Kepadatan Lalu lintas di Jakarta \Orbitdigital.com |
*Oleh: Afzal Nur Iman
Seperti tahun –
tahun lalu setiap menjelang lebaran layar kaca rumah kita selalu ramai dengan
pemberitaan kemacetan para pemudik yang ingin pulang ke kampung halamannya.
Bahkan beberapa stasiun televisi memberikan tayangan khusus dalam beberapa jam
untuk membahas ramainya orang – orang yang sedang dalam perjalanan pulang ke
kampung halaman.
Mobil – mobil dan motor – motor yang biasanya bermacet –
macetan di ibu kota hampir semuanya keluar menuju daerah asal masing – masing
pemudik. Jalan – jalan Jakarta yang biasanya padat dengan kendaraan berubah
lengang ketika musim mudik tiba. Biasanya orang – orang yang pulang ke kampung
halamannya merupakan generasi pertama atau kedua yang merantau ke daerah
Jabodetabek. Orang – orang yang masih memiliki ikatan romantisme kepada daerah
tempat asalnya dan tentunya memiliki banyak kerabat atau famili disana.
Sebenernya bukan
hanya Jakarta yang menjadi rujukan orang – orang yang ingin merantau ke daerah
lain. Sebut saja DIY, Bandung, Bali dan Kep. Riau yang mempunyai tingkat urbanisasi tertinggi setelah DKI Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Tetap
saja kota – kota besarlah yang menjadi rujukan mereka pindah dari daerah
asalnya, ini yang sekarang kita sebut dengan urbanisasi perpindahan dari desa
menuju kota. Tapi Jakarta sebagai ibu kota Indonesia yang menjadi pusat bisnis
dan pemerintahan lah yang mempunyai tingkat urbanisasi tertinggi.
Jakarta dan daerah sekitarnya memang menjadi magnet yang mampu menarik para perantau untuk selalu datang. Kemacetan, maraknya penggususran dan Gubernur yang galak sekalipun tidak mampu menghentikan langkah mereka yang ingin merantau ke Jakarta. Terutama bagi mereka yang ingin mencari pekerjaan untuk mengubah nasib. Biasanya mereka datang ke Jakarta dan sekitarnya berbarengan dengan sanak atau keluarga yang kembali ke tempatnta tinggal setelah pulang kampung.
Dinas penduduk dan catatan sipil menunjukan pada tahun 2014 tingkat urbanisasi ke Jakarta tembus sampai 68.537 dan pada 2015 70.593 orang dan di prediksi tahun ini naik mencapai 71.000 orang. Dari data tersebut rata – rata 70% ingin mencari pekerjaan di Jakarta dan hanya 10% yang datang dengan alasan ingin melanjutkan pendidikan. DKI Jakarta menjadi provinsi yang paling padat penduduknya dengan jumlah penduduk sekitar sepuluh juta jiwa dan luas wilayah 664.01 Km2 atau 12.674/km2.
Siapa yang tidak ingin datang ke Jakarta kota metropolitan dengan gaya hidupnya yang modern, dengan segala sarana yang lebih lengkap, banyaknya industri dan perkantoran yang berarti banyaknya lapangan pekerjaan, banyaknya penduduk yang menjadi peluang untuk membuka usaha dan pendidikan yang katanya lebih berkualitas dengan segala fasilitasnya. Belum lagi iming – iming gaji dengan UMR Jakarta yang bisa jadi nilainya dua kali lipat dari daerah asalnya.
Realita bahwa tidak semua perantau yang sukses di Jakarta seperti tidak menjadi halangan untuk mereka yang ingin mengadu nasib. Apalagi ketika melihat tetangga atau sanak saudaranya yang sebelumnya telah lebih dulu merantau ke Jakarta dan membawa simbol – simbol kesuksesan ketika datang ke daerah asalnya.
Urbanisasi memang positif jika pemerintah bisa mengendalikannya. Jakarta juga membutuhkan banyak orang untuk menghidupi roda perekonomiannya dari mulai operator pabrik sampai pekerjaan yang memerlukan keahliah khusus, usaha kelas mikro sampai yang makro sangat membutuhkan banyak orang untuk kota sekelas Jakarta. Persaingan yang ketat juga sudah memicu bermunculannya usaha – usaha kreatif di Jakarta.
Positif jika urbanisasi masih dalam tingkat wajar dan dapat dikendalikan. Berbeda dengan di Jakarta yang tiap tahun sampai tahun ini terus mengalami peningkatan. Tingginnya urbanisasi di Jakarta tanpa diseimbangi terbukanya lapangan kerja juga menimbulkan banyaknya pengangguran baru.
Siapa yang mau berbagi rejeki? Terlebih di jakarta. Orang yang datang untuk merantau ke Jakarta bukan cuma orang yang telah memiliki persiapan sebelumnya seperti pekerjaan, keterampilah, dan rumah tinggal. Beberapa dari mereka justru datang hanya dengan bermodal nekat dan belum tau ingin berbuat apa setelah sampai di tempat tujuannya.
Biasanya orang yang sudah datang ke Jakarta enggan kembali ke daerah asalnya. Entah karena gengsi jika kembali tanpa membawa kesuksesan atau masih percaya bahwa mereka akan meraih kesuksesan di Jakarta. Bahkan yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau tempat tinggal, mereka memilih hidup susah di Jakarta daripada kembali ke daerah asalnya. Hal – hal tersebut yang telah lama dipercaya nantinya akan memicu kriminalitas di Jakarta dan kota besar lainnya yang menjadi tujuan urbanisasi.
Padatnya penduduk yang terpusat di kota besar pun menjadi masalah tersendiri. Banyaknya pemukiman kumuh yang ada di Jakarta misalnya telah membuat geram Gubernur DKI Jakarta yang kerap di sapa Ahok atau Basuki Cahya Purnama. Dalam surat kabar baru – baru ini Ahok berkomentar bahwa Jakarta akan terbuka bagi pendatang baru, siapa saja boleh datang ke Jakarta dan mencari nafkah di Jakarta asalkan pendatang baru tidak menempati atau membuat pemukiman baru yang dianggap kumuh.
Bukan hanya di Jakarta, jika tingginya laju urbanisasi tidak dikenddalikan daerah – daerah yang ditinggalkan juga akan menerima dampak negatifnya. Persebaran penduduk yang tidak merata misalnya dan tenaga kerja yang lebih memilih bekerja di kota besar akan membuat daerah asalnya tidak berkembang. Akhirnya kesenjangan kota dan desa akan semakin tinggi. Masalah urbanisasi memang masalah yang sudah tidak asing di telinga kita dan biasanya naik ke permukaan ketika musim mudik berakhir.
Danisworo berpendapat, pertumbuhan kota-kota besar yang liar masih dapat dikendalikan dengan merencanakan pengembangan kota ke luar. Di situ wilayah haruslah dijadikan sentral, artinya mengandung mekanisme yang mampu mengkoordinasikan jenis pembangunan di dalam kota utama dan di wilayah sekitarnya, terutama di pusat-pusat kegiatan di situ yang berpotensi untuk dikembangkan. Itulah yang disebut urbanisasi tersebar.
Pemerintah sendiri khawatir jika laju urbanisasi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Tak mau ditinggalkan, beberapa kepala daerah menghimbau penduduknya agar tidak meninggalkan daerahnya untuk mencari pekerjaan di daerah lain apalagi ketika belum memiliki pekerjaan tetap di tempat perantauannya. Dana desa yang diharap bisa mengurangi angka urbanisasi belum juga melihatkan dampaknya.
Pemerintah memang sepertinya sedang berupaya menekan laju urbanisasi yang tinggi. Pembangunan suprastruktur di daerah – daerah dan dana desa yang mencapai miliyaran rupiah diharapkan bisa membangun desa – desa, menciptakan lapangan pekerjaan dengan membuat badan usaha dan membangun infrastruktur mulai dari desa. Menyamaratakan pembangunan memang dipercaya menjadi solusi untuk menekan tingkat urbanisasi.
Namun Jakarta yang sudah gagah itu seperti juga tidak mau kalah untuk tetap membangun kotanya agar lebih megah. Bahkan Gubernur Jakarta ingin menambah luas lahan daerahnya dengan melakukan reklamasi di teluk Jakarta. Agar lebih banyak menyerap tenaga kerja katanya. Tentu daerah lain tidak akan mampu menyaingi perkembangan Jakarta yang telah terlebih dahulu menjadi kota metropolitan.
Sebenarnya tidak melulu harus memfokuskan untuk bersaing dengan Jakarta sebagai kota metropolitan. Jika di setiap daerah memiliki akses infrastruktur yang baik, layanan kesehatan dan pendidikan yang kualitasnya mampu bersaing pasti akan membuat masyarakat berpikir untuk meninggalkan daerahnya untuk mencari kehidupan yang layak. Disini peran pemerintah untuk memusatkan pembangunan ke daerah – daerah lain yang belum atau masih kurang tersentuh oleh pembangunan.
Bukan hanya menjadikan daerah lain sebagai pendukung Jakarta saja. Pemerintah jangan hanya bisa menyuruh masyarakat untuk mencintai daerahnya sendiri jika kelak cinta tersebut akan bertepuk sebelah tangan ketika nantinya daerah tersebut tidak bisa memberikan hidup yang layak.
Daerah – daerah lain harus kreatif memanfaatkan potensinya masing - masing agar mampu bersaing menarik orang datang ke daerahnya dan yang terpenting untuk menyamaratakan tingkat urbanisasi, agar persebaran penduduk bisa merata. DIY misalnya menawarkan daerahnya sebaagai kota pelajar untuk menarik orang – orang menempuh pendidikaan di daerahnya, dan Bali yang menawarkan pariwisatanya telah mampu berada di bawah Jakarta dalam tingkat daerah tempat urbanisasi.
Daerah lain perlu sepertinya untuk mencontoh kota – kota tersebut dalam memajukan sektor yang menjadi potensi di daerahnya. Jadi bukan memfokuskan untuk memberikan keterampilan pada orang yang ingin merantau di Jakarta tetapi memberi keterampilan masyarakat untuk mengembangkan potensi daerahnya masing - masing
Oleh:
Afzal Nur Iman
No comments:
Post a Comment