Resensi: Unfinished Nation - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Sunday, May 8, 2016

Resensi: Unfinished Nation

Judul Buku    : Unfinished Nation; Ingatan Revolusi, Aksi Massa dan Sejarah Indonesia
Penulis           : Max Lane
Penerbit         : Djaman Baroe
ISBN/BAN    : 978-979-18055-6-8
Terbit             : Desember 2014

Indonesia di Mata yang Berbeda

Unfinished Nation merupakan buku  yang menceritakan kehidupan indonesia sejak masa perjuangan hingga masa reformasi. Dikemas dengan padat, penulis berhasil menggambarkan masa – masa perjuangan masa kolonial, masa revolusi hingga masa reformasi. Penulis juga melihat perjuangan itu dari sisi yang berbeda. Penulis menggambarkan perjuangan tersebut dari sisi aktivis. Yang berbeda dari buku – buku sejarah yang ditulis oleh peneliti. Begitu digambarkan oleh Pradipto Niwandhono seorang pengajar sejarah di Universitas Airlangga.

Karyanya dimulai dengan menceritakan bagaimana kisah “Minke” seorang tokoh dalam Roman Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Anantatoer yang terinspirasi dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Max Lane menceritakan bagaimana perjuangan Minke pada masa kolonial Belanda dimana Bangsa Indonesia hanya menjadi orang terperintah dari pertuanan Belanda sekalipun itu  adalah seorang bangsawan ia tidak bisa berbuat apa – apa atas kehendak belanda. Namun Mingke yang adalah Tirtho Adhi Soerjo merupakan orang yang sadar akan keadaan dan berusaha untuk mengorganisir bangsanya  yang ia mulai dengan Sarekat Priyayi lalu beralih ke Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam. Karna menurutnya pedagang merupakan orang yang mempunyai sumber daya yang independent dan enklave dari kolonial belanda. Tirto Adhi Soerjo juga lah orang pribumi yang membuat koran yang dikelola oleh orang pribumi pertama kali. Koran Medan Prijaji yang merupakan alat propaganda tentang gagasan – gagasan atas kebangsaan melawan kolonialisme Belanda.
Max Lane ingin menceritakan kepada pembaca bahwa ternyata kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil dari perang – perang bersenjata para tentara dan hasil perjuangan politis para pendiri bangsa seperti yang diceritakan dalam buku – buku sejarah di sekolah - sekolah. Namun juga hasil dari pemogokan – pemogokan, aksi unjuk rasa yang dilakukan kaum buruh dan tani di Indonesia. dan kaum buruh dan tani juga mempunyai peranan penting dalam usaha indonesia merdeka. Dalam bukunya Max Lane menjelaskan bagaimana buruh perkebunan Sumatra, buruh pelabuhan Batavia dan petani di Jawa Barat Bangkit dan membentuk syarikat – syarikat untuk mobilisasi massa demi kepentingan mereka.
Selanjutnya buku ini bercerita mengenai gagasan – gagasan para pendiri bangsa yang juga melakukan perjuangan yang menggunakan media media seperti koran, poster, pidato - pidato dan rapat akbar sebagain senjata untuk menyebarkan gagasan revolusi. Sampai pada 17 Agustus 1945 Indonesia mencapai kemerdekaannya, walaupun kemudian harus berperang secara gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda.
Ketidak sukaan Max lane terhadap sistem Serikat pada Negara Indonesia yang baru merdeka terlihat ketika ia mengungkapkan bahwa sistem tersebut hanya menjadi peluang bagi Belanda untuk kembali merebut pengaruh melalui wilayah – wilayah yang mempunyai kedekatan dengan Belanda.
Pasca kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa yang baru berarti Indonesia harus menemukan konsep kenegaraannya. Masa inilah yang menjadi masa perang ideologi dari partai – partai muncul kepermukaan. Masyarakat Indonesia seperti apa yang akan diwujudkan?itulah debat politik merumuskan isu sentral kehadapan seluruh rakyat.. Organisai – organi sasai massa hampir semuanya berada di bawah partai politik, bahkan persatuan ibu rumah tangga, persatuan petani dan persatuan seniman juga berada dibawah partai politik dan masing – masing sering menunjukan cermin identitas politiknya. Soekarno dan sayap kiri yang terorganisasi mempunyai pandangan bahwa revolusi belum selesai karna ekonomi masih dalam cengkraman Belanda dan kepentingan imperialis barat secara umum. Pandangan tersebut ditentang oleh tentara, sayap kanan PNI dan partai – partai Islam besar yang menginginkan kerja sama dengan barat dan perusahaan – perusahaannya. Hingga perselisihan yang terjadi antara angkatan darat dan kelompok kiri yang menyebabkan pelengseran Soekarno yang sebelumnya membubarkan dan melarang PKI melakukan aktivitas politik dan juga membantai para anggota dan simpatisan dari PKI yang dituduh sebagai pemberontak dan ingin mengambil alih pemerintahan Indonesia.
Buku ini lebih banyak berbicara tentang pertikaian antara Angkatan Darat dan Soekarno bersama PKI yang dianggap memihak pihak kiri. Sampai pada Soekarno lengser dan Soeharto mengambil alih kepemimpinan negara melalui surat perintah sebelas maret (supersemar) setelah terjadi penculikan beberapa jendral yang diduga didalangi oleh PKI. Yang akhirnya membuat PKI dilarang dan dalam beberapa buku yang mendokumentasikannya menyatakan adanya pembunuhan masal yang dilakukan oleh ABRI dan ormas Islam sayap kanan yang diperkirakan mencapai korban 500 ribu hingga 2 juta orang. Teror yang diyakini penulis bukan saja harus dilihat untuk membabat habis sayap kiri yang terorganisir, PKI dan kelompok lainnya melainkan teror tersebut untuk mengakhiri revolusi nasional yang diyakini kelompok tersebut belum selesai.
Penulis menyebut gerakan tersebut dengan kontra revolusi gerakan dimana bukan saja untuk menghentikan suatu kelompok yang radikal namun juga semua gagasan – gagasannya yang revolusioner. Hal tersebut bisa dilihat ketika pada masa kepemimpinan Soeharto sebagai presiden yang disebut orde baru banyak ditemukan slogan – slogan kebencian terhadap PKI seperti “ganyang PKI”, Komunisme itu berarti anti tuhan, dan ajaran Marxisme dan leninisme juga dilarang pada massa itu. Dalam pelajaran – pelajaran sejarah pun diperlihatkan bahwa PKI adalah pengkhianat yang ingin menghancurkan bangsa indonesia. Film layar lebar yang mempropagandakan hal tersebut diwajibkan ditonton oleh pelajar dan ditayangkan setiap minggu. Bahkan keluarga atau bekas tahanan politik mempunyai simbol yang membedakan mereka dalam kartu tanda penduduknya (KTP). Suatu propaganda yang masif untuk menghapuskan sebuah ideologi di Indonesia yag dilakukan secara terorganisir dan menghapuskan ingatan sejarah tentang perjuangan mereka yang membantu mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

 Hal diatas merupakan sebagian kecil yang penulis sampaikan pada buku ini.  Penulis lebih banyak menceritakan  fenomena – fenomena di era orde baru baik tentang kebijakan politik dimana petani dan masyarakat sipil dilarang menjadi anggota partai politik manapun dan kegiatan politik mereka hanya dalam pemilu, penyatuan partai islam dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan setiap PNS diwajibkan  memilih Golkar yang notaben adalah partai penguasa, kebijakan yang dinamai “masa mengambang” hingga dwifungsi ABRI. maupun kebijakan ekonomi mulai dari mulai banyaknya investor asing yang datang dan menanamkan saham di Indonesia, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang banyak ditolak namun tetap dibangun hanya karna keinginan istri dari Soeharto hingga permasalahan korupsi yang marak di masa itu. Dan bagaimana sikap aktivis pada masa itu yang jatuh bangun baik mahasiswa maupun sastrawan yang menyampaikan kritik atas kebijakan – kebijakan tersebut mulai dari koran – koran, aksi – aksi dan teater unntuk menyadarkan masyarakat. Sampai 33 tahun mahasiswa bersama dengan masyarakat bisa menumbangkan rezim orde baru. 

No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages