foto: Prof Miriam Budiardjo. |
Di Monash University, Melbourne, Australia, pada tanggal17 sampai dengan 20 Desember 1992 diadakan seminar mengenai “ Demokrasi Indonesia Pada Tahun 50-an dan 90-an”. Seminar ini dihadiri oleh sejumlah besar Indonesia Specialist, baik dari Australia maupun dari Amerika. Selain dari itu, sejumlah pakar bangsa Indonesia juga diundang untuk membuat makalah dan menjadi peserta. Selama empat hari (ditambah satu hari workshop) Indonesia diteliti di bawah mikroskop mengenai aspek politik, kebudayaan, agama, pers, ekonomi, dan sebagainya semua siding pleno dihadiri lebih dari 250 orang, yang mencerminkan bertambah besarnya perhatian terhadap Indonesia.
Seperti telah dapat diduga
dari semula, banyak kritik yang ditujukan kepada Indonesia, terutama dalam
diskusi seusai setiap presentasi makalah. Sepertinya merupakan kesempatan
mengeluarkan uneg-uneg. Hal ini dalam suatu intellectual
discourse sering terjadi. Hanya saja, yang kadang-kadang menjengkelkan ialah
bahwa sebagian dari Indonesia bashing ini
dilakukan oleh beberapa orang Indonesia sendiri. Mungkin karena terpancing oleh
suasana di kampus Australia yang sebagian besar memang bersikap kritis terhadap
Indonesia (kecuali Australia National University, Canberra, yang disamping
kritis juga memperhatikan dan menghargai pertumbuhan ekonomi kita). Jika
demikian, wajar-wajar sajalah. Yang disesali ialah bahwa dalam seminar ini
tidak ada satu ekonom bangsa Indonesia (entah karena tidak diundang, entah
karena berhalangan dating), sehingga banyak segi positif dari perkembangan Orde
Baru kurang dapat ditonjolkan.
Tujuan dari seminar ialah
membandingkan demokrasi di zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) dengan
demokrasi Pancasila. Maka demokrasi Parlementer memperoleh sorotan khusus dari
pakar-pakar mancanegara karena dianggap merupakan periode yang paling
demokratis dalam sejarah Indonesia. Ada kecenderungan untuk menafsirkan kembali
atau mengadakan reinterpretation
terhadap periode itu, yang telah dibahas oleh Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Government in
Indonesia (1962). Dianggap bahwa Feith pada waktu itu terlalu terpukau oleh
decline (kemunduran) sehingga kurang
menghargai segi-segi positifnya, antara lain dihormatinya beberapa kebebasan
politik seperti kebebasan berbiccara, kebebasan berorganisasi, dan sebagainya.
Padahal yang dewasa ini ingin ditonjolkan oleh aliran baru ini, justru adanya
kebebasan-kebebasan politik itu.
Secara khusus ingin
ditafsirkan kembali cara-cara kita meninggalkan UUD 1950 serta kembali ke UUD
1945, karena ada anggapan bahwa konstituate tidak “gaga;”, tetapi “digagalkan”,
Tindakan kembali ke UUD 1945 dianggap sebagai berakhirnya proses demokrasi di
Indonesia (karena Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin dan selanjutnya),
sesuatu yang sebenarnya belum perlu pada saat itu. Menurut merek, sebenrnya
pada saat itu demokrasi masih dapat “diselamatkan”
Kita disini mengetahui
bahwa memang anggota Konstituante gagal untuk menyusun suatu UUD baru. Dalam
tiga tahun Konstituante bersidang banyak hal disepakati, seperti misalnya
system penerintahan (yaitu system parlementer) dan hak-hak asasi, dan
sebagainya, kecuali satu hal, yaitu dasar Negara. Mengenai hal ini, ada dua
golongan yang berbeda pendapat, yakni golongan nasionalis dan golongan agama.
Melihat keadaan ini, yang
dikuatirkan dapat menjadi konflik berkepanjangan, pemerintah Djuanda
mengusulkan agar Konstituante memberlakukan kembali UUD 1945. Usul ini
mengakibatkan munculnya berbgai usul amandemen dari partai-partai, antara lain
dari K.H Masjkur dari golongan agama. Setelah dibicarakan panjang lebar,
diputuskan untuk mengadakan voting mengenai usul pemerintah untuk kembali ke
UUD 1945 tanpa perubahan atau amandemen.
Dari hasil voting yang dilakukan tiga kali, ternyata
bahwa posisi dua golongan yang berbeda pendapat tidak banyak berubah. Golongan
nasionalis memperoleh mayoritas atau “suara terbanyak”, akan tetapi tidak
memperoleh mayoritas 2/3 suara (qualified
majority) yang diperlukan. Hasil voting adalah sebagai berikut (lihat
disertasi A. Buyung Nasution, hlm. 397). Voting pertama 269 setuju, 199 tak
setuju (yang diperlukan 316 setuju); voting kedua 264 setuju, 204 tidak setuju
(yang diperlukan 312 setuju); voting ketiga 263 setuju, 203 tak setuju (yang
diperlukan 312 setuju).
Seandainya voting diadakan
atas dasar “suara terbanyak” atau dasar simple
majority (50%+1), maka usul pemerintah menang suara, akan tetapi hanya
karena masalah prosedur, yaitu mayoritas yang diperlukan adalah 2/3, usul
pemerintah tidak dapat dijadikan keputusan Konstituante. Jadi Konstituante
gagal, karena kedua golongan tidak berhasil mencapai kesepakatan.
Kalangan-kalangan yang
ingin mengadakan tafsiran kembali ini berpendapat bahwa pada saat itu masih ada
peluang untuk mengadakan kompromi, sehingga belum perlu untuk mencanangkan
Dekrit Presiden. Dengan kata lain, Dekrit itu hanya untuk kepentingan pribadi
Presiden Soekarno dan Jendral Nasution.
Mereka mengabaikan bahwa
polarisasi itu, jika berlarut-larut, dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan
dan memecah belah, sehingga ada urgensi untuk menyelesaikan masalah ini dengan
segera. Apalagi masalah daerah (PRRI dan Permesta) belum terselesaikan
sepenuhnya. Lagi pula mereka tidak menyadari bahwa DPR yang anggotanya (seperti
Konstituante) dipilih dalam suatu pemilihan umum yang betul-betul demokratis,
dalam sidangnya tanggal 22 Juli 1959 telah menyetujui dengan aklamasi untuk
kembali ke UUD 1945 itu. Hal itu berarti bahwa partai-partai yang tadinya dalam
Konstituante tidak setuju dengan kembalinya ke UUD 1945, kemudian menyatakan
persetujuannya melalui anggotanya di DPR. Mengingat bahwa DPR pada waktu itu
merupakan badan legislative tertinggi, dengan dibubarkannya Konstituante dan
belum terbentuknya MPR, maka dukungan semacam ini mempunyai bobot tersendiri.
Dalam pemikiran revisionis
ini, para cendikiawan (termasuk Feith sendiri yang mengakui dulu lebih banyak
melihat pada “kejadian ketimbang pada pelaku” [events rather than actors]), cenderung menilai kembali juga
aspek-aspek masa Demokrasi Parlementer lainnya seperti berfungsinya pemerintah,
dan dihormatinya kebebasan bicara serta berorganisasi. Akan tetapi analisis
baru ini sering kali tidak didukung oleh fakta karena mereka tidak mendapat
kesempatan lagi untuk mencari pembuktian baru, sebab banyak pelaku tidak dapat
diwawancarai lagi, atau karena sudah meninggal dunia atau karena jarak antara
peneliti dan pelaku terlalu jauh. Dengan terlalu banyak memajukan if (“seandainya hal ini tidak terjadi,
mungkin lakonnya akan lain”) maka hasil “analisis” ini memberi kesan terlalu
diwarnai spekulasi dan wishful thinking.
Hal lain yang dibicarkan
ialah apakah suatu Negara yang ingin membangun ekonominya (seperti banyak
Negara berkembang termasuk Indonesia) memerlukan masa pemerintahan otoriter,
sebab pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas. Baru sesudah pembangunan
mencapai titik tertentu, demokrasi dapat dikembangkan. Dalam hal ini Korea
Selatan dan Taiwan menjadi acuan. Ada yang menyatakan memang demikian, ada yang
berpendapat lain.
Yang juga dimasalahkan
ialah bagaimana peran kelas menengah dalam proses demokratisasi. Apakah ia
dapat bertindak sebagai penggerak ke arah demokratisasi seperti yang telah
terjadi di Eropa pada masa lampau, dan dewasa ini di Korea Selatan dan Taiwan,
dan apakah kelas menengah Indonesia (yang sekarang masih embrio) dapat
memainkan peran itu. Ada pakar yang menyatakan bisa kea rah itu, ada yang
berpendapat kelas menengah Indonesia akan tetap lemah dan tidak dapat menjadi factor
dalamproses demokratisasi.
Peran ABBRI, terutama di
masa Orde Baru, juga dibahas. Dari diskusi nyatalaj bahwa untuk orang Barat
umumnya sukar diterima bahwa dalam suatu Negara demokrasi golongan militer
dapat berperan di bidang social dan politik. Sekalipun demikian, pakar Ulf
Sundhaussen ternyata mempunyai pandangan yang lebih obyektif dan menunjukkan
pengertian yang cukup mendalam mengenai kedudukan angkatan bersenjata di
Indonesia.
Anehnya ialah bahwa
seminar itu tidak membicarakan masalah fundamental: apakah itu demokrasi,
apakah ciri-cirinya, dan apakah syaratnya agar suatu Negara dapat dinamakan
suatu Negara yang demokratis? Dengan demikian tidak jelas apa yang menjadi
tolak ukur untuk demokrasi. Jadi, setiap orang bicara melalui presepsi sendiri-sendiri,
kecuali Bill Liddle yang dalam makalahnya menyinggung beberapa ciri demokrasi.
Selama seminat itu saya
pernah ditanya oleh seorang Australia, mengapa
kita tidak membuat seminar empat hari di Indonesia, di mana Australia
dibaringkan di atas meja operasi dan diperiksa semua bagian tubuhnya, seperti
masalah pengangguran, kamu aborigenes, dan demokrasi (saai itu tergelar
beberapa poster di depan salah satu kantoe pemerintah di Melbourne
mempertanyakan demokrasi di Australia). Sayang kita belum mempunyai cukup
banyak Australia specialist. Untuk mempelajari
masyarakat kita sendiri saja pakar-pakar kita tidak cukup waktu karena terpaksa
harus mencari “masukan” tambahan untuk menghidupi keluarga. Lagi pula,
fasilitas pendukung seperti perpustakaan kurang memadai.
Dalam hubungan ini perlu
disimak tulisan seorang sarjana Amerika yang diedarkan kira-kira pertengahan
tahun 1992 yang berjudul expecting the
End of the new Order in Indonesia 1966-1991. Tulisan ini sedikit banyak
meledek beberapa Indonesia specialist
yang sudah mulai tahun 70-an meramalkan berakhirnya pemerintahan Orde Baru, dan
setiap kali ternyata pemerintah tetap kukuh, terpaksa harus mengubah posisinya
dengan mengemukakan argumentasi baru mengapa demikian, dan mengadakan ramalan
baru.
Kebetulan beberapa doomsayer (peramal kiamat) menghadiri
seminar di Melbourne ini. Tetapi perlu ditekankan bahwa tidak semua Indonesia specialist demikian. Banyak yang
cukup obyektif dan banyak hasil riset mereka yang berguna bagi kita.
Yang jelas, studi mengenai
Indonesia yang pusatnya sedang beralih dari Amerika ke Australia,
tengah
diintensifkan. Hal itu sebaiknya menjadi cambuk bagi kita untuk meningkatkan
riset kita sendiri mengenai masyarakat kita, agar kita dapet mengimbangi
sorotan dari pakar-pakar mancanegara.
Salah satu jala, seperti
juga telah diusulkan oleh salah seorang peserta Indonesia, ialah memulai suatu
dialog ilmiah mengenai demokrasi dan demokratisasi di Indonesia yang untuk
babak pertama, didasarkan atas liputan di media massa. Dalam usaha ini tidak
ada salahnya kita melihat pengalaman kita di masa lalu. Hal ini penting, sebab
pengetahuan genersi muda mengenai masa lalu kita sangat terbatas.
Misalnya saja, banyak
anggota masyarakat yang menginginkan peningkatan keterbukaan terutama bagi
pers, sekaligus pers diharapkan akan lebih bertanggung jawab daripada dalam
masa Demokrasi Parlementer.
Kita ingin suatu DPR yang
ditingkatkan fungsunya antara lain di bisang legislative dan accountability. Mungkin kita dapat
mempelajari DPR-DPR masa lampau yang dokumentasinya lengkap dengan risalah dan
Iktisar dari semua pembicaraan yang diadakan. Juga perlu diperhatikan bahwa
jumlah undang-undang yang dihasilkan dalam masa lampau cukup mengesankan, yaitu
DPR Sementara rata-rata 29,9 undang-undang per tahun dan DPR hasil Pemilu 1955
rata-rata 33,9 undang-undang per tahun dan mutu undang-undang itu cukup bagus
(hasil DPR 1987-1992 adalah 11 undang-undang per tahun).
Yang jelas, kita tidak
menginginkan diabaikannya pembangunan ekonomi, sebab memang merupakan dungsi
sangat penting dari suatu pemerintah, apakah dia demokrasi atau tidak. Dalam tujuh
tahun 1951-1957, pendapatan per kapita naik hanya 18% indeks pertumbuhan
ekonomi rata-rata 2,5% per tahun, padahal pertumbuhan penduduk 2,6% per tahun.
Pada 1958 pertumbuhan ekonomi mandeg. Produksi dan konsumsi beras pada tahun
1950-1957 hanya naik dari 77,7 kg menjadi 85 kg (lihat Grassburner, economic policy – Making in Indonesia,
1950-1957; dan Sjahrir, Ekonomi Politik KebutuhanPokok). Dibandingkan dengan
hasil pembangunan ekonomi Orde Baru, perbedaannya seperti siang dan malam.
Juga kita tidak
menginginkan suatu system multi partai yang berlebihan, di mana partai-partai
itu tidak berhasil mengembangkan suatu oposisi yang bertanggung jawab, dalam
arti dapat mengembangkan suatu program kerja yang siap untuk dilaksanakan
begitu tiba menjadi partai pemerintah. Lagi pula, tiada kesetiakawanan
antar-partai, sehingga partai yang menjadi mitra koalisi tidak segan-segan menarik
kembali mentrinya dari cabinet setiap kali timbul masalah.
Akibatnya, kabinet kehilangan
dukungan dari DPR dan setiap pemerintah koalisi rapuh sifatnya. Perlu kiranya
dimanfaatkan bahwa mulai tahun 1973 kita hanya mempunyai tiga orsospol. Mungin mereka
telah cukup dewasa untuk dapat bertindak sebagai mitra pemerintah seraya
mengembangkan pemikiran mengenai kebijakan-kebijakan alternative tanpa bersikap
konfrontatif.
Melalui sejumlah seminar,
mungkin kaum cendekiawan serta anggota kelas menengah lainnya, meskipun masih
kecil jumlahnya, dapat memberi sumbangan positif kepada perkembangan bangsa dan
Negara ke arah Demokrasi Pancasila yang lebih sempurana.
-----------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------------
Tulisan
ini dimuat di harian Kompas 11
Januari 1993 dengan Judul “Menafsirkan Kembali Sejarah Indonesia”
diambil dari buku "Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila
Prof Miriam Budiardjo (lahir di Karanganyar, Kebumen, Jawa
Tengah, 20 November 1923 – meninggal di Jakarta, 8 Januari 2007 pada umur 83
tahun) adalah pakar ilmu politik Indonesia dan mantan anggota Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia. Istri Ali Budiardjo, seorang tokoh perjuangan Indonesia, ini
pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (FISIP UI) periode 1974–1979. Ia masih bersaudara dengan Soedjatmoko
No comments:
Post a Comment