Prawoto Mangkusasmito: Kongres Umat Islam Indonesia, Satu Konsepsi (Bag I) - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Tuesday, May 22, 2018

Prawoto Mangkusasmito: Kongres Umat Islam Indonesia, Satu Konsepsi (Bag I)


foto: Prawoto Mangkusasmito, diambbil dari rilis.id Prawoto merupakan Ketua Umum Terakhir Partai Masyumi

(Pidato Prawoto Mangkusasmito di hadapan masa anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciputat pada 12 Februari 1969.)

“Kesengajaan Melanggar Janji, itu tandanya sudah melupakan ajaran Islam”

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hadiri yang terhormat. Saya bersyukur kepada Allah karena pada malam hari ini saya daoat menepati janji saya kepada HMI Cabang Ciputat untuk memberikan ceramah. Sebelumnya saya merasa cemas kalau-kalau janji yang saya berikan itu tidak dapat ditepati karena sudah beberapa hari kesehatan saya terganggu, baru sore inilah saya bisa meninggalkan tempat tidur.

Saudara-saudara.

Sewaktu utusan saudara-saudara dari HMI Cabang Ciputat dating kepada saya untuk meminta agar saya bersedia memberikan ceramah dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun XXII HMI, saya jawab, saya bersedia untuk memberikan ceramah tersebut dengan satu syarat, yaitu agar acara ceramah itu nanti mulai dilaksanakan tepat pada waktunya yang telah ditentukan. Utusan saudara-saudara itu pun menyanggupi sambil mengatakan acara akan dimulai pada pukul 20.00

Sebelum pukul 20.00 saya sudah dating di rangan ini. Pada saat itu saya lihat baru satu dua orang saja yang telah hadir. Ketika waktu telah menunjukan tepat pukul 20.00, pimpinan yang sudah ada saya desak agar tetap memulai acara walaupun beberapa orang saja yang hadir. Saya kataka kalau sudah sampai waktunya ceramah diucapkan, insya Allah ruangan ini akan penuh juga. Alhamdulillah, sekarang ternyata kursi-kursi sudah hamper terisi semua sehingga ruangan ini sudah mulai kelihatan penuh.

Saudara-saudara.

Mengapa semua ini saya kemukakan? Sebab, “keterlambatan” sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia yang buruk. Kebiasaan untuk menyalahi janji yang dibuat sendiri dan kebiasaan untuk mempergunakan jam karet. Padahal, dengan menggunakan jam karet, orang tidak akan mendapat kemajuan.

Kita sudah lupa dengan ajaran agama kita sendiri. Islam mengajarkan agar selalu menepati janji. Oleh karena itu, saya desak pimpinan agar pukul 20.00 tadi acara dimulai. Kita berusaha untuk menepati janji. Agar kita jangan menanggung dosa.

Kebiasaan buruk itu menyalahi janji ini, untuk memakai jam karet ini, bukan hanya terjadi dikalangan biasa, bukan hanya pada acara konferensi-konferensi atau kongres-kongres suatu organisasi, bukan hanya pada rapat partai-partai, melainkan juga pada rapat-rapat dan siding-sidang lembaga-lembaga pemerintah. Saudara-saudara jangan mengira parlemen kita, apabila bersidang, tidak terkena penyakit jam karet itu. Parlemen itu pun tidak selalu dapat menepati supaya rapat-rapatnya dimulai pada waktu yang sudah ditentukan.

Saya kira ada baiknya mengenai persoalan waktu ini saya bercerita sedikir tentang suatu pengalaman yang saya pernah peroleh: sewaktu saya terpilih menjadi Wakil Ketua I Konstituante dulu. Timbullah suatu keinginan untuk mengadakan eksperimen   untuk mengetahui apakah kebiasaan buruk itu dapat hilang atau tidak. Ketika saya pertama kali bertugas memimpin suatu rapat konstituante, beberapa menit sebelum waktu permulaan rapat seperti yang telah ditentukan dalam acara resmi, saya sudah duduk di atas kursi ketua. Persis pada waktu yang sudah ditentukan rapat saya buka. Kepada sekretaris saya tanyakan berapa jumlah anggota yang hadir.  Ternyata jumlahnya belum memenuhi kuorum rapat. Yaitu separuh ditambah satu jumlah anggota siding Konstituante. Kemudian, sesuai peraturan tata tertib rapat yang sudah dibuka itu, saya Schors (tunda) untuk setengah jam lamanya. Waktu setengah jam kemudian rapat saya buka kembali, ternyata untuk kedua kalinya kuorum belum tercapai. Saya terpaksa meniadakan rapat hari itu. Tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan saya.

Seminggu berikutnya saya mendapat giliran lagi untuk memimpin rapay. Proses seperti tadi saya ulangi kembali. Ternyata sesudah mula-mula rapat mengalami schorsing pula, kemudian kuorum dibuka kembali, kuorum sudah tercapai, sehingga rapat terus dapat dilangsungkan. Alhamdulillah, pada minggu ketiga waktu saya bertugas memimpin lagi suatu rapat pleno Konstituante, dan pada waktu rapat dibuka menurut apa yang telah ditentukan dalam acara siding, kuorum sudah tercapai, sehingga tanpa schorsing lagi siding sudah dapat diteruskan. Dengan demikian saya dapat menyaakan syukur Alhamdulillah karena rapat-rapat yang saya pimpin senantiasa dimulai tepat pada waktunya.
Kejadian ini seluruhnya menjadi bukti untuk saya bahwa kebiasaan buruk itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat diperbaiki. Tetapi persoalannya ialah apakah ada kesadaran pada kita bahwa melangsungkan suatu acara tidak tepat pada waktunya itu adalah suatu kebiasaan yang buruk. Kemudian sesudah demikian, adakah kemauan pada diri kita untuk memperbaiki yang buruk itu, ya adau tidak.

foto buku Jejak dan Alam Pikiran Prawoto Mangkusasmito

Oleh karena itu di mana-mana pun saya selalu menganjurkan dan menasihati agar kita senantiasa menepati janji. Dimulai dari janji-janji yang kecil dan enteng. Kalau yang demikian itu sudah menjadi kebiasaan dan pembawaan, akhirnya niscaya menepati janji-janji yang besar dan sulit pun akan menjadi waktak. Setidak-tidaknya kita tidak akan gampang-gampang saja menjanjikan ini-itu tanpa merasa adanya kewajiban moral untuk memegangnya, dengan segala akibat buruk untuk dirinya sendiri dan masyarakat yang ditimbulkan dan sikap jiwa demikian itu.

Sebenarnya untuk menepati janji ittukita umat islam mendapat didikan yang amat sempurna. Kita dituntun untuk mengerjakan sholat menurut jadwal waktu yang amat teratur. Kita mulai berpuasa dan mengakhirinya dengan perhitungan yang cermat. Apakah gerangan maka dalam kehidupan sehari-hari lantas kita kurang mementingkan kecermatan ini. Kita harus sadar sampai soal pelaksanaan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) pun akan dibahayakan kalau mentalitas berjam karet ini tidak diusahakan untuk dikikis habis.

Saudara-saudara.

Inilah satu pengantar yang perlu saya kemukakan, mengingat suasana yang ada pada permulaan malam peringatan ini. Persoalannya adalah sangat penting dan jika mulai dikuasai oleh umat Islam Indonesia niscaya akan menjadi pembuka jalan untuk kemajuan yang pesat untuk kemudiannya. Bangsa-bangsa yang besar dan maju juga berbuat yang demikian, korek dan tepat.

Saudara-Saudara.

Sebelum saya membahas ceramah saya ini, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan sepatah dua patah tentang tema yang diambil HMI dalam melangsungkan pecan peringatan hari ulang tahun organisasinya. Tema ini berbunyi “Peran Mahasiswa dalam Mengsukseskan Pembangunan Nasional dan Peranan Mahsiswa dalam Menegakkan Tata Demokrasi” sungguh tema itu sangat tepat dan menarik dalam pemikirannya.

Di dalam tiap-tiap anggota HMI bertemu dua unsur, yaitu unsur kemahasiswaan dengan fungsi intelektualitasnya dan unsur keislaman dengan fungsi kemasyarakatannya. Sebagai calon sarjana, ia mempunyai kewajiban untuk menyiapkan diri yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan dan sebahai muslim mempunyai kewajiban untk mengetahui masyarakatya secara yang baik. Ia harus mempunyai pandangan yang independen dan tidak boleh menjadi Pak Turut. Oleh karena itu, untuk menghadapi masalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), umpamanya, yang sekarang ini sedang ramai menjadi pembicaraan di kalangan mahasiswa, saya tidak mempunyai kekhawatiran sedikit pun. Para mahasiswa pasti dapat menghadapi bermcam-macam tantangan yang dihdapakan pada dunia kemahasiswaannya.

Dalam pidato diesnya, sehubungan dengan tema dies tadi, yaitu “Peranan Mahasiswa dalam Mengsukseskan Pembangunan Nasional dan Peranan Mahasiswa dalam Menegakkan Tata Demokrasi”, Ketua Umum HMI menunjukkan adanya korelasi antara pembangunan dan demokrasi.

Sekaarang ini ada usaha untuk menumbuhkan penngertian yang sebetulnya didasarkan atas konsepsi yang materialistis, yaitu pengertian yang hendak mendahulukan pembangunan dalam pengertian ekonomis dan baru sesudah ini tercapai, masalah-masalah demokrasi terselesaikan. Dasar pemikirannya adalah demikian. Walaupun susunan demokrasinya sudah baik, tapi kalau perut lapar, keadaanya pun tak akan tenang. Dengan mengemukakan pemikiran yang demikian itu, orang lupa bahwa dalil yang demikian itu pulalah yang senantiasa dipergunakan penjajah Belanda dulu. Sedangkan dalam mengahdapi kaum komunis kita selalu berdalil bahwa manusia tidak cukup dengan roti semata-mata. Yang hendak kita usahakan justru pembangunan demokrasi sebagai way of life. Oleh karena itu, persoalannya bukan pembangunan secara demokrasi dan di dalam alam demokrasi pula. 
Oleh karena itu, di antara keduanya terdapat satu korelasi yang saling mengisi.

Di dalam hubungan ini pula perlu adanya pengertian yang tepat mengenai masalah stabilitas politik. Ada kecenderungan untuk mengidentifikasikan dengan pengertian rust en orde, pengertian “tenang dan tertib”, zaman Belanda dulu. Untuk mencapainya, orang tidak segan-segan mengorbankan demokrasi. Orang lupa, dengan demikian yang menjadi stabil ialah justru otokrasi yang selalu kita tentang. Kita harus menanamkan keyakinan yang mendalam bahwa ketenteraman dan ketertiban yang terjadi Cuma bisa dicapai dalam alam demokrasi berperikemanusiaan daripada pembangunan yang diselenggarakan oleh budak sahaya.

Golongan mahasiswa adalah Bungan bangsa; mendapat keistimewaan pendidikan universitas, yang Cuma terbuka untuk presentase kecil dari angkatan muda tiap-tiap bangsa. Oleh karena itu, imbangannya adalah kewajiban yang lebih berat untuk dipikul dalam memajukan bangsanya pula dibandingkan dengan golongan angkatan muda yang lain. Kesadaran yang tepat itu harus dipupuk. (Lanjut Bagian II)


No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages