foto: Prawoto Mangkusasmito, diambbil dari rilis.id Prawoto merupakan Ketua Umum Terakhir Partai Masyumi |
(Pidato Prawoto
Mangkusasmito di hadapan masa anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciputat
pada 12 Februari 1969.)
“Kesengajaan
Melanggar Janji, itu tandanya sudah melupakan ajaran Islam”
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Hadiri yang terhormat. Saya
bersyukur kepada Allah karena pada malam hari ini saya daoat menepati janji
saya kepada HMI Cabang Ciputat untuk memberikan ceramah. Sebelumnya saya merasa
cemas kalau-kalau janji yang saya berikan itu tidak dapat ditepati karena sudah
beberapa hari kesehatan saya terganggu, baru sore inilah saya bisa meninggalkan
tempat tidur.
Saudara-saudara.
Sewaktu utusan saudara-saudara
dari HMI Cabang Ciputat dating kepada saya untuk meminta agar saya bersedia memberikan
ceramah dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun XXII HMI, saya jawab, saya
bersedia untuk memberikan ceramah tersebut dengan satu syarat, yaitu agar acara ceramah itu nanti mulai
dilaksanakan tepat pada waktunya yang telah ditentukan. Utusan saudara-saudara
itu pun menyanggupi sambil mengatakan acara akan dimulai pada pukul 20.00
Sebelum pukul 20.00 saya sudah
dating di rangan ini. Pada saat itu saya lihat baru satu dua orang saja yang
telah hadir. Ketika waktu telah menunjukan tepat pukul 20.00, pimpinan yang
sudah ada saya desak agar tetap memulai acara walaupun beberapa orang saja yang
hadir. Saya kataka kalau sudah sampai waktunya ceramah diucapkan, insya Allah
ruangan ini akan penuh juga. Alhamdulillah, sekarang ternyata kursi-kursi sudah
hamper terisi semua sehingga ruangan ini sudah mulai kelihatan penuh.
Saudara-saudara.
Mengapa semua ini saya
kemukakan? Sebab, “keterlambatan” sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia
yang buruk. Kebiasaan untuk menyalahi janji yang dibuat sendiri dan kebiasaan
untuk mempergunakan jam karet. Padahal, dengan menggunakan jam karet, orang tidak
akan mendapat kemajuan.
Kita sudah lupa dengan ajaran
agama kita sendiri. Islam mengajarkan agar selalu menepati janji. Oleh karena
itu, saya desak pimpinan agar pukul 20.00 tadi acara dimulai. Kita berusaha
untuk menepati janji. Agar kita jangan menanggung dosa.
Kebiasaan buruk itu menyalahi
janji ini, untuk memakai jam karet ini, bukan hanya terjadi dikalangan biasa,
bukan hanya pada acara konferensi-konferensi atau kongres-kongres suatu
organisasi, bukan hanya pada rapat partai-partai, melainkan juga pada
rapat-rapat dan siding-sidang lembaga-lembaga pemerintah. Saudara-saudara
jangan mengira parlemen kita, apabila bersidang, tidak terkena penyakit jam
karet itu. Parlemen itu pun tidak selalu dapat menepati supaya rapat-rapatnya
dimulai pada waktu yang sudah ditentukan.
Saya kira ada baiknya mengenai
persoalan waktu ini saya bercerita sedikir tentang suatu pengalaman yang saya
pernah peroleh: sewaktu saya terpilih menjadi Wakil Ketua I Konstituante dulu.
Timbullah suatu keinginan untuk mengadakan eksperimen untuk mengetahui apakah kebiasaan buruk itu
dapat hilang atau tidak. Ketika saya pertama kali bertugas memimpin suatu rapat
konstituante, beberapa menit sebelum waktu permulaan rapat seperti yang telah
ditentukan dalam acara resmi, saya sudah duduk di atas kursi ketua. Persis pada
waktu yang sudah ditentukan rapat saya buka. Kepada sekretaris saya tanyakan
berapa jumlah anggota yang hadir.
Ternyata jumlahnya belum memenuhi kuorum rapat. Yaitu separuh ditambah
satu jumlah anggota siding Konstituante. Kemudian, sesuai peraturan tata tertib
rapat yang sudah dibuka itu, saya Schors
(tunda) untuk setengah jam lamanya. Waktu setengah jam kemudian rapat saya buka
kembali, ternyata untuk kedua kalinya kuorum belum tercapai. Saya terpaksa
meniadakan rapat hari itu. Tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan saya.
Seminggu berikutnya saya
mendapat giliran lagi untuk memimpin rapay. Proses seperti tadi saya ulangi
kembali. Ternyata sesudah mula-mula rapat mengalami schorsing pula, kemudian kuorum dibuka kembali, kuorum sudah
tercapai, sehingga rapat terus dapat dilangsungkan. Alhamdulillah, pada minggu
ketiga waktu saya bertugas memimpin lagi suatu rapat pleno Konstituante, dan
pada waktu rapat dibuka menurut apa yang telah ditentukan dalam acara siding,
kuorum sudah tercapai, sehingga tanpa schorsing
lagi siding sudah dapat diteruskan. Dengan demikian saya dapat menyaakan syukur
Alhamdulillah karena rapat-rapat yang saya pimpin senantiasa dimulai tepat pada
waktunya.
Kejadian ini seluruhnya menjadi
bukti untuk saya bahwa kebiasaan buruk itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat
diperbaiki. Tetapi persoalannya ialah apakah ada kesadaran pada kita bahwa
melangsungkan suatu acara tidak tepat pada waktunya itu adalah suatu kebiasaan
yang buruk. Kemudian sesudah demikian, adakah kemauan pada diri kita untuk
memperbaiki yang buruk itu, ya adau tidak.
foto buku Jejak dan Alam Pikiran Prawoto Mangkusasmito |
Oleh karena itu di mana-mana
pun saya selalu menganjurkan dan menasihati agar kita senantiasa menepati
janji. Dimulai dari janji-janji yang kecil dan enteng. Kalau yang demikian itu
sudah menjadi kebiasaan dan pembawaan, akhirnya niscaya menepati janji-janji
yang besar dan sulit pun akan menjadi waktak. Setidak-tidaknya kita tidak akan
gampang-gampang saja menjanjikan ini-itu tanpa merasa adanya kewajiban moral
untuk memegangnya, dengan segala akibat buruk untuk dirinya sendiri dan
masyarakat yang ditimbulkan dan sikap jiwa demikian itu.
Sebenarnya untuk menepati janji
ittukita umat islam mendapat didikan yang amat sempurna. Kita dituntun untuk
mengerjakan sholat menurut jadwal waktu yang amat teratur. Kita mulai berpuasa
dan mengakhirinya dengan perhitungan yang cermat. Apakah gerangan maka dalam
kehidupan sehari-hari lantas kita kurang mementingkan kecermatan ini. Kita
harus sadar sampai soal pelaksanaan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
pun akan dibahayakan kalau mentalitas berjam karet ini tidak diusahakan untuk
dikikis habis.
Saudara-saudara.
Inilah satu pengantar yang
perlu saya kemukakan, mengingat suasana yang ada pada permulaan malam
peringatan ini. Persoalannya adalah sangat penting dan jika mulai dikuasai oleh
umat Islam Indonesia niscaya akan menjadi pembuka jalan untuk kemajuan yang
pesat untuk kemudiannya. Bangsa-bangsa yang besar dan maju juga berbuat yang
demikian, korek dan tepat.
Saudara-Saudara.
Sebelum saya membahas ceramah
saya ini, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan sepatah dua patah tentang
tema yang diambil HMI dalam melangsungkan pecan peringatan hari ulang tahun
organisasinya. Tema ini berbunyi “Peran Mahasiswa dalam Mengsukseskan
Pembangunan Nasional dan Peranan Mahsiswa dalam Menegakkan Tata Demokrasi”
sungguh tema itu sangat tepat dan menarik dalam pemikirannya.
Di dalam tiap-tiap anggota HMI
bertemu dua unsur, yaitu unsur kemahasiswaan dengan fungsi intelektualitasnya
dan unsur keislaman dengan fungsi kemasyarakatannya. Sebagai calon sarjana, ia
mempunyai kewajiban untuk menyiapkan diri yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan dan sebahai muslim mempunyai kewajiban untk mengetahui
masyarakatya secara yang baik. Ia harus mempunyai pandangan yang independen dan
tidak boleh menjadi Pak Turut. Oleh karena itu, untuk menghadapi masalah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), umpamanya, yang sekarang ini sedang
ramai menjadi pembicaraan di kalangan mahasiswa, saya tidak mempunyai
kekhawatiran sedikit pun. Para mahasiswa pasti dapat menghadapi bermcam-macam
tantangan yang dihdapakan pada dunia kemahasiswaannya.
Dalam pidato diesnya,
sehubungan dengan tema dies tadi, yaitu “Peranan Mahasiswa dalam Mengsukseskan
Pembangunan Nasional dan Peranan Mahasiswa dalam Menegakkan Tata Demokrasi”,
Ketua Umum HMI menunjukkan adanya korelasi antara pembangunan dan demokrasi.
Sekaarang ini ada usaha untuk
menumbuhkan penngertian yang sebetulnya didasarkan atas konsepsi yang
materialistis, yaitu pengertian yang hendak mendahulukan pembangunan dalam
pengertian ekonomis dan baru sesudah ini tercapai, masalah-masalah demokrasi
terselesaikan. Dasar pemikirannya adalah demikian. Walaupun susunan
demokrasinya sudah baik, tapi kalau perut lapar, keadaanya pun tak akan tenang.
Dengan mengemukakan pemikiran yang demikian itu, orang lupa bahwa dalil yang
demikian itu pulalah yang senantiasa dipergunakan penjajah Belanda dulu.
Sedangkan dalam mengahdapi kaum komunis kita selalu berdalil bahwa manusia
tidak cukup dengan roti semata-mata. Yang hendak kita usahakan justru
pembangunan demokrasi sebagai way of life.
Oleh karena itu, persoalannya bukan pembangunan secara demokrasi dan di dalam
alam demokrasi pula.
Oleh karena itu, di antara keduanya terdapat satu korelasi
yang saling mengisi.
Di dalam hubungan ini pula
perlu adanya pengertian yang tepat mengenai masalah stabilitas politik. Ada
kecenderungan untuk mengidentifikasikan dengan pengertian rust en orde, pengertian “tenang dan tertib”, zaman Belanda dulu.
Untuk mencapainya, orang tidak segan-segan mengorbankan demokrasi. Orang lupa,
dengan demikian yang menjadi stabil ialah justru otokrasi yang selalu kita
tentang. Kita harus menanamkan keyakinan yang mendalam bahwa ketenteraman dan
ketertiban yang terjadi Cuma bisa dicapai dalam alam demokrasi
berperikemanusiaan daripada pembangunan yang diselenggarakan oleh budak sahaya.
Golongan mahasiswa adalah
Bungan bangsa; mendapat keistimewaan pendidikan universitas, yang Cuma terbuka
untuk presentase kecil dari angkatan muda tiap-tiap bangsa. Oleh karena itu,
imbangannya adalah kewajiban yang lebih berat untuk dipikul dalam memajukan
bangsanya pula dibandingkan dengan golongan angkatan muda yang lain. Kesadaran
yang tepat itu harus dipupuk. (Lanjut Bagian II)
No comments:
Post a Comment