Prawoto Mangkusasmito: Kongres Umat Islam Indonesia, Satu Konsepsi (Bag II) - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Tuesday, May 22, 2018

Prawoto Mangkusasmito: Kongres Umat Islam Indonesia, Satu Konsepsi (Bag II)


Lambang Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Masyumi adalah nama yang diberikan kepada sebuah organisasi yang dibentuk oleh Jepang yang menduduki Indonesia pada tahun 1943 dalam upaya mereka untuk mengendalikan umat Islam di Indonesia. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 7 November 1945 sebuah organisasi baru bernama Masyumi terbentuk. Dalam waktu kurang dari setahun, partai ini menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi termasuk dalam kategori organisasi Islam, sama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Selama periode demokrasi liberal, para anggota Masyumi duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dan beberapa anggota dari partai ini terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia, seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.


 Menggalang Persatuan Islam yang Kokoh

Saudara-saudara.

Sekarang sampailah saya pada materi ceramah yang akan saya berikan kepada saudara-saudara. Adapun judul ceramah itu adalah “Kongres Umat Islam Indonesia” dengan subjudul “Satu Konsepsi”. Terlebih dahulu saya ingin menjawab suatu pertanyaan, “apa sebab terselenggaranya Kongres Umat Islam Indonesia ini mendapat perhatian dan harapan-harapan umum sekarang ini?” jawabnya ialah kongres Umat Islam diharapkan akan dapat mempersatukan umat Islam yang sekarang ini sangat terpecah belah. Perpecahan ini yang dianggap mengakibatkan lemahnya posisi umat Islam Indonesia ini.
Waktu yang lampau beberapa kali umat Islam Indonesia ini bersatu. Ingat saja munculnya Sarekat Islam (1912), MIAI (sebelum perang), dan ikrar berdirinya Masyumi pada tahun 1945 sebagai satu-satunya partai politik Islam.

Kalau diteliti baik-baik, persatuan-persatuan terdorong oleh adanya kekuatan-kekuatan yang dirasakan sebagai bahaya dari luat. Kemudian, waktu bahaya ini kurang dirasakan lagi. Perbedaan-perbedaan di antara sesame Islam yang menonjok ke depan, dan timbul perpecahan-perpecahan lagi. Dengan demikian, persatuan-persatuan itu masih bersifat negative dan belum lagi bersifat positif. Persatuan itu baru bersifat positif apabila terwujudnya didasarkan atas kesadaran yang besar yang tumbuh dari dalam driri semua pihak yang bersangkutan.

Saya akan memeberikan contoh bahwa umat Islam Indonesia dalam kenyataannya memang baru bersatu apabila ada sesuatu yang dirasakan sebagai bahaya besar dari luar.

Pertama, waktu meletusnya peristiwa Gestapu. Tanpa pengorganisasian sedikit pun umay Islam bangkit melawan gerakan itu.

Kedua, waktu diadakan Konferensi Antaragama. Dirasakan oleh umat Islam bahwa aktivitas Kristen/Katolik dapat membahayakan Islam, Konferensi ini dihadapi umat Islam secara kompak. Tidak dipersoalkan siapa yang menghadapi, bagaimana susunan delegasinya. Yang ada ialah satu sikap, satu pendirian.

Ketiga, Waktu menghadapi kunjungan Kaisar Haile Selassie dari Etiopia. Angkatan muda Islam melihat pada diri kaisar ini satu manifestasi bahaya terhadap Islam. Maka, penentangan terhadap kedatangannya adalah spontan dan menyeluruh. Tidak menjadi persoalan tentang pengorganisasian penolakan itu. Yang menonjol ialah satu sikap dan satu pendirian.

Kita bersyukur kepada Allah subhanahu wataala bahwa dewasa ini para pemimpin partai-partai dan ormas-ormas Islam sudah mulai sadar berapa banyak kekalahan dan kerugian yang diderita selama bercerai-berai itu, dan juga sudah mulai sadar akan penting dan mementingkannya factor persatuan ini. Oleh karena itu, apabila para pemimpin umat sudah menyadari akan mutlak perlunya persatuan, dan sadar pula bahwa Kongres Umat Islam adalah satu jalan yang mengarah kesana, maka menjadi tanggung jawab kita semua, setiap lapisan masyarakat umat Islam di Indonesia itu menuju terwujudnya suatu persatuan umat yang kokoh dan kuat.

Kongres Sebagai Lembaga

Sekarang marilah kita analisis judul yang telah saya katakana tadi itu, yaitu “Kongres Umat Islam Indonesia” dengan subjudul “Satu Konsepsi”

Dalam judul tersebut ada perkataan Kongres. Umumnya istilah kongres ini diartikan orang sebagai satu rentetan rapat oleh satu atau beberapa organisasi dalam waktu-waktu tertentu. Kongres adalah persidangan yang terorganisasi, adalah aktivitas.
Selain itu, ada juga pengertian kongres yang lain, yaitu kongres sebagai lembaga. Ingat istilah Kongres Amerika Serikat. Yang dimaksud adalah senat dan DPR. Pendapat kongres sebagai lembaga ini antara lain diikuti oleh Jendral Nasution. Saya sendiri pun ingin bahwa yang akan dijelmakan ialah satu “Kongres Umat Islam Indonesia” sebagai Lembaga.
Dengan demikian, walaupun sidangnya kongres sudah ditutup nanti, lembaganya tetap ada dan setiap saat bisa dipanggil bersidang untuk bersama-sama membicarakan setiap masalah yang menyangkut kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Seperti juga halnya dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), siding-sidang itu dapat diberikan nomor berturut kemudian.

Itulah yang saya maksud dengan kongres, itulah konsepsi saya.
Kemudian apa yang dimaksud dengan istilah “umat Islam” dalam kongres itu? Apa semua saja orang Indonesia yang mengaku Islam termasuk kedalamnya? Apakah semua orang asalkan sudah membaca dua kalimat syahadat tercakup ke dalamnya? Apakah orang-orang Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beragama Islam itu juga termasuk kedalamnya? Apakah orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengaku beragama Islam itu juga tercakup di dalamnya? Tentu tidak dan di dalam hati saudara-saudara pun akan menjawab “tidak” sebab, pengertiannya ialah pengertian dinamis dan bukan pengertian statis, pengertian perjuangan, bukan pengertian sosiologi.

Kalau semua orang yang mengaku beragama Islam termasuk di dalamnya pengertian umat, maka jumlahnya cukup besar, yaitu 90% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Tetapi kalau orang-orang yang mengorganisasi diri bukan berasaskan Islam itu kita keluarkan dari dalamnya, termasuk para pengikut atau simpatisannya, kita keluarkan dari pengertian “Umat Islam”dalam kongres tersebut,maka jumlahnya tinggal separuh saja, yaitu tinggal kurang lebih 45 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Presentase ini saya ambil dari hasil-hasil pemilihan umum tahun 1955. Sedangkan selebihnya yang berjumlah 55 persen itu terdiri dari orang-orang PKI kurang lebih 15 persen, Kristen/Katolik 5 persen, dan yang lain-lain keseluruhannya kurang lebih 35 persen.

Pengertian “umat islam” dalam kongres itu ialah orang-orang islam yang perjuanggannya berasaskan Islam,dan ini hanya berjumlah 45 persen dari jumlah penduduk Indonesia (tahun1955).

 
Lambang Bendera Himpunan Mahasiswa Islam, Pada Kongres Umat Islam tahun 1949 HMI di tetapkan sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam, dan Masyumi ditetapkan sebagai satu-satunya partai politik umat Islam. Namun bukan berarti HMI menjadi underbow partai Masyumi, dalam keberjalanannya HMI tetap memegang sifat Independen

Saudara-saudara!

Lalu, apabila kongres itu sudah terselenggara dan lembaga itu sudah terbentuk apakah itu berarti bahwa dikalangan umat Islam Indonesia ini tidak ada lagi perbedaan pendapat? Tidak demikian saudara-saudara. Adanya perbedaan pendapat dalam suatu wadah adalah wajar. Nabi Muhammah shallahu alaihi wa sallam sendiri mengatakan, “Adanya perbedaan pendapat dalam umatku adalah satu rahmat.” Itulah sebabnya, Islam menyuruh kita bermusyawarah sehingga dengan musyawarah inilah keputusan yang diambil akan merupakan suatu sikap yang benar-benar matng, karena telah mendapat sorotan dari segala aspek.

Dengan demikian persoalannya ialah bagaimana mendapatkan management of differences yang dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, masalahnya adalah masalah pengorganisasian. Kalau bangsa Indonesia sebaai keseluruhan dapat menegakkan satu badan perwakilan (DPR) yang permanen sebagai tempat bermusyawarah, mestinya umat Islam Indonesia berlandaskan asas yang satu mampu untuk mengadakan lembaga “kongres” itu.

Dalam pada itu adanya lembaga ini sesuai benar dengan semangat penyederhanaan yang menjiwai Ketetapan MPRS Nomor XXII. Mungkin lembaga ini merupakan langkah yang baik kepada bipolarisasi daripada kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian akan memudahkan untuk memurnikan pelaksanaan dari UUD 1945.
Kalau disepakati bahwa yang akan disusun ialah satu lembaga. Maka timbullah problem yang berat, yang bagaimana menyusunnya. Di sinilah para pemimpin umat dihadapkan pada suatu ujian yang benar. Mampukah kita bersama untuk menciptakan lembaga yang demokratis dan representative itu untuk menyuarakan kehendak Islam di Indonesia? Jika tidak, maka kurang tepatlah kiranya kita terlalu banyak mengkritik penyusunan lembaga-lembaga lain sebagai kurang demokratis dan representative.

Di samping “pelembagaan”, diperlukan pula satu rumus yang akan dijadikan landasan pemikiran dari piagam kongres ini. Dasar pemikiran ini harus bersifat konsepsional dan tidak incidental, bersifat idiil dan tidak bersifat taktis.
Jika titik berat sudah diletakkan pada “pelembagaan”, maka masalah isi, masalah cara dari siding I kongres nanti merupakan masalah yang pragmatis. Sebagai pendahuluan perlu diadakan inventarisasi dari persoalan-persoalan yang sekarang ini dianggap penting oleh umat Islam sebagai keseluruhan. Kemudian ditentukan prioritas kepentingannya dan prioritas pembahasannya. Yang belum bisa diselesaikan atau tidak kebagian waktu dapat dibahas di Sidang II, tahun depan, atau kapan saja, mungkin dirasa perlu untuk membentuk satu badan pekerja yang secara permanen menghadapi siding-sidang yang kemudian dengancara yang lebih matang dan baik.

Bada Eksekutif sebaiknya Dipimpin Seorang Sekjen

Demikianlah sekadar satu konsepsi dalam menyongsong Kongres Umat Islam Indonesia. Kongres tersebut sedianya akan diselenggarakan Januari 1969 lalu. Sekarang diundur sampai bulai Mei yang akan dating dan telah mendapat restu dari Presiden Suharto. Tidak semua pihak antusias dengan adanya kongres ini. Kalau kita lihat secara cermat sebab musababnya, maka di antaranya ialah masih adanya kekhawatiran dari sementara golongan akan munculnya satu kekuatan Islam yang terorganisasi. Kekhawatiran ini tidak perlu ada kalau kita benar-berar berpegang teguh pada UUD 1945 seperti yang telah disepakati sejak Dekrit 5 Juli 1959. Kekhawatran ini turut memengaruhi pengunduran itu, di samping persimpangan-persimpangan teknis yang belum matang dan sempurna, tetapi mudah-mudahan pada waktuny akan terselenggara juga.

Saudara-saudara!

Sebelum saya mengakhiri ceramah ini, saya akan ketengah pula kepada Saudara-saudara konsepsi saya mengenai bada eksekutifnya. Akan saya utarakan secara singkat saja. Badan eksekutif yang akan dibentuk oleh kongres nanti hendaknya janganlah berbentuk presidium.

Pengalaman menunjukkan bahwa bentuk presidium tidak memberikan hasil yang menggembirakan.

Ada cara lain untuk menjamin agar badan eksekutif itu nanti jangan sampai committed pada suatu golongan. Cara itu ialah seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang sekretaris jendral, dan sekretaris jendral itu “sep”-nya atau “atasannya”, landasan kerjanya, ialah piagam kongres dan keputusan-keputusan kongres. Sekretaris jendral ini adalah petugas kongres dan bukan petugas partai atau golongan dari mana asalnya sekretaris jendral itu. Yang diutamakan dalam pemilihannya ialah sifat-sifat kepemimpinannya, integritasnya, dan kewibawaan pribadinya, yang diakui juga oleh kalangan di luar lingkungannya sendiri, memang berat, tetapi saya yakun umat Islam mempunyai pribadi-pribadi yang demikian itu.

Saudara-saudara!

Demikianlah ceramah yang dapat saya berikan kepada Saudara-saudaraa. Akhirnya saya mengajak saudara-saudara, “Mari kita berusaha untuk menjadi murid yang baik dari pengalaman-pengalaman kita. Experience is the best teacher. Dan ingatlah bahwa kekhawatiran bukanlah juru nasihat yang baik.”

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi, lahir di Tirto, Grabag, Magelang, Jawatengan 4 Januari 1910 sebagai anak pertama dari pasangan suami-istri Supardjo Mangkusasmito dan Sundah. Mengikuti pendidikan di Hollands Indandsche school (HIS), sesudah itu ia berturut-turut dia menempuh pendidikan Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs (MULO), Algemene Middelbare School (AMS), dan Recht Hoge School (RHS).

Di ujung kekuasaan rezim Presiden Sukarno, bersama tokoh-tokoh politik dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, selama lebih dari empat tahun, Prawoto dijebloskan ke penjara. Prawoto dan kawan-kawannya baru dibebaskan sesudah rezim Presiden Sukarno tumbang.

Setelah berbagai ikhtiar merehabilitasi Partai Masyumi, menemui jalan buntu, Prawoto kembali ke Masyarakat. Selain aktif sebagai penasihat Serikat Tani Islam Indonesia (STII), bersama kawan seiring, Prawoto mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Pidato Prawoto Mangkusasmito di hadapan masa anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciputat pada 12 Februari 1969. Diambil dari buku “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito

No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages