Cerpen Kuntowijoyo
IA tidak usah
khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh
kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar.
Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas
menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak
mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.
Tidak seorang pun
di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu.
Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap
malam itu. Tidak ada angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang
melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya
kunang-kunang yang menemaninya. Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan
tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa.
Dia tinggal mencari
timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari : seorang perempuan
telah meninggal pada malam Selasa Kliwon. Itu telah disebarkan dari desa ke
desa, seperti api yang membakar jerami kering di sawah. Dengan celana dan baju
tentara yang lusuh, yang dibelinya dari tukang rombeng di pasar, ia keluar
rumah. Digulungnya baju itu ke atas, dan menyembullah otot lengannya. Ia
berjalan tanpa sandal. Di tangannya adalah plastik hitam. Dalam gelap malam,
plastik itu nyaris tak tampak. Ada teplok di rumahnya, tapi lampu itu kalah
dengan gelap malam.
“Ke mana, Kang?”
Tanya istrinya, ketika dia keluar lewat tengah malam itu.
“Ronda”.
“Bukan harinya kok
ronda?”
“Hh”
Ia tahu orang desa
akan menjaga kuburan itu sepanjang malam. Mereka akan bergerombol di sekitar
petromaks yang dibawa dari desa. Mereka akan mendirikan atap dari daun kepala,
mencegah kantuk dengan mengobrol atau main kartu. Makan, makanan kecil, dan
minum akan dikirim dari desa. Tetapi itu pun tidak perlu dikhawatirkan. Ia
telah membawa beras kuning dari dukun dalam kantung plastik. Apa yang harus
dikerjakan ialah menabur beras itu di empat penjuru angin yang mengelilingi
para penjaga kubur. Selanjutnya, biarkanlah beras kuning itu bekerja.
Ia mengendap-endap
dalam gelap. Terdengar dari jauh canda orang-orang di bawah bertepe, atap dari
daun kepala itu.
“Mati kau!
Terimalah, ini as!” kata orang itu sambil membantingkan kartunya di tikar
plastik. Ia menaburkan beras kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra.
“Rem-rem sidem
premanen, rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen.” Gurunya menyebut
jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang diturunkan oleh Raden Indrajit,
pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah menidurkan prajurit Rama, dan akan
menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan. Setelah selesai satu arah, ia
harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai dengan kiblat papat, arah yang
keempat dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning yang
kelima kali di pancer, pusat, tempat orang-orang menjaga. Ketika ia menaburkan
beras kuning yang kedua kalinya, terdengar kentong dipukul jauh di desa.
Beruntunglah ia, makam itu terletak di gundukan pinggir desa, sehingga kentong
itu tidak berpengaruh apa-apa pada penduduk desa yang di makam itu.
Kentong terdengar
lagi ketika ia menaburkan beras ketiga kalinya. Ada tanda-tanda bahwa orang
mulai mengantuk. “Oahem suk ruwah mangan apem,” kata seorang keras-keras,
sambil menguap. Dan suara-suara mulai berhenti ketika ia menaburkan beras
keempat kalinya.
***
IA menunggu
sebentar. “Sabar, sabar, bekerja itu jangan grusa-grusu,” katanya pada diri
sendiri. Ia keluar dari gelap.
Dilihatnya
orang-orang sudah tertidur. Tempat itu seperti bekas orang bunuh diri minum
racun. Disebarnya beras kuning terakhir, dan mengucapkan mantera. Orang-orang
tertidur, dibuai mimpi indah yang tak ingin segera berakhir.
Seorang pemain
kartu terlena, ditangannya masih ada setumpuk kartu yang belum habis dibagikan.
Semut yang menggotong butir nasi berhenti di jalan, tertidur. Cengkerik
berhenti berbunyi. Rumput-rumput menunduk lesu. Kunang-kunang berhenti terbang
dan mencari tambatan, tertidur di seberang tempat. Angin berhenti mengalir.
Laki-laki itu menuju petromaks dan mematikannya. Ia mendekati kuburan baru.
Beruntunglah dia, tanah itu berpasir. Dia harus mengeduk kuburan itu dengan
tangan telanjang, mengeluarkannya dan menggigit telinga kanan-kiri dengan
giginya, dan membawanya lari dengan mulutnya ke rumah guru.
Dia
mencabut patok-patok, mulai menggali timbunan itu. Ini adalah laku terakhir
baginya. Dan yang akan membuatnya kaya-raya telah memintanya bertapa tujuh hari
tujuh malam, dan mencari daun telinga orang meninggal pada hari Anggara Kasih.
Pada hari kelima pertapaannya di sebuah hutan yang gawat kelewat-lewat karena
sangat angker seluruh tubuhnya serasa dikeroyok semut. Dan hari keenam
dirasanya tempat itu banjir, membenamkannya sampai leher. Pada hari terakhir ia
dijumpai kakek-kakek dengan janggut putih, dan ditanyai apa keinginannya. Ia
sudah siap dengan air gula kelapa, yang akan dengan cepat memulihkan tenaganya.
Pendek kata, tujuh
hari bertapa itu dia lulus. Dan sekarang ia menghadapi ujian terakhirnya!
Kuburan orang yang
meninggal Selasa Kliwon akan dijaga sampai hari ketujuh. Itulah sebabnya ia
perlu bekal beras kuning dari guru.
Tidak, bukan karena
ia kemasukan setan, kalau ia bekerja keras menggali kubur itu dengan tangannya.
Karena dengan cara itulah ia akan bisa mendandani istrinya dengan sepasang
subang emas berlian di telinganya, dan di tangannya melilit ularularan dari
emas. Niatnya untuk mengganti gigi kuning istrinya dengan emas sudah lama
diurungkannya, karena memakai gigi emas bukan zamannya. Anakanaknya akan
memakai sepatu ke sekolah, dan uang SPP tidak akan menunggak.
Ia akan membelikan
truk supaya keponakannya tidak usah ke kota. Dan adiknya yang bungsu, yang jadi
TKI di Bahrain, akan dipanggilnya pulang, sebab cukup banyak yang bisa
dikerjakan di rumah. Lebih dari segalanya, ia akan pergi pada lurah dan
menyerahkan tanahnya yang seperempat hektar dengan gratis yang semula dipatok
dengan harga lima ratus rupiah semeter untuk pembangunan lapangan golf. Ia akan
membuka warung-warungan di rumahnya, sekedar untuk menutupi kekayaannya yang
bakal mengucur tanpa henti. Benar, mungkin warungnya tidak laku, tapi uang di
bawah bantalnya takkan pernah kering. Namun kalau terpaksa mencuri, akan
dimintanya danyang hanya mencuri harta orangorang kaya yang serakah. Setelah
kaya, dia akan berhenti mempekerjakan danyangnya.
Sekalipun
jari-jarinya kasar oleh kerja serabutan sebagai kuli, menggali kuburan dengan
tangan itu membuat jari-jarinya sakit. Keringat yang keluar dari tubuhnya yang
panas karena bekerja di ruangan sempit itu mengalir ke jari-jarinya dan terasa
perih. Tetapi hal itu tidak dirasakannya. Eh, dalam benar mereka menggali.
Peti kayu itu sudah
tampak. Kaya juga orang ini, pakai keranda segala, pikirnya. Kayu-kayu
dibuangnya. Dan sebagian tanah itu berguguran dan menutup mayat. Agak kesulitan
dia mengeluarkan mayat itu, karena lubangnya sempit dan gelap, sinar bintang
tertutup oleh tanah, dan dia tidak bisa berdiri di situ tanpa menginjak mayat.
Akhirnya, dengan kedua kakinya mengangkang dia merenggut kain kafan mayat dan
berusaha mengangkat. Mayat itu masih baru, bau kapur barus, amis, dan bau tanah
bercampur kapur. Dia tidak peduli mayat itu rusak waktu dinaikkan.
Mayat itu dingin
dan kaku. Dia berhasil mengangkat mayat itu, tetapi ruanga terlalu sempit
baginya untuk menggigit dua telinganya. Ia memutuskan untuk menaikkan mayat
itu. Dan mayat itu tergeletak di tanah. Dengan cekatan dibukanya kain kafan
yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan
menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama
kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah
betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh
bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan
rumah-rumah tembok.
***
DITERANGI
bintang-bintang di atas ia dapat melihat dua ekor anjing, seekor putih dan
seekor tidak putih, menunggui dia bekerja. Sekalipun matanya tidak bisa
melihat, tapi dia tahu bahwa anjing-anjing itu menjulurkan lidah, meneteskan air
liur, dan memperlihatkan taring. Dia berpikir mungkin itu anjing siluman, sebab
ia lupa bersila khidmat, “Demi periprayangan yang mbaureksa makam, jangan diganggu,
izinkanlah cucumu bekerja.” Diucapkannya kalimat itu tiga kali. Tetapi anjing
itu malah bertambah, jadi empat. Ia dapat melihat dalam temaram anjing-anjing
itu menantikan kesempatan. Tahulah ia, bahwa bekerja cepat.
Ketika ia
membungkuk, mau menggigit telinga, seekor anjing menyambar. Dia membatalkan
niatnya, menggunakan tangan untuk mengusir anjing itu. Anjing yang tiga ekor
berusaha merobek kain kafan dengan moncongnya dan cakarnya. Dia menggunakan
sebelah kakinya untuk mengusir anjing-anjing itu.
Didengarnya ada
anjing-anjing lain menggonggong di pinggir makam. Mereka segera menyerbu mayat.
Celaka, anjing itu
menjadi tujuh ekor. Mereka tidak memberi kesempatan baginya untuk menggigit
telinga lagi. Sementara itu jari-jari tangannya yang terluka, mungkin oleh
kerikil-kerikil tajam terasa pedih. Tapi dia tidak mau mundur. Setiap kali ia
mau menggigit telinga ada saja mengganggunya. Kalau saja anjinganjing itu mau
diajak berdamai, sebenarnya dia hanya butuh dua telinga, selebihnya biarlah
untuk anjing-anjing itu. Dia mau bilang pada anjing-anjing bahwa bagian kepala
itu kebanyakan hanya tulang, kalau mau bagian yang berdaging, pahalah tetapi
jangan kepala. Biarlah bagian penuh tulang itu untuk bangsa manusia, untuk
bangsa hewan ya bagian yang berdaging. Tetapi anjinganjing itu tidak mau
berkompromi. Kain kafan itu robek-robek oleh moncong dan cakar anjing.
Sebagai orang desa
matanya terbiasa dengan malam. Jelas terlihat bahwa daging di bagian paha mayat
mulai robek. Dia melupakan urusan telinga itu. Yang akan dikerjakan ialah
mengusir anjing-anjing, yang mungkin binatang liar yang tak tahu aturan.
Jari-jarinya mulai mengeluarkan darah. Ia menahan rasa sakitnya, dan mempergunakan
tangan dan kakinya untuk menyerang binatang-binatang itu. Dia ingat bahwa ada
patok kayu di kepala dan kaki kuburan. Ditemukannya kayukayu itu. Dia mengamuk
dengan kayu-kayu itu di tangan.
Ternyata hasilnya lumayan.
Anjing-anjing itu menepi dari mayat. Itu memberinya kesempatan untuk kembali
membungkuk. Yang dikerjakannya sederhana : menggigit telinga-telinga dan pergi.
Tetapi anjing-anjing liar itu tidak memberi kesempatan. Begitu ia tidak memperhatikan
mereka dan membungkuk, anjing-anjing mulai menyambar lagi. Rupanya ia harus
mengusir anjing-anjing agak jauh. Dan dengan kayu dan “sh sh sh” ia berhasil
mengusir mereka lebih jauh. Lagi, anjing-anjing itu menyerbu waktu ia
membungkuk.
Darah di
jari-jarinya menderas, membasahi kayu-kayu di tangannya. Matanya berkunang-kunang,
dan ia merasakan badannya mulai lemas. Dan anjing-anjing itu semakin galak.
Mereka tidak lari ke pinggir, tapi menahan kesakitan oleh pukulan-pukulan kayu
yang makin lemah.
Suara-suara mereka
yang gaduh dan lolongan– sebagian lolongan karena kesakitan – telah
membangunkan orang-orang yang menjaga kuburan. Orang-orang itu masih sempat
melihat dia mengayunkan kayu, sebelum akhirnya ia terjatuh, tak sadar.
Anjing-anjing itu menyelinap ke balik kegelapan ketika melihat banyak orang
datang. Mereka memandangi mayat dan laki laki pingsan itu.
“Pencuri!” kata seorang.
“Penyelamat!” kata yang
lain.
No comments:
Post a Comment