Foto: Nurcholish Madjid |
Pendahuluan
Dorongan untuk
membahas masalah tersebut dalam judul ialah konstatasi bahwa kaum muslim
Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan
pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychological striking force
dalam perjuangannya.
Sebuah dilema
segera dihadapkan kepada umat Islam: apakah akan memilih menempuh jalan
pembaruan dalam dirinya dengan merugikan integrasi yang selama ini didambakan,
ataukah akan mempertahankan dilakukannya usaha-usaha ke arah integrasi itu
sekalipun dengan akibat keharusan ditolerirnya kebekuan pemikiran dan hilangnya
kekuatan-kekuatan moril yang ampuh?
Tidak bisa
disatukannya (incompatibilitas) antara keharusan pembaruan dan integrasi ialah
kenyataan bahwa bila suatu inisiatif pembaruan telah diambil oleh sebagian umat
maka sebagian yang lain akan mengadakan reaksi kepadanya. Berkali-kali sejarah
telah menunjukkan kebenaran hal itu.
Islam
Yes, Partai Islam No?
Salah satu
kenyataan yang menggembirakan tentang Islam di Indonesia dewasa ini ialah perkembangannya
yang pesat, terutama dari segi jumlah pengikut (formil). Daerah-daerah yang
dahulunya tidak mengenal agama ini sekarang mengenalnya, malahan menjadikannya
sebagai agama utama bagi penduduknya di samping agama lainnya yang telah ada
sebelumnya.
Dan kalangan
dari tingkat sosial yang lebih tinggi sekarang ini semakin menunjukkan
perhatiannya kepada Islam; jika tidak mengamalkan sendiri, setidak-tidaknya
demikianlah dalam sikap-sikap resmi mereka. Tetapi sebuah pertanyaan dari pihak
kita tetap meminta jawaban, yaitu sampai di manakah perkembangan itu akibat
dari pada daya tarik yang jujur dari pada ide-ide Islam yang dikemukakan oleh
para pemimpinnya, lisan maupun tulisan?
Ataukah
perkembangan kuantitatif Islam itu dapat dinilai sebagai tidak lebih daripada
gejala adaptasi sosial karena perkembangan politik di tanah air akhir-akhir
ini, yaitu kalahnya kaum komunis yang memberikan kesan kemenangan di pihak
Islam? (Dan adaptasi sosial ini juga telah terjadi di zaman orde lama, sebab
Presiden Soekarno pada waktu itu selalu dengan penuh kegairahan menunjukkan
interesnya kepada Islam, juga kepada ideologi Marxisme apa pun dugaan orang
tentang motif yang ada di belakangnya).
Jawaban atas
pertanyaan itu mungkin dapat diketemukan dengan meletakkan pertanyaan
berikutnya: sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai dan
organisasi-organisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama
sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam.
Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam yes, partai Islam No!
Jadi jika partai-partai Islam merupakan wadah daripada ide- ide yang hendak
diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam
keadaan tidak menarik.
Dengan
perkataan lain ide-ide dan pemikiran-pemikiran itu sekarang sedang menjadi
obsolete memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi bahwa partai-partai Islam
itu tidak berhasil membangun image yang positif dan simpatik, bahkan yang ada
ialah image yang sebaliknya. (Reputasi sebahagian umat Islam di bidang korupsi
umpamanya makin lama makin menanjak).
Kuantitas
versus Kualitas
Satu hal yang
biasanya dianggap dengan sendirinya benar ialah bahwa mutu lebih penting
daripada jumlah. Tapi justru umat Islam Indonesia sekarang ini melakukan yang
sebaliknya; lebih mementingkan jumlah dari pada mutu.
Tidak dapat
disangkal bahwa persatuan lebih menjamin tercapainya tujuan-tujuan perjuangan
daripada pertahanan. Tetapi dapatkah persatuan itu terwujud secara dinamis dan
menjadi kekuatan dinamis jika tidak didasari oleh ide-ide yang dinamis pula?
(Tidak ada tindakan-tindakan yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner.
Lenin).
Betapa pun juga
dinamika lebih menentukan daripada statisme, sekalipun yang terakhir ini
meliputi jumlah manusia yang besar. Kelumpuhan umat Islam akhir-akhir ini
antara lain disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata
dari cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya yang mengharuskan adanya gerakan
pembaharuan ide-ide guna dapat menghilangkannya.
Liberalisasi
Pandangan Terhadap Ajaran Islam Sekarang
Jika kita telah
sampai kepada keputusan hendak melaksanakan pembaruan di kalangan umat, dari
manakah kita hendak memulainya? Dalam hubungan dengan masalah ini dapatlah
dikemukakan sebuah ungkapan Andre Beufre: Our traditional line of thought must
go overboard, for it is now far more important to be able to look ahead than to
have larger scale of force whose effectiveness is problematical. (Garis-garis
pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh sebab sekarang ini jauh
lebih penting mempunyai kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai kekuatan
dengan ukuran besar yang daya gunanya masih harus dipersoalkan).
Peringatan
bahwa suatu kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok yang besar menandaskan
lebih pentingnya dinamika dari pada kuantitas. Sudah tentu yang lebih baik
ialah kombinasi keduanya.
Tetapi jika
tidak mungkin maka pilihan harus dijatuhkan kepada salah satu di antara
keduanya, dan itu haruslah dinamika. Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik
pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lainnya
erat berhubungan, yaitu melepaskan diri dari pada nilai-nilai tradisional dan
mencari nilai-nilai yang berorientasi kepada masa depan.
Nostalgia atau
orientasi dan kerinduan masa lampau yang berlebihan harus digantikan dengan
pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses yang untuk mudahnya
kita namakan proses liberalisasi. Proses ini dikenakan terhadap ajaran-ajaran
dan pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut
proses-proses lainnya.
Sekularisasi
Dengan
sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme, sebab, secularism is
the name of an ideology, a new closed world view which functions very much like
a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating
development.
Proses
pembebasan ini terutama diperlukan karena umat Islam, akibat daripada
perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan di antara
nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu mana yang transendental dan mana yang
temporal. Malahan hirarki nilai itu sering dalam keadaan terbalik,
transendental menjadi temporal dan sebalikny a atau menjadi transendental
semuanya, bernilai ukhrowi tanpa kecuali. Sekalipun mungkin mereka tidak
mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tercermin
dalam tindakan-tindakan mereka sehari-hari.
Akibat dari hal
itu, sudah maklum, cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi dan
menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis.
Karena
pembelaan Islam menjadi sama dengan pembelaan tradisional inilah maka timbul
kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner.
Kacamata hirarki nilai di kalangan kaum Muslimin telah membikinnya tidak
sanggup mengadakan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di
dunia dewasa ini.
Jadi dengan
sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum
Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan
nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam
dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.
Dengan demikian
kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai
di hadapan kenyataan-kenyataan, materiil, moril maupun historis menjadi sifat
kaum Muslimin.
Lebih lanjut
dengan sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia
sebagai Khalifah Allah di bumi. Fungsi sebagai Khalifah Allah itu memberikan
ruangan bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara
dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan
sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggungjawab manusia atas
perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan.
Tetapi apa yang
terjadi sekarang ialah bahwa umat Islam kehilangan kreativitas dalam hidup
duniawi ini, sehingga mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak
berbuat dan salah. Dengan kata-kata lain mereka telah kehilangan semangat
ijtihad.
Sebenarnya
pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada dunia dan masalah-masalahnya
harus dipunyai oleh seorang Muslim secara otomatis, sebagai konsekuensi yang
logis daripada Tauhied. Pemutlakkan transendensi semata-mata kepada Tuhan
sebenarnya harus melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan yaitu
dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya.
Sebab
sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah pada hakikatnya apa yang
dinamakannya syirik, lawan tauhid. Maka sekularisasi itu sekarang memperoleh
maknanya yang kongkret, yaitu desakralisasi terhadap segala sesuatu selain
hal-hal yang benar-benar bersifat Ilaahy (transendental), yaitu dunia ini.
Yang dikenakan
proses desakralisasi itu ialah segala objek duniawi, moril maupun materiil.
Termasuk objek duniawi yang bersifat moril ialah nilai-nilai, sedangkan yang
bersifat materil ialah benda-benda.
Maka jika
terdapat ungkapan Islam is Bolsjewismplus god (Iqbal), salah satu pengertiannya
ialah bahwa pandangan Islam terhadap dunia ini dan masalah-masalahnya adalah
sama dengan komunis (realistis, dilihat menurut apa adanya, tidak mengadakan
penilaian lebih dari apa yang sewajarnya dipunyai oleh objek itu), hanya saja
Islam mengatakan adanya sesuatu yang transendental, yaitu Allah.
Justru Islam
meletakkan pandangan dunia (weltanschauung) dalam hubungannya antara alam dan
Tuhan itu sedemikian rupa, sehingga wajar bagaikan badan dengan kepala di atas
dan kaki di bawah (istilah Marx). Artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari
pandangan pada alam dan tidak sebaliknya seperti pada ajaran matrialisme
dialektika.
Intellectual
Freedom atau Kebebasan Berfikir
Salah satu
balai pendidikan Islam yang liberal, yaitu Balai Pendidikan Darussalam di
Gontor, Ponorogo (Jawa Timur) mencantumkan sebagai motonya berfikir bebas,
setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas. Di antara
kebebasan-kebebasan perorangan, kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat
adalah yang paling berharga.
Seharusnya kita
mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk fikiran dan ide, betapapun
anehnya kedengaran di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan.
Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide itu yang umumnya semula dikira
salah dan palsu, ternyata kemudian benar.
Kenyataan itu
merupakan pengalaman dari setiap gerakan pembaruan, perorangan maupun
organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Selanjutnya di dalam pertentangan
pikiran-pikiran, ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak
kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh
menjadi kuat.
Agaknya
tidaklah sama sekali omong kosong bila Nabi kita menyatakan bahwa perbedaan
pendapat di kalangan umatnya merupakan rahmat. Kebebasan berfikir ini dengan
baik sekali diterangkan oleh OW Holmes ketika dia mengatakan:
The ultimate
good desire is better reached by free trades in indeas that the best test of
truth is the power of thought to get itself accepted competition of the market,
and that truth is the only ground upon which their wishes safely can be carried
out. (kebaikan terakhir yang dikehendaki adalah lebih baik dicapai melalui
perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide. Bahwa sebaik-baiknya ujian bagi
suatu kebenaran ialah kekalutan fikiran untuk membuat dirinya dapat diterima
dalam kompetisi pasar, dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan di atas
mana keinginan-keinginan mereka dengan selamat dapat dilaksanakan).
Karena tiadanya
pikiran-pikiran yang segar kita telah kehilangan apa yang dikemukakan di muka,
yaitu psychological striking forfe (kekuatan maknawi yang ampuh), sebab tidak
ada suatu badan dengan pikiran yang bebas yang memusatkan perhatiannya kepada
tuntutan-tuntutan segera dari pada kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh
terus, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial.
Walaupun begitu
masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat
menyelesaikan problema-problema itu sebaik-baiknya jika dipersesuaikan,
dipersegar, diperbaharui, dan diorganisir (dikoordinir) untuk membuat ide-ide
sejalan dengan kenyataan zaman sekarang.
Sebagai contoh
ajaran tentang syura atau musyawarah umpamanya, telah diterima oleh umat Islam
secara umum sebagai sama atau dekat dengan ajaran demokrasi yang berasal dari
Barat itu. Tetapi di pihak lain ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial
dan pembelaan kaum lemah, miskin dan tertindas yang terdapat di mana-mana dalam
kitab suci belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan
perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam nampaknya
masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang seperti halnya dengan
demokrasi juga berasal dari Barat dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok
ide Islam tersebut.
Halangan
psychologis apakah yang ada pada umat Islam jika karena bukan ketiadaan
kebebasan berfikir? Karenanya kemudian umat Islam tidak mampu mengambil
inisiatif-inisiatif dalam perkembangan masyarakat duniawi ini, dan
inisiatif-inisiatif selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi-posisi
strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, kemudian Islam di-excludekan
dari padanya.
Sebenarnya
penting untuk diketahui bahwa persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer
seseorang merebut posisi di medan pertempuran dan dengan begitu menghalangi
musuh untuk mendudukinya, maka dalam percaturan politik yang maknawi itu
mungkin saja untuk merebut posisi-posisi abstrak dan mempertahankannya jangan
sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain.
Dalam hal
inilah kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu sekali lagi
akibat dari pada tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara
nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang masih
terlalu tebal diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya.
Idea of
Progress dan Sikap Terbuka
Sebenarnya jika
seorang Muslim itu benar-benar konsisten dengan ajarannya, maka nilai Idea of
Progress sebagamana nilai-nilai kebenaran lainnya tidak perlu lagi dikemukakan,
sebabnya sebenarnya telah ada padanya.
Idea of
progress bertitik tolak dari pada konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada
dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia
diciptakan Allah dalam fitnah dan berwatak hanief).
Oleh sebab itu
salah satu manifestasi tentang adanya idea of progress ialah kepercayaan akan
masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu lagi khawatir
akan perobahan-perobahan yang selalu terjadi pada tata nilai duniawi manusia.
Sebetulnya sikap reaksioner dan tertutup terbit dari rasa pesimis terhadap
sejarah.
Oleh karena itu
konsistensi idea of progress ialah sikap mental yang terbuka, berupa kesediaan
menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) dari mana saja asalkan mengandung
kebenaran. Jadi, sejalan dengan intellectual freedom tersebut duluan itu.
Kita harus
bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas
mungkin kemudian memilih di antaranya mana yang menurut ukuran-ukuran objektif
mengandung kebenaran. Adalah sulit sekali untuk dimengerti bahwa justru umat
Islam sekarang lebih banyak bersifat tertutup dalam sikap mentalnya, padahal
kitab suci mereka menegaskan bahwa mereka harus mendengarkan ide-ide dan
mengikutinya mana yang paling baik.
Dan bahwa sikap
terbuka adalah tanda-tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari pada Allah,
sedangkan sikap tertutup sehingga berdada sempit dan sesak bagaikan orang yang
beranjak ke langit merupakan tanda-tanda kesesatan!
Jika memang
Islam itu bukan kebudayaan dan bukan pula peradaban melainkan dasar dari pada,
maka kebudayaan dan peradaban Islam sendiri kemanakah hendaknya dicari
bahan-bahannya untuk membangunnya jika tidak dari seluruh muka bumi berupa
warisan-warisan kemanusiaan yang universal. Sejarah memberikan kesaksian tak
terbantah akan hal itu.
Umat Islam
keluar dari Jazirah Arabia tidak mempunyai apa-apa kecuali iman yang teguh yang
memancar dari Al- Quran dan Sunnah (asar). Kemudian di daerah-daerah yang baru
mereka taklukkan mereka menemukan warisan- warisan manusia baik dari Barat
(Yunani, Romawi), maupun dari Timur (Persi).
Kemudian mereka
mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka
bawa dari padang pasir Jazirah Arab dan menjadikannya sebagai milik sendiri.
Karya mereka itulah yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sekarang
sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang dibanggakan?
Diperlukan
Kelompok Pembaru yang Liberal
Di atas pentas
sejarah, baik Indonesia maupun dunia, telah tampil gerakan-gerakan pembaruan.
Di Indonesia kita mengenal organisasi-organisasi dengan aspirasi-aspirasi
pembaruan seperti Muhammadiyah, Al-Irsad, dan Persis. Tetapi sejarah mencatat
pula dan harus kita akui dengan jujur bahwa mereka itu sekarang telah berhenti
sebagai pembaru-pembaru. Mengapa?
Sebab mereka
pada akhirnya telah menjadi beku sendiri, karena mereka agaknya tidak sanggup
menangkap semangat dari pada ide pembaruan itu sendiri yaitu dinamika dan
progresifitas. Sebaliknya organisasi-organisasi yang oleh sejarah dicatat
sebagai organisasi-organisasi kontra reformasi seperti NU, Al-Washliyah, PUI
dan lain-lain, ternyata sekarang telah melakukan sendiri dan menerima
nilai-nilai yang dulunya menjadi hak monopoli kaum pembaru sekalipun sikap
mereka ini adalah karena desakan hukum sejarah yang tak terhindarkan, dan
mereka mengambilnya tidak cukup serius atau tidak secara formil menerimanya
sebagai pandangan prinsipil.
Akibatnya ialah
keadaan stagnant yang secara menyeluruh menimpa umat sekarang ini:
Organisasi-organisasi Islam yang pada didirikannya bersikap anti-tradisi dan
sektarianisme sekarang telah menjadi tradisionalis dan sektarianis sendiri.
Sedangkan organisasi lainnya yang semula menolak nilai-nilai baru, sekarang
menerimanya, namun tidak pernah terniat menjadikannya sikap hidup yang
prinsipil.
Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu kelompok pembaruan Islam baru yang liberal. Tentang
arti kata liberal telah dikemukakan di depan. Tetapi kata-kata itu mempunyai
implikasinya lebih lanjut sebagai konsekuensi logisnya, yaitu
non-tradisionalisme dan non-sektarianisme.
Maka di sini dituntut
adanya kemampuan dan keberanian untuk setiap waktu meninjau kembali nilai
kelompok (sekte). Sekali lagi, nilai-nilai itu pun tidak perlu dikemukakan lagi
seandainya umat Islam konsisten dengan ajaran- ajaran sendiri.
Sebab
non-tradisionalisme tidak lain ialah kebalikan dari pada sikap kami mendapatkan
bapak-bapak kami berjalan di atas suatu tata nilai dan di atas warisan-warisan
mereka itulah kami memperoleh petunjuk. Sedangkan non- sektarianisme adalah
kebalikan dari pada sikap setiap golongan bangga dengan apa yang ada padanya,
yang kedua- duanya dicela keras di dalam kitab suci.
Kembali kepada
apa yang telah disinggung di muka, sebenarnya nilai-nilai Islam adalah
nilai-nilai yang dinamis, bukan statis. Selain daripada dasar-dasar kepercayaan
(di mana yang terpenting ialah kepada Allah) dan pokok- pokok ibadat, serta
beberapa nilai kemasyarakatan yang sangat prinsipil dan nampak tidak berobah
sepanjang masa, Islam tidak memberikan perumusan-perumusan yang menyangkut
kegiatan-kegiatan duniawi secara definitif.
Kecuali
nilai-nilai dasar yaitu rasa taqwa yang terbit dari iman kepada Allah dan
ibadah kepadanya, tidak ada nilai- nilai yang tetap. Nilai-nilai itu ialah
nilai-nilai budaya yang harus berkembang terus sesuai dengan hukum perobahan
dan perkembangan (segala sesuatu selain Allah itu rusak atau berobah).
Oleh karena itu
nilai-nilai Islam ialah setiap nilai yang sejalan dengan kemanusiaan atau
(fitri) atau hanief dengan dilandasi taqwa kepada Allah. Nilai-nilai itu
Islamis apabila ia secara asasi tidak bertentangan dengan iman dan taqwa, dan
ia itu baik menurut kemanusiaan sesuai dengan perkembangannya.
Sekarang,
perjuangan memperbaiki nasib umat manusia bukanlah menjadi milik monopoli umat
Islam. Seluruh umat manusia dengan mempertaruhkan ration atau akal fikiran yang
ada padanya, telah terlibat dalam percobaan- percobaan menemukan cara-cara yang
terbaik bagi perbaikan kehidupan manusia kolektif.
Pikiran-pikiran
itu pada zaman modern ini diketemukan pernyataannya dalam istilah-istilah yang
sekarang banyak terdengar, seperti: demokrasi, sosialisme, kerakyatan,
komunisme, dan lain-lain.
Pikiran-pikiran
itu betapa pun salahnya kelak ternyata dari sejarah, adalah merupakan
puncak-puncak pemikiran manusia tentang kehidupan dirinya sendiri di dalam
bermasyarakat, sebagai hasil penelahaan gejala sosial dan historis yang
realistis dan penuh keuletan berpikir.
Sekarang kita
harus belajar menggunakan pikiran-pikiran itu yang terbaik menurut ukuran
prinsip-prinsip Islam dan mengusahakan perkembangan selanjutnya dengan realisme
yang sama dan ketekunan berfikir yang sama. Inilah hakikat makna ijtihad atau
pembaruan yang kita kehendaki.
Oleh karena
itu, ijtihad atau pembaruan haruslah merupakan proses terus menerus dari pada
pemikiran yang orisinil, berlandaskan penilaian kepada gejala-gejala sosial dan
sejarah yang sewaktu-waktu harus ditinjau kembali benar- benar salahnya.
Ijtihad merupakan suatu proses, di mana kesalahan pengertian akan
masalah-masalahnya akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan.
Sungguhpun demikian, itupun masih lebih ringan dari pada beban stagnasi sosial
sejarah akibat tidak adanya pembaruan.
Oleh karena itu
tidak mungkin terjadi ijtihad dan pembaruan yang berarti jika kita tidak
mempunyai organisasi- organisasi penelitian dengan dasar yang kuat, jika kita
tidak mempunyai metode yang unggul untuk menganalisa situasi apa pun dan jika
kita tidak mempunyai pengetahuan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan
kemajuan kemanusiaan dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh
penemuan-penemuan baru di tiap bidang, baik sosial maupun alam. Rasanya kita
masih jauh dari keadaan yang menyenangkan itu.
Dapat
disimpulkan bahwa pekerjaan pembaruan adalah pekerjaan mereka dari kalangan
masyarakat yang mempunyai kemampuan sebesar-besarnya untuk mengerti dan
berfikir. Dengan kata-kata lain, pekerjaan dari kaum terpelajar. Maka tanggung
jawab kaum terpelajar sungguh besar dan berat, di hadapan umat manusia dan
sejarah ini dan di hadapan Tuhan kelak kemudian hari (di akhirat).
Untuk pekerjaan
besar itu kiranya organisasi-organisasi keilmuan yang terbesar di kalangan umat
Islam, yaitu Persami, HMI, dan PII, disertai GPI dapat merintis, memelopori dan
melaksanakan dalam suatu bentuk hubungan yang lebih kokoh dan terkoordinir,
tanpa melupakan unsur-unsur liberal lainnya dari setiap kelompok Islam yang
ada. (habis)
Oleh Drs H Nurcholish Madjid
(2 Januari 1970)
No comments:
Post a Comment