Prof. Miriam Budiardjo: Menafsirkan Kembali Sejarah Indonesia - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Wednesday, May 23, 2018

Prof. Miriam Budiardjo: Menafsirkan Kembali Sejarah Indonesia

foto: Prof Miriam Budiardjo.
Oleh: Prof. Mriam Budiardjo

Di Monash University, Melbourne, Australia, pada tanggal17 sampai dengan 20 Desember 1992 diadakan seminar mengenai “ Demokrasi Indonesia Pada Tahun 50-an dan 90-an”. Seminar ini dihadiri oleh sejumlah besar Indonesia Specialist, baik dari Australia maupun dari Amerika. Selain dari itu, sejumlah pakar bangsa Indonesia juga diundang untuk membuat makalah dan menjadi peserta. Selama empat hari (ditambah satu hari workshop) Indonesia diteliti di bawah mikroskop mengenai aspek politik, kebudayaan, agama, pers, ekonomi, dan sebagainya semua siding pleno dihadiri lebih dari 250 orang, yang mencerminkan bertambah besarnya perhatian terhadap Indonesia.

Seperti telah dapat diduga dari semula, banyak kritik yang ditujukan kepada Indonesia, terutama dalam diskusi seusai setiap presentasi makalah. Sepertinya merupakan kesempatan mengeluarkan uneg-uneg. Hal ini dalam suatu intellectual discourse sering terjadi. Hanya saja, yang kadang-kadang menjengkelkan ialah bahwa sebagian dari Indonesia bashing ini dilakukan oleh beberapa orang Indonesia sendiri. Mungkin karena terpancing oleh suasana di kampus Australia yang sebagian besar memang bersikap kritis terhadap Indonesia (kecuali Australia National University, Canberra, yang disamping kritis juga memperhatikan dan menghargai pertumbuhan ekonomi kita). Jika demikian, wajar-wajar sajalah. Yang disesali ialah bahwa dalam seminar ini tidak ada satu ekonom bangsa Indonesia (entah karena tidak diundang, entah karena berhalangan dating), sehingga banyak segi positif dari perkembangan Orde Baru kurang dapat ditonjolkan.

Tujuan dari seminar ialah membandingkan demokrasi di zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) dengan demokrasi Pancasila. Maka demokrasi Parlementer memperoleh sorotan khusus dari pakar-pakar mancanegara karena dianggap merupakan periode yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Ada kecenderungan untuk menafsirkan kembali atau mengadakan reinterpretation terhadap periode itu, yang telah dibahas oleh Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Government in Indonesia (1962). Dianggap bahwa Feith pada waktu itu terlalu terpukau oleh decline (kemunduran) sehingga kurang menghargai segi-segi positifnya, antara lain dihormatinya beberapa kebebasan politik seperti kebebasan berbiccara, kebebasan berorganisasi, dan sebagainya. Padahal yang dewasa ini ingin ditonjolkan oleh aliran baru ini, justru adanya kebebasan-kebebasan politik itu.

Secara khusus ingin ditafsirkan kembali cara-cara kita meninggalkan UUD 1950 serta kembali ke UUD 1945, karena ada anggapan bahwa konstituate tidak “gaga;”, tetapi “digagalkan”, Tindakan kembali ke UUD 1945 dianggap sebagai berakhirnya proses demokrasi di Indonesia (karena Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin dan selanjutnya), sesuatu yang sebenarnya belum perlu pada saat itu. Menurut merek, sebenrnya pada saat itu demokrasi masih dapat “diselamatkan”

Kita disini mengetahui bahwa memang anggota Konstituante gagal untuk menyusun suatu UUD baru. Dalam tiga tahun Konstituante bersidang banyak hal disepakati, seperti misalnya system penerintahan (yaitu system parlementer) dan hak-hak asasi, dan sebagainya, kecuali satu hal, yaitu dasar Negara. Mengenai hal ini, ada dua golongan yang berbeda pendapat, yakni golongan nasionalis dan golongan agama.

Melihat keadaan ini, yang dikuatirkan dapat menjadi konflik berkepanjangan, pemerintah Djuanda mengusulkan agar Konstituante memberlakukan kembali UUD 1945. Usul ini mengakibatkan munculnya berbgai usul amandemen dari partai-partai, antara lain dari K.H Masjkur dari golongan agama. Setelah dibicarakan panjang lebar, diputuskan untuk mengadakan voting mengenai usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa perubahan atau amandemen.

Dari hasil voting yang dilakukan tiga kali, ternyata bahwa posisi dua golongan yang berbeda pendapat tidak banyak berubah. Golongan nasionalis memperoleh mayoritas atau “suara terbanyak”, akan tetapi tidak memperoleh mayoritas 2/3 suara (qualified majority) yang diperlukan. Hasil voting adalah sebagai berikut (lihat disertasi A. Buyung Nasution, hlm. 397). Voting pertama 269 setuju, 199 tak setuju (yang diperlukan 316 setuju); voting kedua 264 setuju, 204 tidak setuju (yang diperlukan 312 setuju); voting ketiga 263 setuju, 203 tak setuju (yang diperlukan 312 setuju).
Seandainya voting diadakan atas dasar “suara terbanyak” atau dasar simple majority (50%+1), maka usul pemerintah menang suara, akan tetapi hanya karena masalah prosedur, yaitu mayoritas yang diperlukan adalah 2/3, usul pemerintah tidak dapat dijadikan keputusan Konstituante. Jadi Konstituante gagal, karena kedua golongan tidak berhasil mencapai kesepakatan.

Kalangan-kalangan yang ingin mengadakan tafsiran kembali ini berpendapat bahwa pada saat itu masih ada peluang untuk mengadakan kompromi, sehingga belum perlu untuk mencanangkan Dekrit Presiden. Dengan kata lain, Dekrit itu hanya untuk kepentingan pribadi Presiden Soekarno dan Jendral Nasution.

Mereka mengabaikan bahwa polarisasi itu, jika berlarut-larut, dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan memecah belah, sehingga ada urgensi untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera. Apalagi masalah daerah (PRRI dan Permesta) belum terselesaikan sepenuhnya. Lagi pula mereka tidak menyadari bahwa DPR yang anggotanya (seperti Konstituante) dipilih dalam suatu pemilihan umum yang betul-betul demokratis, dalam sidangnya tanggal 22 Juli 1959 telah menyetujui dengan aklamasi untuk kembali ke UUD 1945 itu. Hal itu berarti bahwa partai-partai yang tadinya dalam Konstituante tidak setuju dengan kembalinya ke UUD 1945, kemudian menyatakan persetujuannya melalui anggotanya di DPR. Mengingat bahwa DPR pada waktu itu merupakan badan legislative tertinggi, dengan dibubarkannya Konstituante dan belum terbentuknya MPR, maka dukungan semacam ini mempunyai bobot tersendiri.

Dalam pemikiran revisionis ini, para cendikiawan (termasuk Feith sendiri yang mengakui dulu lebih banyak melihat pada “kejadian ketimbang pada pelaku” [events rather than actors]), cenderung menilai kembali juga aspek-aspek masa Demokrasi Parlementer lainnya seperti berfungsinya pemerintah, dan dihormatinya kebebasan bicara serta berorganisasi. Akan tetapi analisis baru ini sering kali tidak didukung oleh fakta karena mereka tidak mendapat kesempatan lagi untuk mencari pembuktian baru, sebab banyak pelaku tidak dapat diwawancarai lagi, atau karena sudah meninggal dunia atau karena jarak antara peneliti dan pelaku terlalu jauh. Dengan terlalu banyak memajukan if (“seandainya hal ini tidak terjadi, mungkin lakonnya akan lain”) maka hasil “analisis” ini memberi kesan terlalu diwarnai spekulasi dan wishful thinking.

Hal lain yang dibicarkan ialah apakah suatu Negara yang ingin membangun ekonominya (seperti banyak Negara berkembang termasuk Indonesia) memerlukan masa pemerintahan otoriter, sebab pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas. Baru sesudah pembangunan mencapai titik tertentu, demokrasi dapat dikembangkan. Dalam hal ini Korea Selatan dan Taiwan menjadi acuan. Ada yang menyatakan memang demikian, ada yang berpendapat lain.

Yang juga dimasalahkan ialah bagaimana peran kelas menengah dalam proses demokratisasi. Apakah ia dapat bertindak sebagai penggerak ke arah demokratisasi seperti yang telah terjadi di Eropa pada masa lampau, dan dewasa ini di Korea Selatan dan Taiwan, dan apakah kelas menengah Indonesia (yang sekarang masih embrio) dapat memainkan peran itu. Ada pakar yang menyatakan bisa kea rah itu, ada yang berpendapat kelas menengah Indonesia akan tetap lemah dan tidak dapat menjadi factor dalamproses demokratisasi.

Peran ABBRI, terutama di masa Orde Baru, juga dibahas. Dari diskusi nyatalaj bahwa untuk orang Barat umumnya sukar diterima bahwa dalam suatu Negara demokrasi golongan militer dapat berperan di bidang social dan politik. Sekalipun demikian, pakar Ulf Sundhaussen ternyata mempunyai pandangan yang lebih obyektif dan menunjukkan pengertian yang cukup mendalam mengenai kedudukan angkatan bersenjata di Indonesia.

Anehnya ialah bahwa seminar itu tidak membicarakan masalah fundamental: apakah itu demokrasi, apakah ciri-cirinya, dan apakah syaratnya agar suatu Negara dapat dinamakan suatu Negara yang demokratis? Dengan demikian tidak jelas apa yang menjadi tolak ukur untuk demokrasi. Jadi, setiap orang bicara melalui presepsi sendiri-sendiri, kecuali Bill Liddle yang dalam makalahnya menyinggung beberapa ciri demokrasi.

Selama seminat itu saya pernah ditanya oleh seorang Australia, mengapa  kita tidak membuat seminar empat hari di Indonesia, di mana Australia dibaringkan di atas meja operasi dan diperiksa semua bagian tubuhnya, seperti masalah pengangguran, kamu aborigenes, dan demokrasi (saai itu tergelar beberapa poster di depan salah satu kantoe pemerintah di Melbourne mempertanyakan demokrasi di Australia). Sayang kita belum mempunyai cukup banyak Australia specialist. Untuk mempelajari masyarakat kita sendiri saja pakar-pakar kita tidak cukup waktu karena terpaksa harus mencari “masukan” tambahan untuk menghidupi keluarga. Lagi pula, fasilitas pendukung seperti perpustakaan kurang memadai.

Dalam hubungan ini perlu disimak tulisan seorang sarjana Amerika yang diedarkan kira-kira pertengahan tahun 1992 yang berjudul expecting the End of the new Order in Indonesia 1966-1991. Tulisan ini sedikit banyak meledek beberapa Indonesia specialist yang sudah mulai tahun 70-an meramalkan berakhirnya pemerintahan Orde Baru, dan setiap kali ternyata pemerintah tetap kukuh, terpaksa harus mengubah posisinya dengan mengemukakan argumentasi baru mengapa demikian, dan mengadakan ramalan baru.

Kebetulan beberapa doomsayer (peramal kiamat) menghadiri seminar di Melbourne ini. Tetapi perlu ditekankan bahwa tidak semua Indonesia specialist demikian. Banyak yang cukup obyektif dan banyak hasil riset mereka yang berguna bagi kita.

Yang jelas, studi mengenai Indonesia yang pusatnya sedang beralih dari Amerika ke Australia, 
tengah diintensifkan. Hal itu sebaiknya menjadi cambuk bagi kita untuk meningkatkan riset kita sendiri mengenai masyarakat kita, agar kita dapet mengimbangi sorotan dari pakar-pakar mancanegara.

Salah satu jala, seperti juga telah diusulkan oleh salah seorang peserta Indonesia, ialah memulai suatu dialog ilmiah mengenai demokrasi dan demokratisasi di Indonesia yang untuk babak pertama, didasarkan atas liputan di media massa. Dalam usaha ini tidak ada salahnya kita melihat pengalaman kita di masa lalu. Hal ini penting, sebab pengetahuan genersi muda mengenai masa lalu kita sangat terbatas.

Misalnya saja, banyak anggota masyarakat yang menginginkan peningkatan keterbukaan terutama bagi pers, sekaligus pers diharapkan akan lebih bertanggung jawab daripada dalam masa Demokrasi Parlementer.

Kita ingin suatu DPR yang ditingkatkan fungsunya antara lain di bisang legislative dan accountability. Mungkin kita dapat mempelajari DPR-DPR masa lampau yang dokumentasinya lengkap dengan risalah dan Iktisar dari semua pembicaraan yang diadakan. Juga perlu diperhatikan bahwa jumlah undang-undang yang dihasilkan dalam masa lampau cukup mengesankan, yaitu DPR Sementara rata-rata 29,9 undang-undang per tahun dan DPR hasil Pemilu 1955 rata-rata 33,9 undang-undang per tahun dan mutu undang-undang itu cukup bagus (hasil DPR 1987-1992 adalah 11 undang-undang per tahun).

Yang jelas, kita tidak menginginkan diabaikannya pembangunan ekonomi, sebab memang merupakan dungsi sangat penting dari suatu pemerintah, apakah dia demokrasi atau tidak. Dalam tujuh tahun 1951-1957, pendapatan per kapita naik hanya 18% indeks pertumbuhan ekonomi rata-rata 2,5% per tahun, padahal pertumbuhan penduduk 2,6% per tahun. Pada 1958 pertumbuhan ekonomi mandeg. Produksi dan konsumsi beras pada tahun 1950-1957 hanya naik dari 77,7 kg menjadi 85 kg (lihat Grassburner, economic policy – Making in Indonesia, 1950-1957; dan Sjahrir, Ekonomi Politik KebutuhanPokok). Dibandingkan dengan hasil pembangunan ekonomi Orde Baru, perbedaannya seperti siang dan malam.

Juga kita tidak menginginkan suatu system multi partai yang berlebihan, di mana partai-partai itu tidak berhasil mengembangkan suatu oposisi yang bertanggung jawab, dalam arti dapat mengembangkan suatu program kerja yang siap untuk dilaksanakan begitu tiba menjadi partai pemerintah. Lagi pula, tiada kesetiakawanan antar-partai, sehingga partai yang menjadi mitra koalisi tidak segan-segan menarik kembali mentrinya dari cabinet setiap kali timbul masalah. 

Akibatnya, kabinet kehilangan dukungan dari DPR dan setiap pemerintah koalisi rapuh sifatnya. Perlu kiranya dimanfaatkan bahwa mulai tahun 1973 kita hanya mempunyai tiga orsospol. Mungin mereka telah cukup dewasa untuk dapat bertindak sebagai mitra pemerintah seraya mengembangkan pemikiran mengenai kebijakan-kebijakan alternative tanpa bersikap konfrontatif.
Melalui sejumlah seminar, mungkin kaum cendekiawan serta anggota kelas menengah lainnya, meskipun masih kecil jumlahnya, dapat memberi sumbangan positif kepada perkembangan bangsa dan Negara ke arah Demokrasi Pancasila yang lebih sempurana.


-----------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini dimuat di harian Kompas 11 Januari 1993 dengan Judul “Menafsirkan Kembali Sejarah Indonesia”
 diambil dari buku "Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila




Prof Miriam Budiardjo (lahir di Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah, 20 November 1923 – meninggal di Jakarta, 8 Januari 2007 pada umur 83 tahun) adalah pakar ilmu politik Indonesia dan mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Istri Ali Budiardjo, seorang tokoh perjuangan Indonesia, ini pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) periode 1974–1979. Ia masih bersaudara dengan Soedjatmoko



No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages