Menggalang
Persatuan Islam yang Kokoh
Saudara-saudara.
Sekarang sampailah saya pada
materi ceramah yang akan saya berikan kepada saudara-saudara. Adapun judul
ceramah itu adalah “Kongres Umat Islam Indonesia” dengan subjudul “Satu
Konsepsi”. Terlebih dahulu saya ingin menjawab suatu pertanyaan, “apa sebab
terselenggaranya Kongres Umat Islam Indonesia ini mendapat perhatian dan
harapan-harapan umum sekarang ini?” jawabnya ialah kongres Umat Islam
diharapkan akan dapat mempersatukan umat Islam yang sekarang ini sangat
terpecah belah. Perpecahan ini yang dianggap mengakibatkan lemahnya posisi umat
Islam Indonesia ini.
Waktu yang lampau beberapa kali
umat Islam Indonesia ini bersatu. Ingat saja munculnya Sarekat Islam (1912),
MIAI (sebelum perang), dan ikrar berdirinya Masyumi pada tahun 1945 sebagai
satu-satunya partai politik Islam.
Kalau diteliti baik-baik,
persatuan-persatuan terdorong oleh adanya kekuatan-kekuatan yang dirasakan
sebagai bahaya dari luat. Kemudian, waktu bahaya ini kurang dirasakan lagi.
Perbedaan-perbedaan di antara sesame Islam yang menonjok ke depan, dan timbul
perpecahan-perpecahan lagi. Dengan demikian, persatuan-persatuan itu masih
bersifat negative dan belum lagi bersifat positif. Persatuan itu baru bersifat
positif apabila terwujudnya didasarkan atas kesadaran yang besar yang tumbuh
dari dalam driri semua pihak yang bersangkutan.
Saya akan memeberikan contoh
bahwa umat Islam Indonesia dalam kenyataannya memang baru bersatu apabila ada
sesuatu yang dirasakan sebagai bahaya besar dari luar.
Pertama,
waktu
meletusnya peristiwa Gestapu. Tanpa pengorganisasian sedikit pun umay Islam
bangkit melawan gerakan itu.
Kedua, waktu
diadakan Konferensi Antaragama. Dirasakan oleh umat Islam bahwa aktivitas
Kristen/Katolik dapat membahayakan Islam, Konferensi ini dihadapi umat Islam
secara kompak. Tidak dipersoalkan siapa yang menghadapi, bagaimana susunan
delegasinya. Yang ada ialah satu sikap, satu pendirian.
Ketiga,
Waktu
menghadapi kunjungan Kaisar Haile Selassie dari Etiopia. Angkatan muda Islam
melihat pada diri kaisar ini satu manifestasi bahaya terhadap Islam. Maka,
penentangan terhadap kedatangannya adalah spontan dan menyeluruh. Tidak menjadi
persoalan tentang pengorganisasian penolakan itu. Yang menonjol ialah satu
sikap dan satu pendirian.
Kita bersyukur kepada Allah subhanahu wataala bahwa dewasa ini para
pemimpin partai-partai dan ormas-ormas Islam sudah mulai sadar berapa banyak
kekalahan dan kerugian yang diderita selama bercerai-berai itu, dan juga sudah
mulai sadar akan penting dan mementingkannya factor persatuan ini. Oleh karena
itu, apabila para pemimpin umat sudah menyadari akan mutlak perlunya persatuan,
dan sadar pula bahwa Kongres Umat Islam adalah satu jalan yang mengarah kesana,
maka menjadi tanggung jawab kita semua, setiap lapisan masyarakat umat Islam di
Indonesia itu menuju terwujudnya suatu persatuan umat yang kokoh dan kuat.
Kongres Sebagai Lembaga
Sekarang marilah kita analisis
judul yang telah saya katakana tadi itu, yaitu “Kongres Umat Islam Indonesia”
dengan subjudul “Satu Konsepsi”
Dalam judul tersebut ada
perkataan Kongres. Umumnya istilah kongres ini diartikan orang sebagai satu
rentetan rapat oleh satu atau beberapa organisasi dalam waktu-waktu tertentu.
Kongres adalah persidangan yang terorganisasi, adalah aktivitas.
Selain itu, ada juga pengertian
kongres yang lain, yaitu kongres sebagai lembaga. Ingat istilah Kongres Amerika
Serikat. Yang dimaksud adalah senat dan DPR. Pendapat kongres sebagai lembaga
ini antara lain diikuti oleh Jendral Nasution. Saya sendiri pun ingin bahwa
yang akan dijelmakan ialah satu “Kongres Umat Islam Indonesia” sebagai Lembaga.
Dengan demikian, walaupun
sidangnya kongres sudah ditutup nanti, lembaganya tetap ada dan setiap saat
bisa dipanggil bersidang untuk bersama-sama membicarakan setiap masalah yang
menyangkut kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Seperti juga halnya
dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), siding-sidang itu dapat
diberikan nomor berturut kemudian.
Itulah yang saya maksud dengan
kongres, itulah konsepsi saya.
Kemudian apa yang dimaksud
dengan istilah “umat Islam” dalam kongres itu? Apa semua saja orang Indonesia
yang mengaku Islam termasuk kedalamnya? Apakah semua orang asalkan sudah
membaca dua kalimat syahadat tercakup ke dalamnya? Apakah orang-orang Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang beragama Islam itu juga termasuk kedalamnya?
Apakah orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengaku beragama Islam
itu juga tercakup di dalamnya? Tentu tidak dan di dalam hati saudara-saudara
pun akan menjawab “tidak” sebab, pengertiannya ialah pengertian dinamis dan
bukan pengertian statis, pengertian perjuangan, bukan pengertian sosiologi.
Kalau semua orang yang mengaku
beragama Islam termasuk di dalamnya pengertian umat, maka jumlahnya cukup
besar, yaitu 90% dari jumlah penduduk seluruh Indonesia. Tetapi kalau
orang-orang yang mengorganisasi diri bukan berasaskan Islam itu kita keluarkan
dari dalamnya, termasuk para pengikut atau simpatisannya, kita keluarkan dari
pengertian “Umat Islam”dalam kongres tersebut,maka jumlahnya tinggal separuh
saja, yaitu tinggal kurang lebih 45 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Presentase ini saya ambil dari hasil-hasil pemilihan umum tahun 1955. Sedangkan
selebihnya yang berjumlah 55 persen itu terdiri dari orang-orang PKI kurang
lebih 15 persen, Kristen/Katolik 5 persen, dan yang lain-lain keseluruhannya
kurang lebih 35 persen.
Pengertian “umat islam” dalam
kongres itu ialah orang-orang islam yang perjuanggannya berasaskan Islam,dan
ini hanya berjumlah 45 persen dari jumlah penduduk Indonesia (tahun1955).
Saudara-saudara!
Lalu, apabila kongres itu sudah
terselenggara dan lembaga itu sudah terbentuk apakah itu berarti bahwa
dikalangan umat Islam Indonesia ini tidak ada lagi perbedaan pendapat? Tidak
demikian saudara-saudara. Adanya perbedaan pendapat dalam suatu wadah adalah
wajar. Nabi Muhammah shallahu alaihi wa
sallam sendiri mengatakan, “Adanya perbedaan pendapat dalam umatku adalah
satu rahmat.” Itulah sebabnya, Islam menyuruh kita bermusyawarah sehingga
dengan musyawarah inilah keputusan yang diambil akan merupakan suatu sikap yang
benar-benar matng, karena telah mendapat sorotan dari segala aspek.
Dengan demikian persoalannya
ialah bagaimana mendapatkan management of
differences yang dapat berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, masalahnya
adalah masalah pengorganisasian. Kalau bangsa Indonesia sebaai keseluruhan dapat
menegakkan satu badan perwakilan (DPR) yang permanen sebagai tempat
bermusyawarah, mestinya umat Islam Indonesia berlandaskan asas yang satu mampu
untuk mengadakan lembaga “kongres” itu.
Dalam pada itu adanya lembaga
ini sesuai benar dengan semangat penyederhanaan yang menjiwai Ketetapan MPRS
Nomor XXII. Mungkin lembaga ini merupakan langkah yang baik kepada bipolarisasi
daripada kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian akan
memudahkan untuk memurnikan pelaksanaan dari UUD 1945.
Kalau disepakati bahwa yang
akan disusun ialah satu lembaga. Maka timbullah problem yang berat, yang
bagaimana menyusunnya. Di sinilah para pemimpin umat dihadapkan pada suatu
ujian yang benar. Mampukah kita bersama untuk menciptakan lembaga yang
demokratis dan representative itu untuk menyuarakan kehendak Islam di
Indonesia? Jika tidak, maka kurang tepatlah kiranya kita terlalu banyak
mengkritik penyusunan lembaga-lembaga lain sebagai kurang demokratis dan
representative.
Di samping “pelembagaan”,
diperlukan pula satu rumus yang akan dijadikan landasan pemikiran dari piagam
kongres ini. Dasar pemikiran ini harus bersifat konsepsional dan tidak
incidental, bersifat idiil dan tidak bersifat taktis.
Jika titik berat sudah
diletakkan pada “pelembagaan”, maka masalah isi,
masalah cara dari siding I kongres
nanti merupakan masalah yang pragmatis. Sebagai pendahuluan perlu diadakan
inventarisasi dari persoalan-persoalan yang sekarang ini dianggap penting oleh
umat Islam sebagai keseluruhan. Kemudian ditentukan prioritas kepentingannya dan
prioritas pembahasannya. Yang belum bisa diselesaikan atau tidak kebagian waktu
dapat dibahas di Sidang II, tahun depan, atau kapan saja, mungkin dirasa perlu
untuk membentuk satu badan pekerja yang secara permanen menghadapi
siding-sidang yang kemudian dengancara yang lebih matang dan baik.
Bada Eksekutif sebaiknya
Dipimpin Seorang Sekjen
Demikianlah sekadar satu
konsepsi dalam menyongsong Kongres Umat Islam Indonesia. Kongres tersebut
sedianya akan diselenggarakan Januari 1969 lalu. Sekarang diundur sampai bulai
Mei yang akan dating dan telah mendapat restu dari Presiden Suharto. Tidak
semua pihak antusias dengan adanya kongres ini. Kalau kita lihat secara cermat
sebab musababnya, maka di antaranya ialah masih adanya kekhawatiran dari
sementara golongan akan munculnya satu
kekuatan Islam yang terorganisasi. Kekhawatiran ini tidak perlu ada kalau kita
benar-berar berpegang teguh pada UUD 1945 seperti yang telah disepakati sejak
Dekrit 5 Juli 1959. Kekhawatran ini turut memengaruhi pengunduran itu, di
samping persimpangan-persimpangan teknis yang belum matang dan sempurna, tetapi
mudah-mudahan pada waktuny akan terselenggara juga.
Saudara-saudara!
Sebelum saya mengakhiri ceramah
ini, saya akan ketengah pula kepada Saudara-saudara konsepsi saya mengenai bada
eksekutifnya. Akan saya utarakan secara singkat saja. Badan eksekutif yang akan
dibentuk oleh kongres nanti hendaknya janganlah berbentuk presidium.
Pengalaman menunjukkan bahwa
bentuk presidium tidak memberikan hasil yang menggembirakan.
Ada cara lain untuk menjamin
agar badan eksekutif itu nanti jangan sampai committed pada suatu golongan. Cara itu ialah seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Badan eksekutifnya dipimpin oleh seorang sekretaris jendral,
dan sekretaris jendral itu “sep”-nya atau “atasannya”, landasan kerjanya, ialah
piagam kongres dan keputusan-keputusan kongres. Sekretaris jendral ini adalah
petugas kongres dan bukan petugas partai atau golongan dari mana asalnya
sekretaris jendral itu. Yang diutamakan dalam pemilihannya ialah sifat-sifat
kepemimpinannya, integritasnya, dan kewibawaan pribadinya, yang diakui juga
oleh kalangan di luar lingkungannya sendiri, memang berat, tetapi saya yakun
umat Islam mempunyai pribadi-pribadi yang demikian itu.
Saudara-saudara!
Demikianlah ceramah yang dapat
saya berikan kepada Saudara-saudaraa. Akhirnya saya mengajak saudara-saudara,
“Mari kita berusaha untuk menjadi murid yang baik dari pengalaman-pengalaman
kita. Experience is the best teacher.
Dan ingatlah bahwa kekhawatiran bukanlah juru nasihat yang baik.”
Sekian! (Kembali ke Bagian I)
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
Prawoto Mangkusasmito, Ketua
Umum (Terakhir) Partai Masyumi, lahir di Tirto, Grabag, Magelang, Jawatengan 4
Januari 1910 sebagai anak pertama dari pasangan suami-istri Supardjo
Mangkusasmito dan Sundah. Mengikuti pendidikan di Hollands Indandsche school (HIS), sesudah itu ia berturut-turut dia
menempuh pendidikan Meer Uitgerbreid
Lager Onderwijs (MULO), Algemene
Middelbare School (AMS), dan Recht
Hoge School (RHS).
Di
ujung kekuasaan rezim Presiden Sukarno, bersama tokoh-tokoh politik dari
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, selama lebih dari empat tahun, Prawoto
dijebloskan ke penjara. Prawoto dan kawan-kawannya baru dibebaskan sesudah
rezim Presiden Sukarno tumbang.
Setelah
berbagai ikhtiar merehabilitasi Partai Masyumi, menemui jalan buntu, Prawoto
kembali ke Masyarakat. Selain aktif sebagai penasihat Serikat Tani Islam
Indonesia (STII), bersama kawan seiring, Prawoto mendirikan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia.
Pidato Prawoto Mangkusasmito di
hadapan masa anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ciputat pada 12 Februari
1969. Diambil dari buku “Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito”
No comments:
Post a Comment