Oleh Afzal Nur Iman
Sebuah
biografi karya Pramoedya Anantatoer ini mengajak kita mengingat R.A Kartini. Bukan dari sudut
pandang domestik rumah seperti dia adalah gadis pingitan yang dinikahkan secara paksa lalu mati. Begitu yang tertera
dalam sampul belakang buku “Panggil Aku Kartini
Saja” cetakan ke-9 yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 2012.
Pram berusaha menggambarkan Kartini
sebagai seorang yang berani melawan feodalisme jawa pada masa itu. Ia berhasil menutup zaman tengah,
zaman feodalisme pribumi yang “sakitan”. Begitu ditulis Pram
yang meminjam istilah dari Bung Karno. Yang unik dari buku ini adalah meskipun
ditulis sebagai biografi, Pram
tidak hanya menceritakan runtut tentang kehidupan Kartini. Pram berusaha menjelaskan keadaan yang terjadi di Jawa secara khusus dan Indonesia secara umum. Tanah Jawa yang sedang mengalami penjajahan bukan hanya dari
Belanda,
namun juga tradisi yang membelenggu di
dalam kehidupan feodalisme. Pram juga berhasil menggambarkan pergolakan
pemikiran pada diri Kartini dalam melihat realita di sekelilingnya. Konflik-konflik
dalam pemikiran Kartini dijelaskan secara mendalam hingga membuat pembaca merasakan
romantisme zaman itu.
Buku ini sebenarnya ditulis antara tahun 1965 –
1961.
Pramoedya Anantatoer mengutip salah satu kalimat dari surat yang ditulis oleh Kartini sendiri “Panggil Aku Kartini Saja”. Kalimat itu menggambarkan bahwa Kartini adalah seorang yang mempunyai jiwa demokratis dan menghendaki persamaan antar sesama manusia. Padahal kenyataanya, Kartini sendiri adalah keturunan bangsawan terkemuka di Indonesia.
Kartini mewarisi darah bangsawan Jawa.
Ayahnya Raden Pati Ariososroningrat merupakan Bupati Jepara pada tahun 1902.
Sedangkan Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro dijelaskan Kartini sebagai seorang Bupati pertama di Jawa Tengah. Ayah dan Kakek Kartini pun merupakan orang
yang sangat mementingkan pendidikan. Bahkan sebelum meninggal, Kakek Kartini sempat memberikan wejangan kepada anak-anaknya tentang pentingnya pendidikan. “Anak-anak, tanpa pengajaran kelak Tuan-tuan tiada akan
merasakan kebahagiaan. Tanpa
pengajaran kelak Tuan-tuan
akan memundurkan keturunan kita. Ingat kata-kataku ini”. Nasehat ini dibenarkan oleh Ayah Kartini dan saudara-saudaranya. Mungkin,
inilah awal mengapa Kartini bisa mencintai pendidikannya seperti yang tertulis
dalam buku ini.
Ayah Kartini memiliki selir dari
golongan rakyat jelata yang kebetulan menjadi ibu Kartini. Kebiasaan masa itu adalah
bahwa istri kesekian bangsawan yang berasal dari golongan kebanyakan, harus
dengan penuh kesadaran meninggalkan rumah kebangsawanan setelah melahirkan
anaknya. Ia juga tidak boleh
menemui anaknya sendiri, apalagi mantan suaminya. Kenyataan ini menjadikan Kartini hanya mengenal ayah sebagai
orangtuanya.
Kartini yang sempat menikmati pendidikan
sekolah Belanda, tentu menjadi keanehan pada
zaman itu. Apalagi, ia berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang sangat tidak
menganjurkan anak perempuan menikmati dunia luar sebelum masa kawinnya tiba.
Namun, jika dilihat lagi silsilah dari R.M. Ario Sosroningrat, ayah Kartini, hal ini tidak terlalu mengherankan.
Ayah Kartini berasal dari keluarga yang dikagumi di seluruh Jawa karena
keterpelajarannya. Namun, saat Kartini
menyelesaikan pendidikan sekolah rendahnya (setaraf dengan SD pada saat ini),
ayahnya tidak dapat terlalu jauh menuruti keinginan Kartini yang mencintai sekolahnya. R.M. Ario Sosroningrat adalah
bangsawan tinggi Jawa yang takut melawan
tradisi umum bahwa anak perempuan harus dipingit sampai ada calon suami yang
akan membawanya.
Pram menuliskan bahwa pingitan ini sangat
membuat Kartini menderita. Kartini sangat mencintai pendidikannya, namun ia tidak
dapat memungkiri bahwa rasa cinta kepada ayahnya juga sangat mendalam. Ayahnya adalah sandaran hidup satu-satunya. Kartini tidak ingin membuat ayahnya menderita hanya
karena tidak mematuhi perintahnya. Masa-masa itu juga
menjadi begitu sulit bagi Kartini karena seisi keluarga tidak memberikan kehangatan yang
diharapkan. Hanya dua adik tirinya, R.A. Kardinah dan R.A. Rukmini yang kelak menjadi dua teman seperjuangan R.A Kartini. Ayahnya sendiri tidak kurang-kurang
penderitaannya. Sebagai seorang terpelajar, tentu ia mengetahui bagaimana penderitaan puteri tercintanya.
Namun, kedudukan sebagai bangsawan tinggi tidak memungkinkannya untuk mengambil
tindakan hanya untuk kebahagiaan Kartini. Dilema inilah yang dijelaskan dengan sangat sempurna
oleh Pram. Tentang bagaimana seorang idealis seperti kartini harus
dihadapkan dengan realita yang mengharuskan kehilangan apa yang ia cintai, yakni pendidikan.[]
No comments:
Post a Comment