Judul Buku : Unfinished Nation; Ingatan Revolusi, Aksi Massa
dan Sejarah Indonesia
Penulis : Max Lane
Penerbit : Djaman Baroe
ISBN/BAN : 978-979-18055-6-8
Terbit : Desember 2014
Penulis : Max Lane
Penerbit : Djaman Baroe
ISBN/BAN : 978-979-18055-6-8
Terbit : Desember 2014
Indonesia di Mata yang Berbeda
Unfinished Nation merupakan buku yang menceritakan kehidupan indonesia sejak masa perjuangan hingga masa reformasi. Dikemas dengan padat, penulis berhasil menggambarkan masa – masa perjuangan masa kolonial, masa revolusi hingga masa reformasi. Penulis juga melihat perjuangan itu dari sisi yang berbeda. Penulis menggambarkan perjuangan tersebut dari sisi aktivis. Yang berbeda dari buku – buku sejarah yang ditulis oleh peneliti. Begitu digambarkan oleh Pradipto Niwandhono seorang pengajar sejarah di Universitas Airlangga.
Karyanya dimulai dengan
menceritakan bagaimana kisah “Minke” seorang tokoh dalam Roman Tetralogi Buru
(Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) karya Pramoedya
Anantatoer yang terinspirasi dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Max Lane
menceritakan bagaimana perjuangan Minke pada masa kolonial Belanda dimana
Bangsa Indonesia hanya menjadi orang terperintah dari pertuanan Belanda
sekalipun itu adalah seorang bangsawan
ia tidak bisa berbuat apa – apa atas kehendak belanda. Namun Mingke yang adalah
Tirtho Adhi Soerjo merupakan orang yang sadar akan keadaan dan berusaha untuk
mengorganisir bangsanya yang ia mulai
dengan Sarekat Priyayi lalu beralih ke Sarekat Dagang Islam yang kemudian
berubah menjadi Sarekat Islam. Karna menurutnya pedagang merupakan orang yang
mempunyai sumber daya yang independent dan enklave dari kolonial belanda. Tirto
Adhi Soerjo juga lah orang pribumi yang membuat koran yang dikelola oleh orang
pribumi pertama kali. Koran Medan Prijaji
yang merupakan alat propaganda tentang gagasan – gagasan atas kebangsaan
melawan kolonialisme Belanda.
Max Lane ingin
menceritakan kepada pembaca bahwa ternyata kemerdekaan Indonesia bukan hanya
hasil dari perang – perang bersenjata para tentara dan hasil perjuangan politis
para pendiri bangsa seperti yang diceritakan dalam buku – buku sejarah di
sekolah - sekolah. Namun juga hasil dari pemogokan – pemogokan, aksi unjuk rasa
yang dilakukan kaum buruh dan tani di Indonesia. dan kaum buruh dan tani juga mempunyai
peranan penting dalam usaha indonesia merdeka. Dalam bukunya Max Lane
menjelaskan bagaimana buruh perkebunan Sumatra, buruh pelabuhan Batavia dan
petani di Jawa Barat Bangkit dan membentuk syarikat – syarikat untuk mobilisasi
massa demi kepentingan mereka.
Selanjutnya buku ini
bercerita mengenai gagasan – gagasan para pendiri bangsa yang juga melakukan
perjuangan yang menggunakan media media seperti koran, poster, pidato - pidato
dan rapat akbar sebagain senjata untuk menyebarkan gagasan revolusi. Sampai
pada 17 Agustus 1945 Indonesia mencapai kemerdekaannya, walaupun kemudian harus
berperang secara gerilya untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda.
Ketidak sukaan Max lane
terhadap sistem Serikat pada Negara Indonesia yang baru merdeka terlihat ketika
ia mengungkapkan bahwa sistem tersebut hanya menjadi peluang bagi Belanda untuk
kembali merebut pengaruh melalui wilayah – wilayah yang mempunyai kedekatan
dengan Belanda.
Pasca kemerdekaan
Indonesia sebagai bangsa yang baru berarti Indonesia harus menemukan konsep
kenegaraannya. Masa inilah yang menjadi masa perang ideologi dari partai –
partai muncul kepermukaan. Masyarakat Indonesia seperti apa yang akan
diwujudkan?itulah debat politik merumuskan isu sentral kehadapan seluruh
rakyat.. Organisai – organi sasai massa hampir semuanya berada di bawah partai
politik, bahkan persatuan ibu rumah tangga, persatuan petani dan persatuan
seniman juga berada dibawah partai politik dan masing – masing sering
menunjukan cermin identitas politiknya. Soekarno dan sayap kiri yang
terorganisasi mempunyai pandangan bahwa revolusi belum selesai karna ekonomi
masih dalam cengkraman Belanda dan kepentingan imperialis barat secara umum.
Pandangan tersebut ditentang oleh tentara, sayap kanan PNI dan partai – partai
Islam besar yang menginginkan kerja sama dengan barat dan perusahaan –
perusahaannya. Hingga perselisihan yang terjadi antara angkatan darat dan
kelompok kiri yang menyebabkan pelengseran Soekarno yang sebelumnya membubarkan
dan melarang PKI melakukan aktivitas politik dan juga membantai para anggota
dan simpatisan dari PKI yang dituduh sebagai pemberontak dan ingin mengambil
alih pemerintahan Indonesia.
Buku ini lebih banyak berbicara
tentang pertikaian antara Angkatan Darat dan Soekarno bersama PKI yang dianggap
memihak pihak kiri. Sampai pada Soekarno lengser dan Soeharto mengambil alih
kepemimpinan negara melalui surat perintah sebelas maret (supersemar) setelah
terjadi penculikan beberapa jendral yang diduga didalangi oleh PKI. Yang
akhirnya membuat PKI dilarang dan dalam beberapa buku yang mendokumentasikannya
menyatakan adanya pembunuhan masal yang dilakukan oleh ABRI dan ormas Islam
sayap kanan yang diperkirakan mencapai korban 500 ribu hingga 2 juta orang. Teror
yang diyakini penulis bukan saja harus dilihat untuk membabat habis sayap kiri
yang terorganisir, PKI dan kelompok lainnya melainkan teror tersebut untuk
mengakhiri revolusi nasional yang diyakini kelompok tersebut belum selesai.
Penulis menyebut
gerakan tersebut dengan kontra revolusi gerakan dimana bukan saja untuk
menghentikan suatu kelompok yang radikal namun juga semua gagasan – gagasannya
yang revolusioner. Hal tersebut bisa dilihat ketika pada masa kepemimpinan
Soeharto sebagai presiden yang disebut orde baru banyak ditemukan slogan –
slogan kebencian terhadap PKI seperti “ganyang PKI”, Komunisme itu berarti anti
tuhan, dan ajaran Marxisme dan leninisme juga dilarang pada massa itu. Dalam
pelajaran – pelajaran sejarah pun diperlihatkan bahwa PKI adalah pengkhianat
yang ingin menghancurkan bangsa indonesia. Film layar lebar yang
mempropagandakan hal tersebut diwajibkan ditonton oleh pelajar dan ditayangkan
setiap minggu. Bahkan keluarga atau bekas tahanan politik mempunyai simbol yang
membedakan mereka dalam kartu tanda penduduknya (KTP). Suatu propaganda yang
masif untuk menghapuskan sebuah ideologi di Indonesia yag dilakukan secara
terorganisir dan menghapuskan ingatan sejarah tentang perjuangan mereka yang
membantu mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Hal diatas merupakan sebagian kecil yang penulis
sampaikan pada buku ini. Penulis lebih
banyak menceritakan fenomena – fenomena
di era orde baru baik tentang kebijakan politik dimana petani dan masyarakat
sipil dilarang menjadi anggota partai politik manapun dan kegiatan politik
mereka hanya dalam pemilu, penyatuan partai islam dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan setiap PNS diwajibkan
memilih Golkar yang notaben adalah partai penguasa, kebijakan yang
dinamai “masa mengambang” hingga dwifungsi ABRI. maupun kebijakan ekonomi mulai
dari mulai banyaknya investor asing yang datang dan menanamkan saham di
Indonesia, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang banyak ditolak namun
tetap dibangun hanya karna keinginan istri dari Soeharto hingga permasalahan
korupsi yang marak di masa itu. Dan bagaimana sikap aktivis pada masa itu yang
jatuh bangun baik mahasiswa maupun sastrawan yang menyampaikan kritik atas
kebijakan – kebijakan tersebut mulai dari koran – koran, aksi – aksi dan teater
unntuk menyadarkan masyarakat. Sampai 33 tahun mahasiswa bersama dengan
masyarakat bisa menumbangkan rezim orde baru.
No comments:
Post a Comment