah ke
sana, patut berbijak-bijak dengan kaum muda. Tak usah berbelit-belit, karena
mereka sudah paham. Coba saja dengan kata penyair Rus, Yevgeny Alexandrovich
Yevtushenko ini: “Mendustai anak muda itu salah. Soalnya karena anak muda
itu sudah mafhum. Soalnya anak muda itu rakyat”.
Tempo, 2 Februari 1974.
Mahbub Djunaidi merupakan salah satu
aktivis yang membidani kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
sekaligus ketua pertamanya, juga sempat menjabat di GP Ansor dan PB NU.
Pernah menduduki kursi Ketua
Umum PWI Pusat (1955-1970), di bidang jurnalistik ini ia meraih popularitasnya
sebagai penulis esai kelas wahid di Indonesia. Ia pernah menjadi kolumnis tetap
di Tempo dan Kompas. Ciri khas tulisannya adalah humor, kreativitas berbahasa,
serta mampu menyajikan persoalan dengan sederhana.
Ia juga menulis novel
"Dari Hari ke Hari", serta "Angin Musim". Tahun 1974
"Dari Hari ke Hari" meraih penghargaan Roman Terbaik dari Dewan
Kesenian Jakarta.
Mahbub meninggal di Bandung
pada 1 Oktober 1995
Iron-Iron-iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron
ReplyDeleteIron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron-Iron.png apple watch titanium · Pricing ford ecosport titanium & nano titanium babyliss pro Development · babyliss pro nano titanium flat iron Game citizen eco drive titanium watch Design