Oleh Nurcholish Madjid
‘Membangun Indonesia Masa Depan’ adalah suatu ungkapan yang menyiratkan harapan dan tekad untuk mewujudkan keadaan yang sebaikbaiknya, lebih baik daripada masa sekarang dan masa-masa lalu. Berkenaan dengan masalah ini, tetap harus kita sadari bahwa
Mustahil ada masa depan tanpa masa sekarang, dan mustahil ada masa
sekarang tanpa masa lalu. Betapapun bermasalahnyadipandang masa lalu itu, namun
ia tetap berpengaruh terhadap masa sekarang. Tetapi masa lalu telah menjadi
‘Buku Tertutup’, merupakan sebuah garis ungkul (solid line) yang tidak
lagi mungkin diubah. Hikmah dari adanya masa lalu ialah tersedianya khazanah
hikmah, sumber bahan penarikan pelajaran, baik yang positif maupun yang
negatif.
Dari yang positif kita dapat memperoleh bahan akumulasi pengalaman
untuk membangun keadaan baru yang lebih baik. Dan dari yang negative kita dapat
menghindarkan diri dari kemungkinan terperosok ke dalam satu lubang untuk
kedua, ketiga, keempat, kalinya, dan seterusnya. Masa depan adalah bagaikan
buku yang masih terbuka, merupakan sebuah gari terputus-putus (broken line)
yang menunggu dan menuntut tanggung jawab para pelaku sejarah dan seluruh
masyarakat untuk mengisi dan membangunnya.
Kesulitan mengisi dan membangun masa depan itu muncul karena masa
sekarang selalu merupakan kelanjutan langsung masa lalu sekaligus wujud nyata
tindakan masyarakat bagaimana mewujudkan keadaan sebaikbaiknya berdasarkan
persepsi mereka tentang masa lalu, yang positif dan yang negatif, yang benar
dan yang salah, dan pemahaman masyarakat tentang apa yang terbaik untuk masa
sekarang itu sendiri. Persoalan timbul karena persepsi tentang masa lalu dan
pemahaman tentang apa yang terbaik untuk masa sekarang itu tidak selamanya
tepat, karena senantiasa terancam oleh kerjanya ‘tyranny of vested interest’.
Dengan kata lain, semuanya itu tidak selamanya lepas dari dikte kepentingan
pribadi dan golongan. Kuatnya ‘vested inter est’ itu membuat kuatnya ‘social
inertia’ untuk menghambat perubahan. Maka dari itu, membangun masa depan
tidak bisa lain daripada tekad bulat menarik pelajaran dari masa lalu dengan
penuh ketulusan dan keikhlasan, mengatasi kepentingan golongan dan diri
sendiri, memusatkan perhatian kepada usaha mencapai tujuan mewujudkan kebaikan
untuk semua, seluruh anggota masyarakat dan warga negara, memenangkan peperangan
(winning the war) sekalipun mungkin harus kalah dalam pertempuran (losing
the battle), dalam arti kesediaan menanggung kerugian kecil, jangka pendek
dan bersifat sementara untuk diri sendiri, keluarga, kerabat dan golongan
sendiri.
Suatu tekad yang dilandasi keyakinan ‘jer basuki mawa
bea’, tidak ada keberhasilan tanpa jerih payah, tidak ada Hari Raya tanpa
berpuasa, ‘no pains no gains’. Jadi memerlukan kemurnian yang berdimensi
metafisis. Tentang komitmen metafisis ini, dari antara negara - negara modern,
contohnya ialah Amerika Serikat. Sekalipun negara itu sering dipandang sebagai
negara sekuler demokratis, namun para pendirinya banyak mengembangkan gagasan
mereka berdasarkan ajaran dalam Deisme, Unitarianisme dan Universalisme. Mereka
percaya kepada God of Nature, Nature’s God, Divine Providence,
dan seterusnya, dan menggunakan logo ‘In God we trust’ (Kami beriman
kepada Tuhan). Para ahli mengatakan bahwa menghilangkan segi Ketuhanan dalam
sistem nilai Keamerikaan berarti menghilangkan makna revolusi Amerika itu
sendiri dan merobohkan seluruh bangunan Keamerikaan.
Terkiaskan dengan hal di atas itu, Indonesia adalah negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan yang pertama dari lima dasar
negara. Seperti dikatakan Bung Hatta, Sang Hati Nurani Bangsa Indonesia, dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip yang menyinari seluruh pandangan
hidup setiap pribadi warga masyarakat dan negara, sebagaimana dengan sendirinya
prinsip itu menyinari empat dasar negara berikutnya.
Sejalan dengan pandangan itu ialah pandangan hidup mengikuti jalan
lurus. Ungkapan ‘Jalan Lurus’ itu sungguh penuh makna, karena menyiratkan
adanya keyakinan tentang adanya suatu jalan yang menghubungkan titik asal dan
titik tujuan yang paling langsung, karena itu juga berarti paling pendek. Namun
jalan lurus bukanlah jalan pintas, lebih-lebih jika ungkapan ‘jalan pintas’ itu
digunakan sebagai metaphor untuk tindakan melanggar peraturan dan ketentuan
yang lazim demi meraih perolehan jangka pendek, untuk diri sendiri atau
golongan sendiri. Justru ‘jalan lurus’ bertentangan dengan konotasi ‘jalan
pintas’ yang melanggar hukum dan kesepakatan, sebab ‘jalan pintas’ seperti itu
pada hakikatnya merupakan ‘jalan serong’. Gerak menempuh jalan lurus adalah gerak
perjalanan tanpa henti, mengikuti garis kesucian dalam kesahajaan nurani yang
membentang antara titik asal hidup yang tak terhingga, yaitu Tuhan menuju titik
tujuan hidup yang tak terhingga yang tidak lain ialah Tuhan itu sendiri.
Pembicaraan tentang hal-hal prinsip dasar itu diperlukan sebagai peringatan
bahwa kita harus menangkap dan melaksanakan nilai social yang benar sebagai
masalah-masalah prinsipil, bukan masalah procedural semata. Pelaksanaan suatu
nilai secara prinsipil tidak dengan terlalu merisaukan kerugian jangka pendek,
karena keyakinan yang teguh kepada adanya kebaikan besar dan umum, meliputi
seluruh masyarakat.
Sedangkan jika suatu nilai kebenaran sosial dipandang sebagai
masalah prosedural, pelaksanaannya dapat terjadi secara oportunistik: dilaksanakan
jika menguntungkan dan ditinggalkan jika merugikan. Nilai-nilai sosial yang
kita maksudkan itu ialah, misalnya, persamaan, keterbukaan, keadilan,
kejujuran, toleransi, pluralisme, dan seterusnya, yang merupakan pilar-pilar
kehidupan demokratis. Terdapat banyak indikasi bahwa nilai-nilai itu ada pada
bangsa kita hanya secara kebetulan (by accident, accidentally),
belum merupakan kesadaran-kesadaran prinsipil. Akibatnya kita banyak bicara
tentang persamaan namun dalam masyarakat justru menonjol sekali gejala sindrom
atasan dan bawahan, orang besarorang kecil, orang berpangkat–rakyat jelata, dan
seterusnya; keadilan tercampur berat dengan kezaliman, kejujuran dengan
kecurangan, toleransi dengan tindak kekerasan kepada kelompok lain, pluralisme
dengan sikapsikap benar sendiri, dan seterusnya.
Nilai-nilai sosial yang prinsipil itu telah menjadi bagian dari
kearifan kenegaraan bapak para pendiri, seperti Muhamad Hatta. Tetapi
pelaksanaannya sejak hari-hari pertama Republik telah tercemar dengan berbagai
penyimpangan. Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno merupakan upaya
mengembalikan perjalanan bangsa dan negara ke relnya yang semula. Namun sistem
Presiden Sukarno tidak dapat membendung berbagai arus penyelewengan sosial,
politik dan ekonomi dengan akibat meluncurnya bangsa dan negara menuju
malapetaka 1965. Sistem Presiden Suharto yang menggantikannya juga tidak mampu
menahan berbagai gejala penyimpangan yang menghantarkan bangsa dan negara
kepada krisis serba dimensi sebagaimana sampai sekarang masih menjadi
penderitaan seluruh bangsa. Sesuai dengan sifatnya, krisis serba dimensi yang
kita derita sekarang ini tidak dapat kita selesaikan dengan pendekatan satu
segi atau satu dimensi tertentu saja, melainkan harus menyeluruh dan serentak.
Ibarat gunung es di laut dingin sekitar kutub yang hanya bisa hancur meleleh
oleh panasnya laut kawasan khatulistiwa, maka krisis yang telah tumbuh menggunung
itu akan dapat mencair dan hilang oleh panasnya tekad membaja seluruh kekuatan
bangsa untuk memulai hidup baru kenegaraan dan kebangsaan kita, dengan
penegakan kembali komitmen seluruh warga negara kepada nilai-nilai nasional
yang semurni-murninya.
Tekad bersama seluruh bangsa itu dengan sendirinya memerlukan landasan,
seperti dikatakan Bung Karno dalam bahasa Belanda, ‘Sammen bundeling
van alle krachten van de natie’, dulu ‘revolutionaire krachten’, sekarang
barangkali ‘reformatische krachten’. Tekad bersama dengan penggalangan
seluruh kekuatan bangsa itu mutlak diperlukan karena beratnya beban rintisan
pertama pembangunan Indonesia masa depan itu melibatkan kesediaan melakukan pengorbanan
psikologi sosial politik dari seluruh bangsa, khususnya dari
pihak-pihak yang tidak diuntungkan oleh sistem-sistem yang telah lalu. Dalam
sifatnya yang serba dimensi, penanganan krisis sekarang ini, dalam hubungannya dengan
langkah penyiapan masa depan, lingkaran setannya harus dipatahkan dengan suatu
tindakan pengambilan keputusan yang kuat tentang skala prioritas yang harus
mulai ditempuh jalan mengatasinya.
Dalam skala prioritas itu, sentimen dan perhatian masyarakat luas
menghendaki penyelesaian masalah-masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
yang dapat diletakkan dalam agenda prinsipil pelaksanaan ‘ good governance’
pada semua jenjang pengelolaan negara. Tetapi ‘good governance’ itu
sendiri tidak dapat berdiri terpisah. Unsur-unsur pokok ‘good governance’,
yaitu transparansi, akuntabilitas dan par tisipasi, tidak akan terwujud sejati
tanpa supremasi hukum yang adil, berlaku untuk semua dengan penuh kemantapan
dan jiwa taat asas. Supremasi hukum serupa itu mustahil ditegakkan tanpa
kredibilitas dan tingkat amanah (trustworthiness) yang tinggi, serta
kredensial yang kuat pada institusi penegak hukum dan masing-masing para
anggotanya. Maka reformasi hukum dan penegakan wibawa lembaga legislatif
merupakan keharusan mutlak bagi pembangunan Indonesia masa depan.
Wujud prinsip ‘Sammen bundeling van alle krachten’ untuk
mendukungpelaksanaan good governance dan supremasi hukum itu mengarahkan
kita seluruh bangsa kepada perlunya rekonsiliasi. Disinilah kita dihadapkan kepada
kesulitan amat besar untuk memperoleh dan menegakkan kesepakatan-kesepakatan
secara mantap. Jika disebutkan ‘tidak ada masa depan tanpa rekonsiliasi’, makna
sebutan itu terutama berlaku pada bangsa dan negara kita. Sebagai negara yang
sedemikian besar berbentuk kepulauan yang banyak terpisah oleh laut-laut bebas,
dan dengan keanekaragaman besar dalam kesukuan, kebudayaan, keagamaan dan
tingkat kemajuan, dari sejak semula konsep kebangsaan kita mengandung
pengertian dasar rekonsiliasi.
Dalam hal ini kita boleh memandang diri kita sebagai bangsa baru
yang amat sukses, lebih sukses daripada banyak bangsa baru yang lain. Di
samping keanekaragaman fisik, geografis dan topografis wilayahnya serta
kemajemukan sosial-budaya warganya, bangsa kita adalah juga bangsa yang telah mengalami
perpecahan ideologis sebagai sumber pertikaian dan ancaman disintegrasi. Krisis
serba dimensi sekarang ini masih sangat banyak terwarnai oleh persoalan
perbedaan orientasi ideologis itu, setidak-tidaknya oleh sisa-sisa ingatan
bersama memori kolektif) penuh trauma tentang pertikaian ideologis-politis berdarah
di masa lalu. Trauma-trauma itu membuat masing-masing pihak amat sulit
melupakan pengalaman-pengalaman tragis masa lalu, apalagi memaafkan. Trauma
pengalaman tragis juga membuat amat sulit bagi pihak-pihak yang dipersalahkan
untuk mengakui dan menyadari akan kesalahannya. Sudut pandang atau perspektif
yang berbeda-beda tentang suatu peristiwa membuat masalah ‘kebenaran’ dan ‘kesalahan’
menjadi nisbi, tidak mutlak. Korelasi antara ‘sebab’ dengan ‘akibat’ acapkali
terkaburkan, baik oleh pihak yang menekankan segi ‘sebab’ maupun pihak yang
menekankan segi ‘akibat’. Di sinilah relevansi pikiran ‘rekonsiliasi’ berdasarkan
pembinaan kembali sikap sikap saling percaya akan iktikad baik semua pihak, dalam
semangat tekad menyatukan kembali kekuatan-kekuatan yang berselisih dan mendamaikan
antar mereka. Kekuatan-kekuatan nasional yang tumbuh ke arah ‘sammen
bundeling’ itu kemudian dijadikan modal dan pangkal tolak membangun masa
depan yang lebih baik. Pikiran ‘rekonsiliasi’ itu harus berjalan sejajar dengan
kesediaan menampilkan sikap rendah hati dan murah hati kepada semua pihak,
mengarahkan semua tindakan ke arah kebaikan bersama, dan mendorong tumbuhnya
saling kompromi secara positif dan berprinsip, bukan atas dasar oportunisme dan
kepentingan sesaat (expediency ).
Karena itu, rekonsiliasi tidak mungkin terjadi jika masih ada
sikap-sikap serba mutlak (absolutistik) dari suatu pihak. Perasaan paling benar
secara egoistik harus dikorbankan untuk memberi ruang bagi tumbuhnya kesadaran
tentang yang benar secara sosial. Pengorbanan psiko-sosial politik inilah yang
amat berat pada kebanyakan kita, yang akan menjadi batu penarung perjalanan proses
rekonsiliasi. Meskipun masa lalu yang penuh pelajaran pahit itu tidak boleh
pernah dilupakan (to forget, never!), namun untuk dapat dengan sungguh-sungguh
memulai pembangunan masa depan yang lebih baik justru dituntut agar
masing-masing pihak menunjukkan jiwa besar, demi kepentingan nasional, untuk
dapat memahami posisi pihak-pihak lain secara empatik, kemudian simpatik,
mengarah kepada kemampuan memberi maaf.
Meskipun ‘memberi maaf’ itu merupakan kemungkinan paling optimal
bagi proses rekonsiliasi yang sukses, namun tidak berarti bahwa tingkat
tertentu kemampuan memberi maaf itu harus juga diputus sebagai tidak praktis
atau mustahil, sebab bagaimanapun juga suatu tingkat minimal tumbuhnya sikap
saling percaya dan saling hormat jelas memerlukan tingkat minimal saling
memberi maaf. Dihubungkan dengan suatu segi hakikat demokrasi sebagai ‘partial
functioning of ideals’ (berlakunya secara parsial dari berbagai keinginan),
rekonsiliasi pada hakekatnya adalah salah satu segi prinsipil dari demokrasi,
sehingga demokrasi memang memerlukan kesediaan melakukan bentuk-bentuk tertentu
kompromi yang berprinsip, yang terkandung di dalamnya kesanggupan memberi maaf
tertentu secara tulus-ikhlas. Jadi rekonsiliasi memang memerlukan kesediaan
memberi pengorbanan psiko-sosial dan psiko-politik yang tidak ringan.
Kalau semuanya itu samasekali menemui jalan buntu, maka
alternatifnya ialah tetap berlanjutnya rentetan dendam dan balas dendam di
antara berbagai kalangan bangsa kita, suatu keadaan yang membuat mustahil
pembangunan masa depan yang lebih baik. Tetapi harus ditegaskan kembali bahwa
semua yang telah tersebutkan di atas itu tidak boleh berlangsung secara
sewenang-wenang, tanpa keadilan untuk semua, suatu keadilan yang diterapkan dan
berlaku umum (universal) terhadap seluruh warga negara atas dasar persamaan
mutlak di depan hukum, bukan ‘keadilan’ yang diterapkan atas dasar pertimbangan
khusus dan untuk objek hukum yang dipilih secara khusus (partikular), suatu
keadilan yang pada hakekatnya adalah kezaliman. Oleh karena itu, keberhasilan
lebih lanjut dari rekonsiliasi menuntut konsekwensi penarikan garis pemisah
yang tegas antara masa lalu dan masa depan. Garis pemisah itu dengan sendirinya
terbentuk dalam konteks masa yang sedang berjalan atau masa sekarang sebagai
titik mula masa depan yang sedang dibangun lebih baik itu. Dengan adanya garis
pemisah yang tegas itu harus diambil sikap yang jelas terhadap masa lalu yang
memberi ruang bagi sikap saling memaafkan, dan sikap yang jelas terhadap masa
depan yang tidak lagi kenal kompromi atau ampun terhadap setiap bentuk
penyimpangan, penyelewengan, dan kejahatan. Tindakan sekeras-kerasnya harus
diambil terhadap penyimpangan, penyelewengan, dan kejahatan yang merupakan
pengulangan hal serupa dari masa lalu.
Apa pun yang tergambar dalam benak kita tentang bangsa ini, satu
hal pasti tak terhindarkan, yaitu bahwa suatu hari seseorang atau sekelompok
orang harus mengakhiri keadaan serba kacau yang kita derita selama ini, dan
dengan kebulatan tekad memulai pembangunan Indonesia masa depan yang lebih
baik. Besarnya dimensi krisis banyak segi sekarang ini dan beratnya beban kesulitan
mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan
dalam tindakan besar dengan garis kepemimpinan berinisiatif tinggi, suatu
tindakan besar yang fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi atau
bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata ‘jihad akbar’ yang tidak
menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan
egoisme dan subjektifisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar
adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan
keberanian menyatakan apa yang benar meskipun pahit karena bertentangan dengan
keinginan dan kepentingan pribadi dan kelompok sendiri.
Perjuangan berat serupa itu hanya dapat terwujud dalam lingkungan sosial-politik
yang ditopang oleh supremasi hukum—sebagaimana telah disinggung—dan oleh
perasaan aman (secure) dan menentu (certain). Security dan
certainty adalah fungsi kepemimpinan yang memiliki kesadaran arah (sense
of direction) dan kesadaran tujuan (sense of purpose) tentang
perjalanan sejarah bangsa dan negaranya. Rasa aman dan rasa menentu juga
merupakan fungsi pelaksanaan tanggung jawab aparat penegakan keamanan dan
hukum, dalam hal ini terutama berturut-turut TNI dan Polri. Pada gilirannya,
aparat-aparat itu dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan penuh
kemantapan jika pada mereka ada kesadaran tugas (sense of mission) yang
tinggi yang diperkuat dengan adanya kesadaran harga diri (self respect)
dan kesadaran kehormatan (sense of honor) yang tinggi. Semua unsur yang
hilang dari kesadaran-kesadaran itu harus dikembalikan dan dikembangkan dengan
unsur-unsur baru, sebagai bagian amat penting dari pembangunan demokrasi yang
tangguh, dan semuanya harus diwujudkan dalam kerangka sistem demokrasi itu sendiri.
Guna menopang dan menjamin pelaksanaan sebaik-baiknya semua pikiran
itu diperlukan partisipasi umum yang meliputi seluruh warga negara melalui
mekanisme pelaksanaan kebebasan-kebebasan sipil (civil liberties),
yaitu kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul dan kebebasan
berserikat. Dua wujud nyata kebebasan sipil itu, yaitu kebebasan pers dan
kebebasan akademik menjadi tiang penyangga demokrasi. Kebebasan Pers telah
diyakini sebagai kekuatan keempat sistem demokratis, setelah badan-badan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Karena itu, membangun masa depan yang
lebih baik adalah perkara mustahil tanpa partisipasi pers bebas yang menyadari
tugasnya untuk bangsa dan ne- gara dengan baik.
Kebebasan akademik akhir-akhir ini bahkan telah dipandang sebagai
‘ruang suci’ (sacred space) yang harus dijaga jangan sampai ternoda.
Sebab kebebasan akademik yang terlembagakan dalam pranata perguruan tinggi,
adalah bentuk kegiatan penyiapan masa depan yang lebih jauh. Berjalan seiring
dengan pengembangan dan pemeliharaan kebebasan - kebebasan sipil ialah
fungsionalisasi yang lebih mantap pranata-pranata eksekutif, legislatif dan
yudikatif, mengikuti garis pembagian tugas dan kewajiban yang jelas antara
masing-masing pranata itu. Meskipun pikiran asal tetang Trias Politica tidak
mungkin dilaksanakan secara murni mutlak, namun gagasan pembagian tugas itu
merupakan ciri amat penting demokrasi yang mapan dan maju, karena merupakan
wujud terpenting jalannya mekanisme checks and balances. Masa depan yang
lebih baik tidak mungkin menjadi kenyataan jika masih berlangsung terus
kekacauan dan kekaburan pembagian tugas tiga soko guru sistem demokrasi itu.
Keseluruhan agenda di atas itu memerlukan suasana kecukupan
ekonomi, terutama pangan, sandang dan papan, secara minimal namun cukup memadai,
disertai suasana aman dan tenteram oleh tegaknya keadilan dan tingkat
pemerataan tertentu pembagian kembali kekayaan nasional. Perlu selalu diingat
dengan tegas bahwa Indonesia dirancang sebagai ‘negarabangsa’ (nation state),
sebuah konsep tentang negara yang dirancang untuk kepentingan seluruh komponen
bangsa tanpa kecuali atau diskriminasi.
Maka dalam ‘negara bangsa’ kekayaan nasional harus digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pembagian kembal kekayaan nasional
itu secara adil dan merata. Oleh karena itu harus dicegah terbukanya jalan bagi
penumpukan kekayaan pribadi secara tidak adil dan tidak sah. Lebih-lebih lagi
jika kemungkinan yang tidak benar itu terkait dengan sistem yang membuka
peluang lebar bagi beroperasinya pengaruh negatif sistem ekonomi global, maka
pencegahannya harus dilakukan dengan memperkuat Indonesia sebagai negara bangsa
yang berdaulat (soverign nation state) tidak saja secara politik, tetapi
juga secara ekonomi. Hubungan ekonomi global harus dimanfaatkan demi
kepentingan nasional dan sama sekali tidak boleh melanggar kedaulatan nasional
itu. Suasana yang tercipta dapat diarahkan kepada rintisan reformasi ekonomi
yang lebih mendasar dengan mendorong inisiatif-inisiatif produktif dari bawah.
Kebebasan dalam skala yang menyeluruh adalah kondisi yang langsung
dapat ikut menopang tumbuhnya kemampuan mengambil inisiatif dari bawah di
segala bidang, khususnya bidang ekonomi, berwujud meningkatnya produksi barang-barang
keperluan hidup sehari-hari sampai kepada peningkatan produksi peralatan mesin
(machine tool). Ekonomi fisik berdasarkan kemampuan produksi dan pasar
domestik harus tumbuh dan berkembang kuat sebanding dan sejajar dengan ekonomi
moneter finansial yang berdimensi global. Diperlukannya penanaman modal dari
masyarakat ekonomi global adalah justeru demi memperkuat dan mengembangkan kemampuan
produksi dalam negeri itu dan pemasaran domestiknya. Sebagai negara besar kita
harus memiliki kepercayaan diri yang besar pula akan kemampuan diri sendiri,
dan harus menampilkan diri dalam pergaulan global sebagai negara besar yang
tegak dengan kedaulatannya.
Kontinuitas proses pertumbuhan bangsa menuju masa depan yang terus-menerus
bertambah baik itu sangat banyak dipertaruhkan kepada peningkatan kualitas
manusia pribadi para warga negara. Usaha ke arah itu melibatkan keharusan
adanya kesungguhan amat tinggi untuk meningkatkan mutu dan pemerataan
pendidikan nasional pada seluruh wilayah negara dan komponen masyarakat.
Manusia adalah tujuan pembangunan itu sendiri, karena pembangunan menjadi
bermakna hanya jika menciptakan kebahagian pada manusia. Tetapi kebahagian juga
ada dalam kerja itu sendiri dan dalam pengalaman batin mencapai keberhasilan. Kerja
yang berhasil adalah kerja dengan keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari
pendidikan. Jadi pendidikan mempunyai peran dalam meningkatkan kebahagian
pribadi sebagai tujuan pembangunan, sekaligus peran dalam meningkatkan keahlian
dan keterampilan kerja seseorang sebagai sumberdaya. Maka pendidikan
meningkatkan kualitas kebahagiaan sekaligus kualitas kerja dan produktivitas. Pemerataan
pendidikan adalah juga pemerataan daya serap pembagian kembali kekayaan
nasional dan pemanfaatannya. Jadi pendidikan juga berkait langsung dengan usaha
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sebagai tujuan akhir
didirikannya negara.
Dalam sebuah negara, jelas sekali wilayah dengan penduduk yang
cerdas akan lebih maju dan lebih banyak menikmati kekayaan nasional daripada
wilayah dengan penduduk yang berpendidikan tidak memadai. Hal itu terjadi tanpa
terkaitterlalu banyak dengan potensi kekayaan sumber daya alam wilayah
bersangkutan. Tetapi, jika suatu wilayah jelas-jelas memiliki kekayaan alam yang
besar dan menjadi sumber kontribusi besar bagi kekayaan nasional, maka wilayah
itu dengan sendirinya berhak mendapat porsi pembagian kembali kekayaan nasional
itu secara adil dan wajar. Kelalaian dalam masalah ini akan menimbulkan problem
ketidakadilan antar wilayah atau lebih buruk lagi, antara pusat dan daerah.
Kerusuhan dan kekacauan di berbagai wilayah tanah air yang
merupakan bagian dari krisis multi dimensi ini dapat dipandang sebagai akibat
hilangnya rasa keadilan tersebut dan dampak dominasi pusat yang tidak memberi
kelonggaran secukupnya bagi pengembangan budaya daerah. Dengan kata lain, ada
segi kultural dalam ketidakpuasan daerah kepada pusat, yaitu segi gelagat
mengingkari keanekaragaman budaya Nusantara dan hak masing-masing budaya itu
untuk mengembangkan diri di bidang pemerintahan, sosial dan ekonomi. Sekalipun otonomisasi
daerah yang mulai diterapkan sekarang ini masih sedang dalam proses ‘coba dan
salah’ (trial and error) yang mengkhawatirkan, namun pada dasarnya tetap
bernilai positif. Karena itu, otonomisasi harus dilanjutkan dan dikembangkan,
sekaligus diarahkan menuju bentukbentuk pelaksanaannya yang produktif dan
menopang kepentingan nasional.
Sebuah negara tidak mungkin berkembang dalam keadaan terisolasi
dari pergaulan dunia internasional. Lebih-lebih lagi pada masa sekarang, ketika
umat manusia semakin tergantung satu sama lain, dalam sistem global yang
meliputi dan mempengaruhi semua. Kebesaran Indonesia pada tahun-tahun
formatifnya justru tercerminkan dalam kebesaran jiwa para pemimpinnya yang
bersemangat kemanusiaan universal. Semangat itu memancar dalam cita-cita besar
mewujudkan perdamaian dunia yang bebas dari kolonialisme dan imperialisme.
Semangat itu secara nyata menghasilkan Dasa Sila Bandung yang
menjadi sumber inspirasi gerakan-gerakan pembebasan dan perlawanan kepada
penjajahan di seluruh dunia, khususnya Asia dan Afrika. Dalam konteks masih
berlangsungnya Perang Dingin, Indonesia menunjukkan kemampuan besar untuk
memainkan peran aktif menjaga perdamaian dunia dengan mempelopori gerakan Non- Blok.
Setelah Blok Timur runtuh dan Perang Dingin berakhir, timbul sedikit keraguan
dalam Gerakan Non-Blok berkenaan dengan relevansinya untuk pemeliharaan
perdamaian dunia. Tetapi dengan kasus-kasus krisis internasional akhir-akhir
ini, khususnya penyerbuan Amerika terhadap Iraq, kesadaran baru tumbuh kembali
tentang pentingnya secara aktif mengusahakan perdamaian dunia.
Dengan adanya sindrom adikuasa tunggal dunia pada Amerika,
khususnya seperti diperlihatkan Pemerintahan Bush sekarang ini, makin kuat kesadaran
bahwa kekuasaan yang tak terimbangi cenderung curang. Perdamaian dunia terancam
oleh kekuatan tunggal, betapapun iktikad baik para pelakunya. Padahal
perdamaian dunia adalah lingkungan global yang amat diperlukan bagi pembangunan
masa depan yang lebih baik, pada tingkat nasional dan tingkat internasional.
Kembali mengambil peran aktif dalam usaha membangun perdamaian dunia adalah salah
satu wujud pelaksanaan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, salah satu
hakikat jati diri bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment