Membangun Indonesia Masa Depan - Tulisan Nurcholish Madjid - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Sunday, May 28, 2017

Membangun Indonesia Masa Depan - Tulisan Nurcholish Madjid














Oleh Nurcholish Madjid

 ‘Membangun Indonesia Masa Depan’ adalah suatu ungkapan yang menyiratkan harapan dan tekad untuk mewujudkan keadaan yang sebaikbaiknya, lebih baik daripada masa sekarang dan masa-masa lalu. Berkenaan dengan masalah ini, tetap harus kita sadari bahwa
masa lalu, masa sekarang, dan masa depan adalah kontinum ruang dan waktu yang tidak mengenal keterputusan.

Mustahil ada masa depan tanpa masa sekarang, dan mustahil ada masa sekarang tanpa masa lalu. Betapapun bermasalahnyadipandang masa lalu itu, namun ia tetap berpengaruh terhadap masa sekarang. Tetapi masa lalu telah menjadi ‘Buku Tertutup’, merupakan sebuah garis ungkul (solid line) yang tidak lagi mungkin diubah. Hikmah dari adanya masa lalu ialah tersedianya khazanah hikmah, sumber bahan penarikan pelajaran, baik yang positif maupun yang negatif.

Dari yang positif kita dapat memperoleh bahan akumulasi pengalaman untuk membangun keadaan baru yang lebih baik. Dan dari yang negative kita dapat menghindarkan diri dari kemungkinan terperosok ke dalam satu lubang untuk kedua, ketiga, keempat, kalinya, dan seterusnya. Masa depan adalah bagaikan buku yang masih terbuka, merupakan sebuah gari terputus-putus (broken line) yang menunggu dan menuntut tanggung jawab para pelaku sejarah dan seluruh masyarakat untuk mengisi dan membangunnya.

Kesulitan mengisi dan membangun masa depan itu muncul karena masa sekarang selalu merupakan kelanjutan langsung masa lalu sekaligus wujud nyata tindakan masyarakat bagaimana mewujudkan keadaan sebaikbaiknya berdasarkan persepsi mereka tentang masa lalu, yang positif dan yang negatif, yang benar dan yang salah, dan pemahaman masyarakat tentang apa yang terbaik untuk masa sekarang itu sendiri. Persoalan timbul karena persepsi tentang masa lalu dan pemahaman tentang apa yang terbaik untuk masa sekarang itu tidak selamanya tepat, karena senantiasa terancam oleh kerjanya ‘tyranny of vested interest’. Dengan kata lain, semuanya itu tidak selamanya lepas dari dikte kepentingan pribadi dan golongan. Kuatnya ‘vested inter est’ itu membuat kuatnya ‘social inertia’ untuk menghambat perubahan. Maka dari itu, membangun masa depan tidak bisa lain daripada tekad bulat menarik pelajaran dari masa lalu dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, mengatasi kepentingan golongan dan diri sendiri, memusatkan perhatian kepada usaha mencapai tujuan mewujudkan kebaikan untuk semua, seluruh anggota masyarakat dan warga negara, memenangkan peperangan (winning the war) sekalipun mungkin harus kalah dalam pertempuran (losing the battle), dalam arti kesediaan menanggung kerugian kecil, jangka pendek dan bersifat sementara untuk diri sendiri, keluarga, kerabat dan golongan sendiri.

Suatu tekad yang dilandasi keyakinan ‘jer basuki mawa bea’, tidak ada keberhasilan tanpa jerih payah, tidak ada Hari Raya tanpa berpuasa, ‘no pains no gains’. Jadi memerlukan kemurnian yang berdimensi metafisis. Tentang komitmen metafisis ini, dari antara negara - negara modern, contohnya ialah Amerika Serikat. Sekalipun negara itu sering dipandang sebagai negara sekuler demokratis, namun para pendirinya banyak mengembangkan gagasan mereka berdasarkan ajaran dalam Deisme, Unitarianisme dan Universalisme. Mereka percaya kepada God of Nature, Nature’s God, Divine Providence, dan seterusnya, dan menggunakan logo ‘In God we trust’ (Kami beriman kepada Tuhan). Para ahli mengatakan bahwa menghilangkan segi Ketuhanan dalam sistem nilai Keamerikaan berarti menghilangkan makna revolusi Amerika itu sendiri dan merobohkan seluruh bangunan Keamerikaan.

Terkiaskan dengan hal di atas itu, Indonesia adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan yang pertama dari lima dasar negara. Seperti dikatakan Bung Hatta, Sang Hati Nurani Bangsa Indonesia, dasar Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip yang menyinari seluruh pandangan hidup setiap pribadi warga masyarakat dan negara, sebagaimana dengan sendirinya prinsip itu menyinari empat dasar negara berikutnya.

Sejalan dengan pandangan itu ialah pandangan hidup mengikuti jalan lurus. Ungkapan ‘Jalan Lurus’ itu sungguh penuh makna, karena menyiratkan adanya keyakinan tentang adanya suatu jalan yang menghubungkan titik asal dan titik tujuan yang paling langsung, karena itu juga berarti paling pendek. Namun jalan lurus bukanlah jalan pintas, lebih-lebih jika ungkapan ‘jalan pintas’ itu digunakan sebagai metaphor untuk tindakan melanggar peraturan dan ketentuan yang lazim demi meraih perolehan jangka pendek, untuk diri sendiri atau golongan sendiri. Justru ‘jalan lurus’ bertentangan dengan konotasi ‘jalan pintas’ yang melanggar hukum dan kesepakatan, sebab ‘jalan pintas’ seperti itu pada hakikatnya merupakan ‘jalan serong’. Gerak menempuh jalan lurus adalah gerak perjalanan tanpa henti, mengikuti garis kesucian dalam kesahajaan nurani yang membentang antara titik asal hidup yang tak terhingga, yaitu Tuhan menuju titik tujuan hidup yang tak terhingga yang tidak lain ialah Tuhan itu sendiri.

Pembicaraan tentang hal-hal prinsip dasar itu diperlukan sebagai peringatan bahwa kita harus menangkap dan melaksanakan nilai social yang benar sebagai masalah-masalah prinsipil, bukan masalah procedural semata. Pelaksanaan suatu nilai secara prinsipil tidak dengan terlalu merisaukan kerugian jangka pendek, karena keyakinan yang teguh kepada adanya kebaikan besar dan umum, meliputi seluruh masyarakat.

Sedangkan jika suatu nilai kebenaran sosial dipandang sebagai masalah prosedural, pelaksanaannya dapat terjadi secara oportunistik: dilaksanakan jika menguntungkan dan ditinggalkan jika merugikan. Nilai-nilai sosial yang kita maksudkan itu ialah, misalnya, persamaan, keterbukaan, keadilan, kejujuran, toleransi, pluralisme, dan seterusnya, yang merupakan pilar-pilar kehidupan demokratis. Terdapat banyak indikasi bahwa nilai-nilai itu ada pada bangsa kita hanya secara kebetulan (by accident, accidentally), belum merupakan kesadaran-kesadaran prinsipil. Akibatnya kita banyak bicara tentang persamaan namun dalam masyarakat justru menonjol sekali gejala sindrom atasan dan bawahan, orang besarorang kecil, orang berpangkat–rakyat jelata, dan seterusnya; keadilan tercampur berat dengan kezaliman, kejujuran dengan kecurangan, toleransi dengan tindak kekerasan kepada kelompok lain, pluralisme dengan sikapsikap benar sendiri, dan seterusnya.

Nilai-nilai sosial yang prinsipil itu telah menjadi bagian dari kearifan kenegaraan bapak para pendiri, seperti Muhamad Hatta. Tetapi pelaksanaannya sejak hari-hari pertama Republik telah tercemar dengan berbagai penyimpangan. Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno merupakan upaya mengembalikan perjalanan bangsa dan negara ke relnya yang semula. Namun sistem Presiden Sukarno tidak dapat membendung berbagai arus penyelewengan sosial, politik dan ekonomi dengan akibat meluncurnya bangsa dan negara menuju malapetaka 1965. Sistem Presiden Suharto yang menggantikannya juga tidak mampu menahan berbagai gejala penyimpangan yang menghantarkan bangsa dan negara kepada krisis serba dimensi sebagaimana sampai sekarang masih menjadi penderitaan seluruh bangsa. Sesuai dengan sifatnya, krisis serba dimensi yang kita derita sekarang ini tidak dapat kita selesaikan dengan pendekatan satu segi atau satu dimensi tertentu saja, melainkan harus menyeluruh dan serentak. Ibarat gunung es di laut dingin sekitar kutub yang hanya bisa hancur meleleh oleh panasnya laut kawasan khatulistiwa, maka krisis yang telah tumbuh menggunung itu akan dapat mencair dan hilang oleh panasnya tekad membaja seluruh kekuatan bangsa untuk memulai hidup baru kenegaraan dan kebangsaan kita, dengan penegakan kembali komitmen seluruh warga negara kepada nilai-nilai nasional yang semurni-murninya.

Tekad bersama seluruh bangsa itu dengan sendirinya memerlukan landasan, seperti dikatakan Bung Karno dalam bahasa Belanda, ‘Sammen bundeling van alle krachten van de natie’, dulu ‘revolutionaire krachten’, sekarang barangkali ‘reformatische krachten’. Tekad bersama dengan penggalangan seluruh kekuatan bangsa itu mutlak diperlukan karena beratnya beban rintisan pertama pembangunan Indonesia masa depan itu melibatkan kesediaan melakukan pengorbanan
psikologi sosial politik dari seluruh bangsa, khususnya dari pihak-pihak yang tidak diuntungkan oleh sistem-sistem yang telah lalu. Dalam sifatnya yang serba dimensi, penanganan krisis sekarang ini, dalam hubungannya dengan langkah penyiapan masa depan, lingkaran setannya harus dipatahkan dengan suatu tindakan pengambilan keputusan yang kuat tentang skala prioritas yang harus mulai ditempuh jalan mengatasinya.

Dalam skala prioritas itu, sentimen dan perhatian masyarakat luas menghendaki penyelesaian masalah-masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dapat diletakkan dalam agenda prinsipil pelaksanaan ‘ good governance’ pada semua jenjang pengelolaan negara. Tetapi ‘good governance’ itu sendiri tidak dapat berdiri terpisah. Unsur-unsur pokok ‘good governance’, yaitu transparansi, akuntabilitas dan par tisipasi, tidak akan terwujud sejati tanpa supremasi hukum yang adil, berlaku untuk semua dengan penuh kemantapan dan jiwa taat asas. Supremasi hukum serupa itu mustahil ditegakkan tanpa kredibilitas dan tingkat amanah (trustworthiness) yang tinggi, serta kredensial yang kuat pada institusi penegak hukum dan masing-masing para anggotanya. Maka reformasi hukum dan penegakan wibawa lembaga legislatif merupakan keharusan mutlak bagi pembangunan Indonesia masa depan.

Wujud prinsip ‘Sammen bundeling van alle krachten’ untuk mendukungpelaksanaan good governance dan supremasi hukum itu mengarahkan kita seluruh bangsa kepada perlunya rekonsiliasi. Disinilah kita dihadapkan kepada kesulitan amat besar untuk memperoleh dan menegakkan kesepakatan-kesepakatan secara mantap. Jika disebutkan ‘tidak ada masa depan tanpa rekonsiliasi’, makna sebutan itu terutama berlaku pada bangsa dan negara kita. Sebagai negara yang sedemikian besar berbentuk kepulauan yang banyak terpisah oleh laut-laut bebas, dan dengan keanekaragaman besar dalam kesukuan, kebudayaan, keagamaan dan tingkat kemajuan, dari sejak semula konsep kebangsaan kita mengandung pengertian dasar rekonsiliasi.

Dalam hal ini kita boleh memandang diri kita sebagai bangsa baru yang amat sukses, lebih sukses daripada banyak bangsa baru yang lain. Di samping keanekaragaman fisik, geografis dan topografis wilayahnya serta kemajemukan sosial-budaya warganya, bangsa kita adalah juga bangsa yang telah mengalami perpecahan ideologis sebagai sumber pertikaian dan ancaman disintegrasi. Krisis serba dimensi sekarang ini masih sangat banyak terwarnai oleh persoalan perbedaan orientasi ideologis itu, setidak-tidaknya oleh sisa-sisa ingatan bersama memori kolektif) penuh trauma tentang pertikaian ideologis-politis berdarah di masa lalu. Trauma-trauma itu membuat masing-masing pihak amat sulit melupakan pengalaman-pengalaman tragis masa lalu, apalagi memaafkan. Trauma pengalaman tragis juga membuat amat sulit bagi pihak-pihak yang dipersalahkan untuk mengakui dan menyadari akan kesalahannya. Sudut pandang atau perspektif yang berbeda-beda tentang suatu peristiwa membuat masalah ‘kebenaran’ dan ‘kesalahan’ menjadi nisbi, tidak mutlak. Korelasi antara ‘sebab’ dengan ‘akibat’ acapkali terkaburkan, baik oleh pihak yang menekankan segi ‘sebab’ maupun pihak yang menekankan segi ‘akibat’. Di sinilah relevansi pikiran ‘rekonsiliasi’ berdasarkan pembinaan kembali sikap sikap saling percaya akan iktikad baik semua pihak, dalam semangat tekad menyatukan kembali kekuatan-kekuatan yang berselisih dan mendamaikan antar mereka. Kekuatan-kekuatan nasional yang tumbuh ke arah ‘sammen bundeling’ itu kemudian dijadikan modal dan pangkal tolak membangun masa depan yang lebih baik. Pikiran ‘rekonsiliasi’ itu harus berjalan sejajar dengan kesediaan menampilkan sikap rendah hati dan murah hati kepada semua pihak, mengarahkan semua tindakan ke arah kebaikan bersama, dan mendorong tumbuhnya saling kompromi secara positif dan berprinsip, bukan atas dasar oportunisme dan kepentingan sesaat (expediency ).

Karena itu, rekonsiliasi tidak mungkin terjadi jika masih ada sikap-sikap serba mutlak (absolutistik) dari suatu pihak. Perasaan paling benar secara egoistik harus dikorbankan untuk memberi ruang bagi tumbuhnya kesadaran tentang yang benar secara sosial. Pengorbanan psiko-sosial politik inilah yang amat berat pada kebanyakan kita, yang akan menjadi batu penarung perjalanan proses rekonsiliasi. Meskipun masa lalu yang penuh pelajaran pahit itu tidak boleh pernah dilupakan (to forget, never!), namun untuk dapat dengan sungguh-sungguh memulai pembangunan masa depan yang lebih baik justru dituntut agar masing-masing pihak menunjukkan jiwa besar, demi kepentingan nasional, untuk dapat memahami posisi pihak-pihak lain secara empatik, kemudian simpatik, mengarah kepada kemampuan memberi maaf.

Meskipun ‘memberi maaf’ itu merupakan kemungkinan paling optimal bagi proses rekonsiliasi yang sukses, namun tidak berarti bahwa tingkat tertentu kemampuan memberi maaf itu harus juga diputus sebagai tidak praktis atau mustahil, sebab bagaimanapun juga suatu tingkat minimal tumbuhnya sikap saling percaya dan saling hormat jelas memerlukan tingkat minimal saling memberi maaf. Dihubungkan dengan suatu segi hakikat demokrasi sebagai ‘partial functioning of ideals’ (berlakunya secara parsial dari berbagai keinginan), rekonsiliasi pada hakekatnya adalah salah satu segi prinsipil dari demokrasi, sehingga demokrasi memang memerlukan kesediaan melakukan bentuk-bentuk tertentu kompromi yang berprinsip, yang terkandung di dalamnya kesanggupan memberi maaf tertentu secara tulus-ikhlas. Jadi rekonsiliasi memang memerlukan kesediaan memberi pengorbanan psiko-sosial dan psiko-politik yang tidak ringan.

Kalau semuanya itu samasekali menemui jalan buntu, maka alternatifnya ialah tetap berlanjutnya rentetan dendam dan balas dendam di antara berbagai kalangan bangsa kita, suatu keadaan yang membuat mustahil pembangunan masa depan yang lebih baik. Tetapi harus ditegaskan kembali bahwa semua yang telah tersebutkan di atas itu tidak boleh berlangsung secara sewenang-wenang, tanpa keadilan untuk semua, suatu keadilan yang diterapkan dan berlaku umum (universal) terhadap seluruh warga negara atas dasar persamaan mutlak di depan hukum, bukan ‘keadilan’ yang diterapkan atas dasar pertimbangan khusus dan untuk objek hukum yang dipilih secara khusus (partikular), suatu keadilan yang pada hakekatnya adalah kezaliman. Oleh karena itu, keberhasilan lebih lanjut dari rekonsiliasi menuntut konsekwensi penarikan garis pemisah yang tegas antara masa lalu dan masa depan. Garis pemisah itu dengan sendirinya terbentuk dalam konteks masa yang sedang berjalan atau masa sekarang sebagai titik mula masa depan yang sedang dibangun lebih baik itu. Dengan adanya garis pemisah yang tegas itu harus diambil sikap yang jelas terhadap masa lalu yang memberi ruang bagi sikap saling memaafkan, dan sikap yang jelas terhadap masa depan yang tidak lagi kenal kompromi atau ampun terhadap setiap bentuk penyimpangan, penyelewengan, dan kejahatan. Tindakan sekeras-kerasnya harus diambil terhadap penyimpangan, penyelewengan, dan kejahatan yang merupakan pengulangan hal serupa dari masa lalu.

Apa pun yang tergambar dalam benak kita tentang bangsa ini, satu hal pasti tak terhindarkan, yaitu bahwa suatu hari seseorang atau sekelompok orang harus mengakhiri keadaan serba kacau yang kita derita selama ini, dan dengan kebulatan tekad memulai pembangunan Indonesia masa depan yang lebih baik. Besarnya dimensi krisis banyak segi sekarang ini dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan besar dengan garis kepemimpinan berinisiatif tinggi, suatu tindakan besar yang fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi atau bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata ‘jihad akbar’ yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektifisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar meskipun pahit karena bertentangan dengan keinginan dan kepentingan pribadi dan kelompok sendiri.

Perjuangan berat serupa itu hanya dapat terwujud dalam lingkungan sosial-politik yang ditopang oleh supremasi hukum—sebagaimana telah disinggung—dan oleh perasaan aman (secure) dan menentu (certain). Security dan certainty adalah fungsi kepemimpinan yang memiliki kesadaran arah (sense of direction) dan kesadaran tujuan (sense of purpose) tentang perjalanan sejarah bangsa dan negaranya. Rasa aman dan rasa menentu juga merupakan fungsi pelaksanaan tanggung jawab aparat penegakan keamanan dan hukum, dalam hal ini terutama berturut-turut TNI dan Polri. Pada gilirannya, aparat-aparat itu dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan penuh kemantapan jika pada mereka ada kesadaran tugas (sense of mission) yang tinggi yang diperkuat dengan adanya kesadaran harga diri (self respect) dan kesadaran kehormatan (sense of honor) yang tinggi. Semua unsur yang hilang dari kesadaran-kesadaran itu harus dikembalikan dan dikembangkan dengan unsur-unsur baru, sebagai bagian amat penting dari pembangunan demokrasi yang tangguh, dan semuanya harus diwujudkan dalam kerangka sistem demokrasi itu sendiri.

Guna menopang dan menjamin pelaksanaan sebaik-baiknya semua pikiran itu diperlukan partisipasi umum yang meliputi seluruh warga negara melalui mekanisme pelaksanaan kebebasan-kebebasan sipil (civil liberties), yaitu kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat. Dua wujud nyata kebebasan sipil itu, yaitu kebebasan pers dan kebebasan akademik menjadi tiang penyangga demokrasi. Kebebasan Pers telah diyakini sebagai kekuatan keempat sistem demokratis, setelah badan-badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena itu, membangun masa depan yang lebih baik adalah perkara mustahil tanpa partisipasi pers bebas yang menyadari tugasnya untuk bangsa dan ne- gara dengan baik.

Kebebasan akademik akhir-akhir ini bahkan telah dipandang sebagai ‘ruang suci’ (sacred space) yang harus dijaga jangan sampai ternoda. Sebab kebebasan akademik yang terlembagakan dalam pranata perguruan tinggi, adalah bentuk kegiatan penyiapan masa depan yang lebih jauh. Berjalan seiring dengan pengembangan dan pemeliharaan kebebasan - kebebasan sipil ialah fungsionalisasi yang lebih mantap pranata-pranata eksekutif, legislatif dan yudikatif, mengikuti garis pembagian tugas dan kewajiban yang jelas antara masing-masing pranata itu. Meskipun pikiran asal tetang Trias Politica tidak mungkin dilaksanakan secara murni mutlak, namun gagasan pembagian tugas itu merupakan ciri amat penting demokrasi yang mapan dan maju, karena merupakan wujud terpenting jalannya mekanisme checks and balances. Masa depan yang lebih baik tidak mungkin menjadi kenyataan jika masih berlangsung terus kekacauan dan kekaburan pembagian tugas tiga soko guru sistem demokrasi itu.

Keseluruhan agenda di atas itu memerlukan suasana kecukupan ekonomi, terutama pangan, sandang dan papan, secara minimal namun cukup memadai, disertai suasana aman dan tenteram oleh tegaknya keadilan dan tingkat pemerataan tertentu pembagian kembali kekayaan nasional. Perlu selalu diingat dengan tegas bahwa Indonesia dirancang sebagai ‘negarabangsa’ (nation state), sebuah konsep tentang negara yang dirancang untuk kepentingan seluruh komponen bangsa tanpa kecuali atau diskriminasi.

Maka dalam ‘negara bangsa’ kekayaan nasional harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pembagian kembal kekayaan nasional itu secara adil dan merata. Oleh karena itu harus dicegah terbukanya jalan bagi penumpukan kekayaan pribadi secara tidak adil dan tidak sah. Lebih-lebih lagi jika kemungkinan yang tidak benar itu terkait dengan sistem yang membuka peluang lebar bagi beroperasinya pengaruh negatif sistem ekonomi global, maka pencegahannya harus dilakukan dengan memperkuat Indonesia sebagai negara bangsa yang berdaulat (soverign nation state) tidak saja secara politik, tetapi juga secara ekonomi. Hubungan ekonomi global harus dimanfaatkan demi kepentingan nasional dan sama sekali tidak boleh melanggar kedaulatan nasional itu. Suasana yang tercipta dapat diarahkan kepada rintisan reformasi ekonomi yang lebih mendasar dengan mendorong inisiatif-inisiatif produktif dari bawah.

Kebebasan dalam skala yang menyeluruh adalah kondisi yang langsung dapat ikut menopang tumbuhnya kemampuan mengambil inisiatif dari bawah di segala bidang, khususnya bidang ekonomi, berwujud meningkatnya produksi barang-barang keperluan hidup sehari-hari sampai kepada peningkatan produksi peralatan mesin (machine tool). Ekonomi fisik berdasarkan kemampuan produksi dan pasar domestik harus tumbuh dan berkembang kuat sebanding dan sejajar dengan ekonomi moneter finansial yang berdimensi global. Diperlukannya penanaman modal dari masyarakat ekonomi global adalah justeru demi memperkuat dan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri itu dan pemasaran domestiknya. Sebagai negara besar kita harus memiliki kepercayaan diri yang besar pula akan kemampuan diri sendiri, dan harus menampilkan diri dalam pergaulan global sebagai negara besar yang tegak dengan kedaulatannya.

Kontinuitas proses pertumbuhan bangsa menuju masa depan yang terus-menerus bertambah baik itu sangat banyak dipertaruhkan kepada peningkatan kualitas manusia pribadi para warga negara. Usaha ke arah itu melibatkan keharusan adanya kesungguhan amat tinggi untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pendidikan nasional pada seluruh wilayah negara dan komponen masyarakat. Manusia adalah tujuan pembangunan itu sendiri, karena pembangunan menjadi bermakna hanya jika menciptakan kebahagian pada manusia. Tetapi kebahagian juga ada dalam kerja itu sendiri dan dalam pengalaman batin mencapai keberhasilan. Kerja yang berhasil adalah kerja dengan keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan. Jadi pendidikan mempunyai peran dalam meningkatkan kebahagian pribadi sebagai tujuan pembangunan, sekaligus peran dalam meningkatkan keahlian dan keterampilan kerja seseorang sebagai sumberdaya. Maka pendidikan meningkatkan kualitas kebahagiaan sekaligus kualitas kerja dan produktivitas. Pemerataan pendidikan adalah juga pemerataan daya serap pembagian kembali kekayaan nasional dan pemanfaatannya. Jadi pendidikan juga berkait langsung dengan usaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sebagai tujuan akhir didirikannya negara.

Dalam sebuah negara, jelas sekali wilayah dengan penduduk yang cerdas akan lebih maju dan lebih banyak menikmati kekayaan nasional daripada wilayah dengan penduduk yang berpendidikan tidak memadai. Hal itu terjadi tanpa terkaitterlalu banyak dengan potensi kekayaan sumber daya alam wilayah bersangkutan. Tetapi, jika suatu wilayah jelas-jelas memiliki kekayaan alam yang besar dan menjadi sumber kontribusi besar bagi kekayaan nasional, maka wilayah itu dengan sendirinya berhak mendapat porsi pembagian kembali kekayaan nasional itu secara adil dan wajar. Kelalaian dalam masalah ini akan menimbulkan problem ketidakadilan antar wilayah atau lebih buruk lagi, antara pusat dan daerah.

Kerusuhan dan kekacauan di berbagai wilayah tanah air yang merupakan bagian dari krisis multi dimensi ini dapat dipandang sebagai akibat hilangnya rasa keadilan tersebut dan dampak dominasi pusat yang tidak memberi kelonggaran secukupnya bagi pengembangan budaya daerah. Dengan kata lain, ada segi kultural dalam ketidakpuasan daerah kepada pusat, yaitu segi gelagat mengingkari keanekaragaman budaya Nusantara dan hak masing-masing budaya itu untuk mengembangkan diri di bidang pemerintahan, sosial dan ekonomi. Sekalipun otonomisasi daerah yang mulai diterapkan sekarang ini masih sedang dalam proses ‘coba dan salah’ (trial and error) yang mengkhawatirkan, namun pada dasarnya tetap bernilai positif. Karena itu, otonomisasi harus dilanjutkan dan dikembangkan, sekaligus diarahkan menuju bentukbentuk pelaksanaannya yang produktif dan menopang kepentingan nasional.

Sebuah negara tidak mungkin berkembang dalam keadaan terisolasi dari pergaulan dunia internasional. Lebih-lebih lagi pada masa sekarang, ketika umat manusia semakin tergantung satu sama lain, dalam sistem global yang meliputi dan mempengaruhi semua. Kebesaran Indonesia pada tahun-tahun formatifnya justru tercerminkan dalam kebesaran jiwa para pemimpinnya yang bersemangat kemanusiaan universal. Semangat itu memancar dalam cita-cita besar mewujudkan perdamaian dunia yang bebas dari kolonialisme dan imperialisme.

Semangat itu secara nyata menghasilkan Dasa Sila Bandung yang menjadi sumber inspirasi gerakan-gerakan pembebasan dan perlawanan kepada penjajahan di seluruh dunia, khususnya Asia dan Afrika. Dalam konteks masih berlangsungnya Perang Dingin, Indonesia menunjukkan kemampuan besar untuk memainkan peran aktif menjaga perdamaian dunia dengan mempelopori gerakan Non- Blok. Setelah Blok Timur runtuh dan Perang Dingin berakhir, timbul sedikit keraguan dalam Gerakan Non-Blok berkenaan dengan relevansinya untuk pemeliharaan perdamaian dunia. Tetapi dengan kasus-kasus krisis internasional akhir-akhir ini, khususnya penyerbuan Amerika terhadap Iraq, kesadaran baru tumbuh kembali tentang pentingnya secara aktif mengusahakan perdamaian dunia.


Dengan adanya sindrom adikuasa tunggal dunia pada Amerika, khususnya seperti diperlihatkan Pemerintahan Bush sekarang ini, makin kuat kesadaran bahwa kekuasaan yang tak terimbangi cenderung curang. Perdamaian dunia terancam oleh kekuatan tunggal, betapapun iktikad baik para pelakunya. Padahal perdamaian dunia adalah lingkungan global yang amat diperlukan bagi pembangunan masa depan yang lebih baik, pada tingkat nasional dan tingkat internasional. Kembali mengambil peran aktif dalam usaha membangun perdamaian dunia adalah salah satu wujud pelaksanaan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, salah satu hakikat jati diri bangsa Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages