[Bag 1.] Ibadah Sebagai Institusi Iman - Artikel Nurcholish Madjid - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Tuesday, July 10, 2018

[Bag 1.] Ibadah Sebagai Institusi Iman - Artikel Nurcholish Madjid


Foto: Nurcholish Madjid

 Sedikit Tentang Pengertian Ibadat

Ibadat, yang dapat juga disebut sebagai ritus atau tindakan ritual, adalah bagian yang sangat penting dari setiap agama atau kepercayaan (seperti yang ada pada sistem-sistem kultus). Namun sebelum melangkah pada pembicaraan lebih lanjut, disini dirasa perlu membuat jelas pengertian istilah “ibadat”. Dari sudut kebahasaan, “ibadat” (Arab: ‘ibadah, mufrad; ibadat jamak) berarti pengabdian (seakar dengan kata Arab abd yang berarti hamba atau budak) yakni pengabdian (dari kata “abdi”, abd) atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa. Karena itu ibadat dalam pengertiannya yang lebih luas, ibadat mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini termasuk kegiatan “duniawi” sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan yakni sebagai tindakan bermoral. Inilah maksud firman ilahi bahwa manusia dan jin tidaklah diciptakan Allah melainkan untuk mengabdi kepadanya yakni untuk menempuh hidup dengan kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah perkenan atau ridla Allah s.w.t.

Dalam pengertiannya yang lebih kusus “ibadat” sebagaimana umumnya dipahami dalam masyarakat, menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas bersifat keagamaan. Dari sudut ini kadang-kadang juga digunakan istilah (‘ubudiyyah’) yang pengertiannya mirip dengan kata-kata ritus atau ritual dalam bahasan ilmu-ilmu sosial.

Sesuatu yang amat penting untuk diingat mengenai ibadat atau ubudiyah ini ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang harus hanya mengikuti petunjuk agama dengan referensi kepada sumber-sumber suci (kitab dan sunah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan sendiri cara dan pola mengerjakannya. Justru suatu kreasi penambahan atau inovasi di bidang ibadat dalam pengertian kusus ini akan tergolong sebagai penyimpangan keagamaan (Bid’ah, heresy) yang terlarang keras. Inilah makna kaedah dalam ilmu Ushul al-Fiqh bahwa pada prinsipnya ibadat itu terlarang kecuali yang telah ditetapkan oleh agama (sehingga, misalnya dengan adanya ketetapan itu suatu bentuk ibadat menjadi wajib atau sunat dengan beberapa variasi seperti wajib ayn, wajib kifayah, sunat mu’akkadah dll.) jadi telah disinggung yang dimaksud dengan ‘’terlarang’’ dalam kaedah itu ialah tidak dibenarkan seseorang menciptakan sendiri bentuk dan cara suatu ibadat, sebab hal itu merupakan hak prerogatif Allah yang disampaikan kepada Rasul-nya.

Telah kita ketahui bahwa ibadat dalam pengertian khas inilah yang menjadi salah satu bagian dari ilmu Fiqh bersama dengan mu’amalat (kegiatan transaksi antara sesama manusia dalam masyarakat), munahakat (hal-hal berkenaan dengan masalah pernikahan), dan uqubat atau jinayat (hal-hal berkenaan masalah penghukuman orang bersalah). Maka dalam perbandingannya terhadap ibadat itu, ilmu Ushul al-Fiqh menyebutkan sebuah kaedah bahwa suatu bentuk mu’amalat pada dasarnya diperbolehkan, kecuali terdapat ketentuan lain dari ajaran agama sehingga karena ketentuan itu suatu bentuk mu’amalat menjadi haram, makruh dll.)

Problematik Hubungan antara Ibadat dan Iman

Berkenaan dengan hubungan antara ibadat dan iman, suatu pertanyaan yang tidak terlalu hipotetis, karena sering diajukan orang, berbunyi “Apakah manusia perlu beribadat?” Seperti Einstin yang dikutip sebagai mengatakan bahwa ia percaya kepada Tuhan dan keharusan berbuat baik, tanpa merasa perlu karena menganggap tidak ada gunanya memasuki agama formal seperti Yahudi dan Kristen?

Pertanyaan serupa itu sepintas lalu mensugestikan hal yang logis dan masuk akal. Apalagi kitab suci sendiri juga selalu berbicara tentang “iman” dan “amal saleh” dua serangkai nilai yang harus dipunyai manusia. Tetapi dalam penelaahan lebih lanjut, pertanyaan itu dapat menimbulkan problema, pertama dalam kenyataan historis tidak pernah ada system kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus-ritus bahkan pandangan hidup yang tidak berpretensi religiositas sama sekali, malahan berprogram menghapuskan agama seperti komunisme juga mempunyai system ritualnya sendiri. Melalui ritus-ritus itu yang wujudnya bisa berupa sejak dari sekedar menunjukkan rasa hormat kepada lambang partai sampai kepada penghayatan dogmatis doktrin-doktrin dan ideology partai, seorang komunis memperkukuh komitmen dan dedikasinya kepada anutan hidup dan cita-cita bersamanya. Demikian pula ajaran-ajaran kebatinan atau spiritualisme “nonformal” seperti yang ada pada gerakan theosofi semisan Masonry, juga mengintrodusir bentuk-bentuk ritual tertentu bagi para anggotanya. Sekurang-kurangnya tentu ada proses inisiasi keanggotaan, dalam bentuk upacara konfesi dan ucapan janji setia misalnya bai’at. Maka secara empiris setiap system kepercayaan selalu melahirkan system ritual atau ibadatnya sendiri.

Problema kedua dari persoalan iman tanpa ibadat ialah bahwa iman berbeda dari system ilmu atau filsafat yang hanya bedimensi rasionalitas, selalu memiliki dimensi suprarasional atau spiritual yang mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan devotional (kebaktian) melalui system ibadat. Tindakan-tindakan kebaktian itu tidak hanya meninggalkan dampak memperkuat rasa kepercayaan dan memberi kesadaran lebih tinggi tentang implikasi iman dalam bidang perbuatan, tetapi juga menyediakan pengalaman keruhanian yang tidak kecil artinya bagi rasa kebahagiaan. Pengalaman keruhanian itu misalnya ialah rasa kedekatan kepada sesembahan (Allah, Tuhan yang maha esa) yang merupakan wujud makna dan tujuan hidup manusia.

Problema ketiga ialah bahwa memang benar yang penting adalah iman dan amal saleh, yaitu suatu rangkaian dari dua nilai yang salah satunya (iman) mendasari yang lain (amal saleh). Tetapi iman yang abstrak itu, untuk dapat melahirkan dorongan dalam diri seseorang kearah perbuatan yang baik haruslah memiliki kehangatan dan keakraban dalam jiwa seorang yang beriman dan ini bisa diperoleh melalui kegiatan ubudiyah. Justru umum memahami bahwa wujud nyata hidup keagamaan selalu didapatkan dalam bentuk-bentuk kegiatan ubudiyah ini.

Dari hal-hal diatas itu kiranya menjadi jelas bahwa sistem ibadat merupakan salah satu kelanjutan logis iman. Jika tidak dikehendaki iman menjadi sekedar rumusan-rumusan abstrak, tanpa kemampuan , memberi dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yang sejati, maka keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seseorang kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yaitu Tuhan.
cover buku Islam Doktrin Peradaban


Ibadat antara Iman dan Amal-perbuatan

Persoalan diatas dapat kita kembangkan menjadi pokok pembicaraan tentang kedudukan ibadat sebagai institusi iman atau institusi yang menengahi antara iman dan konsekuensinya yaitu amal-perbuatan.

Sebagai sikap batin iman atau keimanan bisa berada pada tingkat keabstrakan yang tinggi yang sulit ditangkap hubungannya dengan perilaku nyata sehari-hari. Semua agama samawi (Arab: samawi. “ bersifat langit” yakni berasal dari allah Tuhan yang maha esa yang menyatakan kehendak atau ajarannya melalui wahyu kepada seorang utusan dan menghasilkan kitab suci, menekankan keselamatan melalui iman. Tekanan itu terutama tedapat pada agama-agama Ibrahimi (abrahamic religions), karena dari segi pokok-pokok ajaran bernenek moyang kepada ajaran Nabi Ibrahim a.s dari sekitar abat 1800 S.M.) yaitu agama yahudi Kristen dan islam. Tetapi agama-agama itu juga sangat menekankan adanya keterkaitan atau konsekuensi langsung antara iman dan amal atau perbuatan nyata manusia Maka bagi agama-agama samawi itu Tuhan tidak dipahami sebagai yang berlokus pada benda-benda (totemisme) atau upacara –upacara (sakramentalisme) seperti pada beberapa agama lain tetapi sebagai yang mengatasi alam dan sekaligus menuntut kepada manusia untuk menjalani hidupnya mengikuti jalan tertentu yang ukurannya ialah kebaikan seluruh anggota masyarakat manusia sendiri. Dengan kata-kata lain disamping bersifat serba tansendental dan maha tinggi, menurut agama samawi Tuhan juga bersifat etikal dalam arti bahwa Dia menghendaki pada manusia tingjah laku yang akhlaki atau etis, bermoral.

Maka menengahi iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal perbuatan yang konkret itu ialah ibadat-ibadat dan tingkah laku atau amal-perbuatan yang konkret itu ialah ibadat-ibadat. Seolah-olah suatu konkretisasi rasa keimanan, ibadat mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada tuhan (taqarrub). Dalam ibadat itu seorang hamba Tuhan atau abd Allah merasakan kehampiran spiritual kepada khaliknya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan sesuatu yang dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau religiositas, yang dalam pandangan mistis seperti pada kalangan kaum sufi itu cenderung melihat bahwa rasa keagamaan haus selalu berdimensi esoteric, dengan penegasan bahwa setiap tingkah laku eksoteris (lahiriyah) abash hanya jika menghantar seseorang kepada pengalaman esoteris (batiniah) ini.

Tetapi, disamping makna intrinsiknya, ibadat juga mengandung makna instrumental karena ia bisa dilihat sebagai usaha pendidikan pribadi dan kelompok (jama’ah) kearah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku bermoral. Asumsinya ialah bahwa melalui ibadat seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya mewujudkan kehidupan bersama yang sebaik-baiknya di dunia ini. Akar kesadaran itu ialah keinsyafan yang mendalam akan pertanggungan jawab semua pekerjaan kelak dihadapan Tuhan dalam pengadilan illahi yang tak terelakkan, yang disitu seseorang tampil mutlak hanya sebagai pribadi. Maka karena sifatnya yang amat pribadi (dalam seginya sebagai hubungan antara seorang hamba kepada Tuhannya), ibadat dapat menjadi instrument pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Dalam kitab suci dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadat ialah tumbuhnya semacam solidaritas sosial. Bahkan ditegaskan bahwa tanpa tumbuhnya solidaritas sosial itu ibadat bukan saja sia-sia dan tidak akan membawa kepada keselamatan, malahan terkutuk oleh Tuhan.

Karena itu, dalam tinjauan ini ibadat dapat disebut sebagai bingkai dan pelembagaan iman yang membuatnya mewujudkan diri dalam bentuk tingkah laku dan tindak-tanduk nyata. Disamping itu dan selain sebagai perwujudan nyata iman, ibadat juga berfungsi sebagai usaha pemelihara dan penumbuh iman itu sendiri. Sebab iman bukanlah perkara statis, yang tumbuh sekali untuk selamanya. Sebaliknya iman bersifat dinamis, yang mengenal irama pertumbuhan negatif (menurun, berkurang, melemah) maupun pertumbuhan positif (menaik, bertambah, menguat), yamg memerlukan usaha pemeliharaan dan penumbuhan terus menerus.

No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages