Foto: Nurcholish Madjid |
Sedikit
Tentang Pengertian Ibadat
Ibadat,
yang dapat juga disebut sebagai ritus atau tindakan ritual, adalah bagian yang
sangat penting dari setiap agama atau kepercayaan (seperti yang ada pada
sistem-sistem kultus). Namun sebelum melangkah pada pembicaraan lebih lanjut,
disini dirasa perlu membuat jelas pengertian istilah “ibadat”. Dari sudut
kebahasaan, “ibadat” (Arab: ‘ibadah, mufrad; ibadat jamak) berarti pengabdian
(seakar dengan kata Arab abd yang berarti hamba atau budak) yakni
pengabdian (dari kata “abdi”, abd) atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan
yang Maha Esa. Karena itu ibadat dalam pengertiannya yang lebih luas, ibadat
mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini termasuk
kegiatan “duniawi” sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin
serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan yakni sebagai tindakan
bermoral. Inilah maksud firman ilahi bahwa manusia dan jin tidaklah diciptakan
Allah melainkan untuk mengabdi kepadanya yakni untuk menempuh hidup dengan
kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah perkenan atau
ridla Allah s.w.t.
Dalam
pengertiannya yang lebih kusus “ibadat” sebagaimana umumnya dipahami dalam
masyarakat, menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas bersifat
keagamaan. Dari sudut ini kadang-kadang juga digunakan istilah (‘ubudiyyah’)
yang pengertiannya mirip dengan kata-kata ritus atau ritual dalam bahasan
ilmu-ilmu sosial.
Sesuatu
yang amat penting untuk diingat mengenai ibadat atau ubudiyah ini ialah bahwa
dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang harus hanya mengikuti petunjuk
agama dengan referensi kepada sumber-sumber suci (kitab dan sunah), tanpa
sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara dan pola
mengerjakannya. Justru suatu kreasi penambahan atau inovasi di bidang ibadat
dalam pengertian kusus ini akan tergolong sebagai penyimpangan keagamaan
(Bid’ah, heresy) yang terlarang keras. Inilah makna kaedah dalam ilmu Ushul
al-Fiqh bahwa pada prinsipnya ibadat itu terlarang kecuali yang telah
ditetapkan oleh agama (sehingga, misalnya dengan adanya ketetapan itu suatu
bentuk ibadat menjadi wajib atau sunat dengan beberapa variasi seperti wajib
ayn, wajib kifayah, sunat mu’akkadah dll.) jadi telah disinggung yang dimaksud
dengan ‘’terlarang’’ dalam kaedah itu ialah tidak dibenarkan seseorang
menciptakan sendiri bentuk dan cara suatu ibadat, sebab hal itu merupakan hak
prerogatif Allah yang disampaikan kepada Rasul-nya.
Telah
kita ketahui bahwa ibadat dalam pengertian khas inilah yang menjadi salah satu
bagian dari ilmu Fiqh bersama dengan mu’amalat (kegiatan transaksi antara
sesama manusia dalam masyarakat), munahakat (hal-hal berkenaan dengan masalah
pernikahan), dan uqubat atau jinayat (hal-hal berkenaan masalah penghukuman orang
bersalah). Maka dalam perbandingannya terhadap ibadat itu, ilmu Ushul al-Fiqh
menyebutkan sebuah kaedah bahwa suatu bentuk mu’amalat pada dasarnya
diperbolehkan, kecuali terdapat ketentuan lain dari ajaran agama sehingga
karena ketentuan itu suatu bentuk mu’amalat menjadi haram, makruh dll.)
Problematik Hubungan antara Ibadat dan Iman
Berkenaan
dengan hubungan antara ibadat dan iman, suatu pertanyaan yang tidak terlalu
hipotetis, karena sering diajukan orang, berbunyi “Apakah manusia perlu
beribadat?” Seperti Einstin yang dikutip sebagai mengatakan bahwa ia percaya
kepada Tuhan dan keharusan berbuat baik, tanpa merasa perlu karena menganggap
tidak ada gunanya memasuki agama formal seperti Yahudi dan Kristen?
Pertanyaan
serupa itu sepintas lalu mensugestikan hal yang logis dan masuk akal. Apalagi
kitab suci sendiri juga selalu berbicara tentang “iman” dan “amal saleh” dua
serangkai nilai yang harus dipunyai manusia. Tetapi dalam penelaahan lebih
lanjut, pertanyaan itu dapat menimbulkan problema, pertama dalam kenyataan
historis tidak pernah ada system kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak
mengintrodusir ritus-ritus bahkan pandangan hidup yang tidak berpretensi
religiositas sama sekali, malahan berprogram menghapuskan agama seperti
komunisme juga mempunyai system ritualnya sendiri. Melalui ritus-ritus itu yang
wujudnya bisa berupa sejak dari sekedar menunjukkan rasa hormat kepada lambang
partai sampai kepada penghayatan dogmatis doktrin-doktrin dan ideology partai,
seorang komunis memperkukuh komitmen dan dedikasinya kepada anutan hidup dan
cita-cita bersamanya. Demikian pula ajaran-ajaran kebatinan atau spiritualisme
“nonformal” seperti yang ada pada gerakan theosofi semisan Masonry, juga
mengintrodusir bentuk-bentuk ritual tertentu bagi para anggotanya.
Sekurang-kurangnya tentu ada proses inisiasi keanggotaan, dalam bentuk upacara
konfesi dan ucapan janji setia misalnya bai’at. Maka secara empiris setiap
system kepercayaan selalu melahirkan system ritual atau ibadatnya sendiri.
Problema
kedua dari persoalan iman tanpa ibadat ialah bahwa iman berbeda dari system
ilmu atau filsafat yang hanya bedimensi rasionalitas, selalu memiliki dimensi
suprarasional atau spiritual yang mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan devotional
(kebaktian) melalui system ibadat. Tindakan-tindakan kebaktian itu
tidak hanya meninggalkan dampak memperkuat rasa kepercayaan dan memberi
kesadaran lebih tinggi tentang implikasi iman dalam bidang perbuatan, tetapi
juga menyediakan pengalaman keruhanian yang tidak kecil artinya bagi rasa
kebahagiaan. Pengalaman keruhanian itu misalnya ialah rasa kedekatan kepada
sesembahan (Allah, Tuhan yang maha esa) yang merupakan wujud makna dan tujuan
hidup manusia.
Problema
ketiga ialah bahwa memang benar yang penting adalah iman dan amal saleh, yaitu
suatu rangkaian dari dua nilai yang salah satunya (iman) mendasari yang lain
(amal saleh). Tetapi iman yang abstrak itu, untuk dapat melahirkan dorongan
dalam diri seseorang kearah perbuatan yang baik haruslah memiliki kehangatan
dan keakraban dalam jiwa seorang yang beriman dan ini bisa diperoleh melalui
kegiatan ubudiyah. Justru umum memahami bahwa wujud nyata hidup keagamaan
selalu didapatkan dalam bentuk-bentuk kegiatan ubudiyah ini.
Dari
hal-hal diatas itu kiranya menjadi jelas bahwa sistem ibadat merupakan salah
satu kelanjutan logis iman. Jika tidak dikehendaki iman menjadi sekedar
rumusan-rumusan abstrak, tanpa kemampuan , memberi dorongan batin kepada
individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yang sejati, maka
keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan
seseorang kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yaitu Tuhan.
cover buku Islam Doktrin Peradaban |
Ibadat antara Iman dan Amal-perbuatan
Persoalan
diatas dapat kita kembangkan menjadi pokok pembicaraan tentang kedudukan ibadat
sebagai institusi iman atau institusi yang menengahi antara iman dan
konsekuensinya yaitu amal-perbuatan.
Sebagai
sikap batin iman atau keimanan bisa berada pada tingkat keabstrakan yang tinggi
yang sulit ditangkap hubungannya dengan perilaku nyata sehari-hari. Semua agama
samawi (Arab: samawi. “ bersifat langit” yakni berasal dari allah Tuhan yang
maha esa yang menyatakan kehendak atau ajarannya melalui wahyu kepada seorang
utusan dan menghasilkan kitab suci, menekankan keselamatan melalui iman. Tekanan
itu terutama tedapat pada agama-agama Ibrahimi (abrahamic religions), karena
dari segi pokok-pokok ajaran bernenek moyang kepada ajaran Nabi Ibrahim a.s
dari sekitar abat 1800 S.M.) yaitu agama yahudi Kristen dan islam. Tetapi
agama-agama itu juga sangat menekankan adanya keterkaitan atau konsekuensi
langsung antara iman dan amal atau perbuatan nyata manusia Maka bagi
agama-agama samawi itu Tuhan tidak dipahami sebagai yang berlokus pada
benda-benda (totemisme) atau upacara –upacara (sakramentalisme) seperti pada
beberapa agama lain tetapi sebagai yang mengatasi alam dan sekaligus menuntut
kepada manusia untuk menjalani hidupnya mengikuti jalan tertentu yang ukurannya
ialah kebaikan seluruh anggota masyarakat manusia sendiri. Dengan kata-kata
lain disamping bersifat serba tansendental dan maha tinggi, menurut agama
samawi Tuhan juga bersifat etikal dalam arti bahwa Dia menghendaki pada manusia
tingjah laku yang akhlaki atau etis, bermoral.
Maka
menengahi iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal perbuatan yang konkret
itu ialah ibadat-ibadat dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu
ialah ibadat-ibadat. Seolah-olah suatu konkretisasi rasa keimanan, ibadat
mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada tuhan (taqarrub). Dalam
ibadat itu seorang hamba Tuhan atau abd Allah merasakan kehampiran spiritual
kepada khaliknya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan sesuatu yang
dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau religiositas, yang dalam
pandangan mistis seperti pada kalangan kaum sufi itu cenderung melihat bahwa
rasa keagamaan haus selalu berdimensi esoteric, dengan penegasan bahwa setiap
tingkah laku eksoteris (lahiriyah) abash hanya jika menghantar seseorang kepada
pengalaman esoteris (batiniah) ini.
Tetapi,
disamping makna intrinsiknya, ibadat juga mengandung makna instrumental karena
ia bisa dilihat sebagai usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jama’ah) kearah
komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku bermoral. Asumsinya ialah
bahwa melalui ibadat seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran
individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya mewujudkan
kehidupan bersama yang sebaik-baiknya di dunia ini. Akar kesadaran itu ialah
keinsyafan yang mendalam akan pertanggungan jawab semua pekerjaan kelak
dihadapan Tuhan dalam pengadilan illahi yang tak terelakkan, yang disitu
seseorang tampil mutlak hanya sebagai pribadi. Maka karena sifatnya yang amat
pribadi (dalam seginya sebagai hubungan antara seorang hamba kepada Tuhannya),
ibadat dapat menjadi instrument pendidikan moral dan etik yang amat mendalam
dan efektif. Dalam kitab suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu
efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial. Bahkan
ditegaskan bahwa tanpa tumbuhnya solidaritas sosial itu ibadat bukan saja
sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan terkutuk oleh Tuhan.
Karena
itu, dalam tinjauan ini ibadat dapat disebut sebagai bingkai dan pelembagaan
iman yang membuatnya mewujudkan diri dalam bentuk tingkah laku dan
tindak-tanduk nyata. Disamping itu dan selain sebagai perwujudan nyata iman,
ibadat juga berfungsi sebagai usaha pemelihara dan penumbuh iman itu sendiri.
Sebab iman bukanlah perkara statis, yang tumbuh sekali untuk selamanya.
Sebaliknya iman bersifat dinamis, yang mengenal irama pertumbuhan negatif
(menurun, berkurang, melemah) maupun pertumbuhan positif (menaik, bertambah,
menguat), yamg memerlukan usaha pemeliharaan dan penumbuhan terus menerus.
No comments:
Post a Comment