Nurcholish Madjid
(Ditulis pada tahun 1986, dari buku “HMI
Menjawab Tantangan Zaman”)
Sebetulnya
tidak ada masalah apabila kita sebagai orang muslim berpedoman pada ajaran
Islam, memandang segala segala sesuatu dari sudut ajaran Islam, termasuk
terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, kenegaraan Pancasila.
Saya
disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP, meskipun diformalkan oleh
Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun lalu. Jadi sebagai dokumen organisasi,
apalagi organisasi mahasiswa, NDP itu cukup tua. Oleh karena itu, ada teman
bericara tentang NDP dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak
mengatakan mengubah-mengembangkan dan sebagainya, maka saya selalu menjawab,
dengan sendirinya memang mungkin untuk diubah dalam anti dikembangkan.
Values
(nilai-nilai) tentu saja tidak berubah-ubah. Kalau disitu misalnya ada nilai
Tauhid, tentu saja tidak berubah-ubah. Akan
tetapi pengungkapan dan tekanan pada impliksi NDP itu mungkin bahkan
bisa diubah. Sebab, sepanjang sejarah, Tauhid wujudnya sama, yaitu paham pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah.
Kita
bisa lihat tekanan misi pada rasul-rasul, itu berubah. misalnya Isa Al-Masih
(Yesus Kristus) datang untuk mengubah Taurat. (Agar aku halalkan bagi kamu
sebagian yang diharamkan bagi kamu). Nabi Isa datang menghalalkan sebagian yang
haramkan pada Perjanjian Lama. Jadi, implikasi Tauhid itu berubah-ubah
mengikuti perkembangan zaman. Sebab itu juga menyangkut masalah interpretasi.
Pengungkapan nilai itu sendiri memang tidak mungkin berubah, tetapi harus
dipertahankan apalagi nilai seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan
mengubah tekanan dan implikasinya, maka ada ruang untuk
pengembangan-pengembangan. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK (lalu NDP
kembali). Pengembangan adalah tugas/pikiran yang sah dari adik-adik HMI. Maka
dari itu saya persilahkan, kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap
bidang ini.
NDP,
Kesimpulan Suatu Perjalanan
Saya
ingin bercerita sedikit. Mungkin ada gunanya walaupun cerita ringan saja. Yaitu
bagaimana NDP itu lahir.
Ahmad
Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam yang sangat kontroversial itu
menulis bahwa saya dalam tahun 1968 diundang untuk mengunjungi
universitas-universitas di Amerika yang waktu itu merupakan pusat-pusat
kegiatan mahasiswa. Dan kepergian saya ke Amerika itu mengubah banyak sekali
pendirian saya, begitu kata Wahib dalam bukunya itu, maaf saja, tidak benar.
Jadi di sini Ahmad Wahib salah. Memang perlawatan yang dimulai dan Amerika itu
banyak sekalii mempengaruhi saya, tetapi bukan pengalaman di Amerika yang
mempengaruhi saya, melainkan justru di Timur Tengah
Begini
ceritanya. Waktu itu terus terang saja sebetulnya pemerintah Amerika sudah lama
melihat potensi HMI disini (tentu saja pemerintah Amerika seperti yang diwakili
oleh Kedutaan Amenika di sini). Mereka sudah tahu situasi politik Indonesia
pada zaman Orde Lama, ketika Bung Karno mempermainkan atau sebetulnya boleh
saja dikatakan melakukan politik devide et impera, antara komunis dan ABRI terutama
AD. Bagaimana AD itu sangat banyak bekerja dengan kita. Ini banyak dibaca oleh
pemerintah seperti Amerika. Dan karena itu banyak sekali pendekatan-pendekatan
dari orang kedutaan Amerika itu ke PB
HMI. Sebetulnya sudah lama mereka menginginkan supaya ada tokoh-tokoh HMI yang
melihat-lihat Amerika, tetapi memang waktu itu beluin banyak orang yang bisa berbahasa Inggris, sehingga saya
menjadi orang mendapat kesempatan pertama.
Kunjungan
saya ke Amerika, sesuai dengan Undangan, hanya berlangsung satu bulan seminggu
atau satu bulan dua minggu. Sistemnya semua dijanim; ada uang harian, uang
perdien. Waktu itu dolar belum inflasi; sehingga uang yang saya peroleh cukup
besar, dan saya tentu bisa menghemat. Uang inilah yang saya pergunakan untuk keliling Timur Tengah. Saya lakukan
itu, secara sederhana.
Kita
di Indonesia selama ini selalu mengaku muslim dan mengklaim diri sebagai
pejuang-pejuang Islam. Untuk terlaksananya ajaran Islam, sekarang perlu melihat
sendiri bagaimana wujud Islam dalam praktik. Begitulah motif saya pergi ke
Timur Tengah. Meski kita tahu, Indonesia memang negara Muslim yang terbesar di
bumi, secara geografis paling jauh dari pusat-pusat Islam, yaitu Timur Tengah,
sehingga menghasilkan beberapa hal, misalnya Muslim Indonesia itu adalah termasuk
yang paling sedikit ter”arab”kan.
Barangkali
kita tidak menyadari banyak keunikan kita, sebagai bangsa Indonesia. Boleh
dikatakan inilah bangsa Asia satu-satunya yang menuliskan bahasa nasionalnya
dengan huruf latin. Semua bangsa Asia menggunakan huruf nasionalnya
masing-masing. Hanya kita yang menggunakan huruf latin. Filipina memang, tetapi
Filipina belum bisa mengklaim mempunyai bahasa nasional. Bahasa Tagalog masih
merupakan bahasa Manila saja.
Kemudian
Indonesia satu-satunya bangsa Muslim juga yang menggunakan huruf latin untuk
bahasa nasionalnya. Semua bangsa muslim itu menggunakan huruf Arab, kecuali
tiga: Turki disebabkan revolusi Kemal, Bangladesh karena seperti bangsa Asia
lain mempunyai huruf sendiri yaitu huruf Bengali dan Indonesia dikarenakan
penjajahan. Jadi kita itu unik. Dari sudut pandangan dunia Islam, Indonesia
unik. Inilah bangsa Muslim yang kurang tahu huruf Arab, kira-kira begitu.
Jangankan orang Islam Pakistan, Afganistan dan sebagainya, sedangkan orang
India yang Islamnya minoritas, di sana pun mereka menggunak huruf Arab untuk
menuliskan bahasa Urdu, bahasa mereka. Semuanya begitu. Dari situ saja boleh
kita ambil satu kesimpulan bahwa ke-Islaman di Indonesia itu masih demikian
dangkal sehingga masih ada persoalan yaitu bagaimana menghayati nilai – nilai
Islam itu. Itulah yang mendorong saya pergi ke Timur Tengah.
Waktu
saya hendak ke Amerika, saya merasa ogah-ogahan. Akan tetapi biarlah barangkali
dari Amerika saya bisa ke Timur Tengah. Oleh karena itu biarpun di Amerika,
sudah kontak dengan orang-orang dari Timur Tengah, yang kelak ketika saya ke
Timur Tengah memang banyak sekali yang menolong saya. Kunjungan saya ke Timur
Tengah saya mulai dari Istanbul,
kemudian ke Libanon. Waktu itu tentu saja Libanon masih aman. Lalu ke Syiria,
kemudian Irak, sehingga baru pertama kalinya saya bertemu Abdurrahman Wahid.
Dia yang menyambut. Karena terus terang,
walaupun sama-sama orang Jombang, saya belum pernah kenal. Karena keluarga saya
Masyumi, keluarga dia NU. Jadi baru
bertemu di Baghdad. Dia baik sekali,
mengorganisir teman-teman Indonesia untuk mengambil dan menemani saya ke
stasiun bus dari Damaskus. Lalu saya ke Kuwait, dari Kuwait ke Saudi Arabia
melalui Tmur. Banyak sekali kenangan di situ. Ketika di Riyadh, saya bertemu
seseorang yang pernah saya kenal sejak di Amerika, Dr. Farid Mustafa, seorang
tokoh, Doktor Engineering. Itulah satu-satunya pengalaman saya menjadi tamu
keluarga Arab, di sini kalau makan siang dan malam semua keluarga ikut termasuk
istri. Biasanya orang Arab tidak demikian. Saya tinggal satu minggu di situ dan
berkenalan dengan banyak pelarian Ikhwanul Muslimin.
Kita
mengetahui, Ikhwanul Muslimin umumnya beranggotakan orang-orang Mesir dan
orang-orang Syiria. Mereka dikejar-kejar oleh rezim yang ada di negaranya
masing-masing, dan kebanyakan larinya ke Saudi Arabia. Bukan untuk mendapatkan
kebebasan politik, karena di Saudi Arabia sendiri mereka tidak mendapatkan
kebebasan politik. Karena orang Saudi juga tidak suka terhadap sikap politik
mereka. Akan tetapi dari segi ilmu pengetahuan mereka banyak sekali dihargai.
Mereka kemudian menjadi staf pengajar di
Universitas Riyadh. Sejak dari Istanbul
saya banyak sekali mengadakan diskusi kritis. Tentu saya tidak mau hanya
mendengarkan saja, tapi juga membantah, menanyakan dan menentang, termasuk
menentang dan segi literatur.
Di
Turki saya sampai berkenalan dengan suatu gerakan yang betul-betul di bawah
tanah, yang di Istanbul mereka itu bergerak untuk membangkitkan Islam, tetapi
dengan cara-cara yang menurut sebagian kita agak kedengaran sedikit kolot.
Yaitu melalui sufisme atau gerakan-gerakan tarekat. Suatu malam Dr. Mustafa di
Riyadh mengajak saya ke Universitas Riyadh; ke Fakultas Farmasi yang akan
mengadakan wisuda tamatan Fakultas Farmasi, dimana Menteri Pendidikan hadir,
yaitu Syekh Hasan bin Abdullah Ali Syekh keturunan Muhammad bin Abdul Wahab,
salah seorang pelopor pembaharuan di Arabia yang anak turunannya selalu menjadi
Menteri bidang pengetahuan seperti Menteri Pendidikan, Menteri Ilmu Pengetahuan
dan sebagainya di Saudi Arabia.
Saya
tidak tahu apa yang terjadi, pokoknya Dr. Mustafa mengenalkan saya secara
berbisik-bisik kepada Menteri, lalu Menteri itu minta supaya saya menceritakan
tentang gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia. Setelah saya ceritakan, tentu
saja dengan bahasa Arab -Alhamdulillah saya sedikit banyak tahu bahasa Arab
karena belajar di pesantren Gontor, sebuah proyek gabungan antara sistem
pendidikan Sumatera Barat (KMI-nya) dan Jawa (pesantrennya) yang saya kira
menjadi proyek yang sangat sukses yang sekarang berkembang di mana-mana.
Menteri itu demikian senangnya dengan keterangan saya, lalu mengundang 10 orang teman kita, HMI,
untuk naik haji tahun itu juga. Selanjutnya, dari Riyadh saya ke Madinah, terus
ke Mekkah, kemudian ke Kharthum untuk bertemu dengan Dr. Hasan Turabi dari Umin
Durman University, tokoh yang sekarang menjadi pusat perhatian di Sudan, oleh
karena dia konseptor dari Islamisasinya Numeiry yang sekarang jatuh
digulingkan. Dari situ saya pergi ke Mesir, kemudian kembali ke Libanon dan
dari situ ke Pakistan.
Pokoknya
dari semua tempat itu saya mengadakan diskusi macam-macam. Dan konklusinya
begini: saya kecewa terhadap tingkat intelektualitas kalangan Islam di Timur
Tengah saat itu. Sehingga saya lalu ingat Buya Hamka, ketika suatu saat Buya
minta izin kepada K.H. Agus Salim untuk pergi ke Timur Tengah, belajar. Jawab
K.H. Agus Salim seperti yang dimuat dalam Gema Islam dahulu dan sebagainya,
“Malik, kalau kamu mau pergi ke Mekkah atau Timur Tengah, boleh saja. Kamu akan
fasih berbahasa Arab barangkali. Tetapi paling-paling kamu akan jadi lebai,
kalau pulang. Tetapi sebaliknya kalau kamun ingin mengetahui Islam secara
intelek, lebih baik di sini. Belajar sama saya.” Dan saya setuju dengan
pendapat K.H. Agus Salim.
Padahal
di sini, di Indonesia, kita sudah bergumul dengan Marxisme, dengan macam-macam
di sini. Indonesia adalah tempat pergumulan ideologi yang paling seru pada
zaman Orde Lama, dan kita survive. Kita sudah biasa berdialog dengan orang –
orang komunis dengan forum-forum mereka, bukan forum-forum kita. Oleh karena
itu kita lebih banyak terlatih dari pada orang-orang yang saya temui di
negara-negara Timur Tengah berkenaan dengan cara melihat apa yang paling
relevan dalami Islam yang harus kita kembangkan. Sampai-sampai waktu di Riyadh,
dengan Dr. Mahmud Syahwi namanya, salah satu tokoh Ikhwanul Muslim, ketika saya
merasa jengkel dengan kekecewaan saya, saya bilang begini saja, “Dari pada Anda
kuliahi saya dengan macam-macam yang tidak masuk akal saya, lebih baik anda kasih
saya bahan bacaan yang menurut anda paling penting dan kalau saya membacanya
saya mendapat jawaban”. Lalu saya diberi buku berjudul Majmu Rasail Hasan
Al-Banna, kumpulan tulisan risalah-risalah Hasan Al-Banna, yang waktu itu buku
terlarang di Saudi Arabia. Buku itu diberikan kepada saya, sambil
mewanti-wanti, “jangan sampai ketahuan orang Saudi, karena kalu ketahuan,
Saudara akan mengalami kesulitan, ditahan dan sebagainya. “ Akan tetapi saya
senang sekali menerima buku itu dan kemudian saya baca.
Waktu
di Mekkah saya menggunakan waktu paling banyak dua minggu, saya baca semuanya.
Akan tetapi maaf saja, saya tidak mendapat kelebihan dari tulisan-tulisan orang
itu. Ya, dengan segala kekaguman saya kepada Hasan Al-Banna, tetapi harus
banyak sekali tidak setuju dengan isinya. Slogan-slogan loyalistik itu
kebanyakan. Jadi isinya slogan-slogan loyalistik. Bukan pemecahan masalah. Oleh
karena itu, saya tidak merasa begitu sesuai dengan buku itu. Kemudian di Mekkah
saya berusaha untuk mengkhatamkan al-Qur’an dengan terjemahan dalam bahasa
Inggris untuk pengecekan. Kemudian setelah melakukan berbagai diskusi tadi,
saya lihat beberapa hal yang relevan untuk kita. Sampai sekarang al-Qur’an itu
saya simpan dan saya coreti dengan komentar-komentar saya.
Kemudian
saya ke Sudan dan pulang. Dan ketika mendengar janji Menteri Pendidikan Saudi
Arabia untuk naik haji itu saya memang diingatkan oleh Dr. Mustafa, orang di
ibukota Riyadh itu. “Ini janji Arab,” katanya. “Oleh karena itu, anda harus
rajin menagih”. Jadi, ketika sampai di Mekkah, saya mengirimkan surat. Saya
sampai di Madinah, juga begitu. Dan akhirnya alhamdulillah, terealisir.
Akhirnya Januari 1969 saya pulang ke Indonesia untuk kemudian sibuk untuk
merealisir janji dari Mentri Pendidikan Saudi Arabia itu untuk naik haji yang
waktu itu jatuh bulan Maret. Berarti Cuma ada waktu satu bulan, jadi habislah
waktu saya untuk menyiapkan teman-teman naik haji. Sampai di sana, semua teman
ikut sakit karena tidak cocok dengan makanan kecuali saya. Kebetulan saya sudah
terbiasa dengan masakan orang sana. Sampai Zaitun yang disebut di dalam
Al-Qur’an saya makan. Karena perlu diketahui bahwa buah walaupun tidak enak dan
agak pahit bagi yang belum biasa gizinya tinggi sekali dan dapat menghilangkan
rasa mual sebagainya. Dan saya mendapat service dan seseorang di kedutaan San
Fransisco, seorang novelis yang terkenal di Amerika bernama John Ball, yang
salah satu bukunya difilmkan dan mendapat hadiah besar. Dia mengatakan begini,
“Saudara harus tahu, berkat Zaitun inilah orang Yunani dahulu berfilsafat.
Karena Zaitun itu tanaman yang tahan lama sekali dan tetap berbuah.” Pohon itu
bisa ribuan tahun bertahan, dengan buahnya yang begitu tmggi, sehingga orang
Yunani itu dulu boleh dikatakan tidak lagi memikirkan masalah sumber gizi yang
tinggi. Cukup menanam zaitun saja dan sampai sekarang zaitun merupakan komoditi
yang penting negara-negara seperti Italia Yunani dan sebagainya.
Setelah
pulang dan haji, saya ingin menulis sesuatu tentang nilai-nilai dasar Islam.
Seluruh keinginan saya untuk bikin NDP saya curahkan pada bulan April, untuk
bisa dibawa ke Malang pada bulan Mei. Jadi NDP itu sebetulnya merupakan
kesimpulan saya dan perjalanan yang macam-macam di Timur Tengah selama tiga
bulan lebih itu. Jadi sama sekali salah kalau Ahmad Wahib mengatakan itu adalah
pengaruh kunjungan di Amerika. Begitulah singkatnya cerita. Namanya saja NDP,
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan. Tentu saja bahannya itu macam-macam. Saya ingin
menceritakan, mengapa namanya NDP. Sebetulnya teman-teman pada waktu itu dan saya
sendiri berpikir untuk memberikan nama NDI, Nilai-Nilai Dasar Islam, Akan
tetapi setelah saya berpikir, kalau disebut Nilai-Nilai Dasar Islam, maka klaim
kita akan terlalu besar. Kita terlalu mengklaim inilah Nilai-nilai Dasar Islam.
Oleh karena itu, lebih baik disesuaikan dengan aktivitas kita sebagai
mahasiswa. Lalu saya mendapat ilham dari beberapa sumber. Pertama adalah Willy
Eicher, seorang ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman yang membikin buku, The
Fundamental Values and Basic Demand of Democratic Socialism. Nilai-nilai Dasar
dan Tuntutan-tuntutan Asasi Sosialisme Demokrat. Nah, ini ada “nilai-nilai
dasar”. Kemudian “perjuangan”-nya dari mana ? Dan karya Syahrir mengenai
ideologi sosialisme Indonesia yang termuat dalam Perjuangan Kita. Dan ternyata
Syahrir juga tidak orisinal. Dia agaknya telah meniru dari buku Hitler, Mein
Kampf. Jadilah Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) itu. Kemudian saya bawa ke
Malang, ke Kongres IX, Mei 1969. Tetapi di sana tentu saja agak sulit
dibicarakan karena persoalannya demikian luas hingga tidak mungkin suatu
Kongres membicarakannya. Lalu diserahkan pada kami bertiga; Saudara Endang
Saifudin Anshari, Sakib Mahmud dan saya sendiri. Nah, itulah kemudian lahir
NDP, yang namanya diubah lagi oleh Kongres ke-16 HMI menjadi NIK (Nilai
Identitas Kader).
Inti
NDP : Beriman, Berilmu, Beramal
Kalau
teman-teman melihat NDP, tentu saja dibagi-bagi menjadi beberapa bagian. Yang
pertama “Dasar kepercayaan”, Kemanusiaan”, “Kemerdekaan Manusia”, “Ikhtiar dan
takdir”. ini tentu saja banyak sekali unsur dan tulisan H. Agus alim; Filsafat
tentang Tauhid, Takdir dan Tawakal misalnya. Kemudian “Ketuhanan Yang Maha Esa
dan Perikemanusiaan”, lalu “Individu dan Masyarakat”, “Keadilan Sosial” dan
“Keadilan Ekonomi”, “Kemanusiaan dan Ilmu pengetahuan”, lalu kesimpulan dan
penutup. Saya tidak akan menerangkan semua isi NDP. “Dengan demikian sikap
hidup manusia menjadi sangat sederhana. Yaitu beriman, berilmu dan beramal”. Ya
biasa, kalau suatu ungkapan yang sudah menjadi klise, itu tidak menggugah apa-apa.
Apa makna beriman, berilmu, beramal, saya kira itu telah menjadi kata-kata
harian.
Saya
kira hidup beriman, tentu saja personal, pribadi sifatnya. Setiap manusia itu
harus menyadari, tidak bisa tidak harus punya nilai. Oleh karena itu iman
adalah primer. Iman adalah segalanya.
Oleh karena iman disitu adalah sandaran nilai kita. ini kemudian diungkapkan
secara panjang lebar dalam bab Dasar-dasar Kepercayaan. Kenapa manusia memiliki
kepercayaan. Di situ, misalnya, kita menghadapi satu dilema; satu dilema pada
manusia, yang dikembangkan dalam Syahadat La illaha ilallah. Tiada Tuhan
melainkan Allah. Di sini kita bagi dalam dua, nafyu dan itsbat. Artinya negasi
dan afirmasi. Jadi tidak ada Tuhan melainkan Allah. Mengenai soal ini, saya
pernah
Karena
itu sebenamya, di Indonesia kata Allah itu
diterjemahakan menjadi kata Tuhan. Menurut saya bisa. Khomeini saja bisa
kok, mengapa kita tidak bisa. Itu Yusuf bisa, bahkan itu diterbitkan oleh
Rabitah Alam Islami. Jadi tiada Tuhan dengan t kecil (tuhan), kecuali Tuhan itu
bisa. Waktu itu saya tidak tahu, bahwa Buya Hamka pernah menerangkan hal ini,
sehingga ketika saya terlibat dalam polemik itu ada seorang teman yang bersuka
rela memberikan kepada saya copy dari polemik Buya Hamka dengan seseorang melalui
surat menyurat. Dan sekarang sudah diterbitkan dalam sebuah buku, yaitu Hamka
Menjawab Masalah-masalah Agama.
Dalam
psikologi agama ada yang disebut convert complex. Convert artinya orang yang
baru saja memeluk agama. Lalu kompleks, perasaan sebagai agamawan baru.
Misalnya, di masyarakat ada saja bekas tokoh yang kurang senang pada agama,
lalu menjadi fundamentalistik sekali.
Nah,
karena tradisi intelektual kita itu begitu muda, begitu rapuh, kita sering
kehilangan jejak. Kemudian bingung. Ada cerita menyangkut dua orang Minang: H.
Agus Salaim dan Sutan Takdir Alisyahbana. Sudah tahulah Takdir Alisyahbana,
seorang yang mengaku sebagai orang yang modern dan sangat rasionalistik, oleh
karena itu, dia pengagum Ibnu Rusd. Dia selalu bilang, dunia ini kan persoalan
pertengkaran antara Ghazali dan Ibnu Rusd. Karena di dunia Islam Ghazali yang
menang dan di dunia Barat Ibnu Rusd yang menang, maka akhirnya Ibnu Rusd yang
menjajah Ghazali. Jadi Indonesia dijajah Belanda itu sebetulnya Ghazali dijajah
Ibnu Rusd, menurut Takdir Alisyahbana. Karena apa? Ghazali mewakili mistisisme,
intuisisme, sedangkan Ibnu Rusd mewakili rasionalisme.
Ada
betulnya juga, meskipun tidak seluruhnya. Suatu saat pak Takdir konon menggugat
H. Agus Salim. Katanya begini, “Pak Haji, pak haji ini kan orang terpelajar
sekali, masa masih biasa sembahyang. Artinya, kok masih mempercayai agama?”
Lalu dibilang oleh H. Agus Salim, “Maksud saudara apa ?“. “Maksud saya, sebagai
orang terpelajar saya tidak nembenarkan sesuatu kecuali kalau saya paham
betul”. Betul, memang begitu. Qur’an sendiri menyatakan begitu. Akan tetapi
begini, kita kan terbatas, karena terbatas kalau rasio kita sudah pol begitu,
maka sebagian kita serahkan kepada iman.” Jadi nasalah iman itu adalah bagian
dari pada hidup dan itu adalah kewajiban dari pada rasional kita. Rupanya
Takdir belum puas dengan jawaban itu. Lalu Salim membuat jawaban yang lucu dan
benar. Dia bilang begini, “Begini aja deh, Takdir kan orang Minang. Kan suka
pulang ke Minagkabau, pulang ampung, naik apa?”“naik kapal” jawab Takdir.
Rupanya waktu itu belum bisa naik pesawat, pesawat belum begitu banyak. “Nah
kata Agus Salim, “Kamu naik kapal itu menyalahi prinsipmu “Kamu tidak akan
menerima sesuatu kecuali kalau paham seluruhnya. Jadi asumsinya, kalau kamu naik
kapal, adalah kalau sudah paham tentang seluruhnya yang ada dalam kapal itu.
Termasukbagaimana kapal dibikin, bagaimana menjalankannya bagaimana kompasnya,
bagaimana ini dan sebagainya. Nah begitu ketika kamu menginjakkan kaki ke
geladak kapal Tanjung Priok, itu kan sudah ada masalah iman. Kamu percaya
kepada nakhoda, kamu percaya kepada yang bikin kapal ini bahwa ini nanti tidak
pecah di Selat Sunda dan kamu kemudian tenggelam. Percaya, percaya dan semua
deretan kepercayaan
Agus
Salim melanjutkan, “Sedikit sekali yang kamu ketahui tentang kapal.
Paling-paling bagaimana tiketnya dijual di loketnya saja yang kamu tahu.
Pembuatan tiket juga kamu tidak tahu” katanya. Lalu Salim bilang begini,
“Seandainya kamu konsisten dengan jalan pikiran kamu hai Takdir, mustinya kamu
pulang ke Minang itu berenang. Ya, begitu, sebab berenang itu yang paling
memungkmkan usahamu. Itu saja masih banyak sekali masalah. Bagaimana gerak
tangan kamu saja mungkin kamu tidak paham,” katanya. Lalu ini yang menarik,
“nanti kalau kamu berenang, di Selat Sunda kamu di ombang-ambing ombak dan kamu
akan berpegang pada apa saja yang ada. Dalam keadaan panik, kamu akan berpegang
pada apa saja yang ada. Untung kalau kamu ketemu balok yang mengambang. Akan
tetapi kalau kamu ketemu ranting, itupun akan kamu pegang. Ketemu barang-barang
kuning juga kamu pegang”. Itu kata Agus Salim.
Nah
inilah yang saya maksudkan. Dalam keadaan panik orang sering kehilangan jejak,
sering kita berpegang kepada suatu masalah secara harga mati. Padahal itu
ranting, kalau kita pegang akan tenggelam lagi kita nanti. ini maksud saya.
Jadi kembali lagi pada laa ilaaha illa-Allah di sini memang ada diIema.
Dilemanya, sebagaimana sudah menjadi kenyataan, manusia itu hidup tidak mungkin
tanpa kepercayaan. Terlalu banyak Tuhan. Itu problemanya. Jadi sebetulnya kalau
kita membaca al-Qur’an, problemnya itu bukan bagaimana membikin manusia percaya
pada Tuhan, tetapi bagaimana membebaskan manusia dari percaya kepada terlalu
banyak Tuhan. Karena itu memang ada tema ateisme dalam al-Qur’an yaitu
dahriyyah tapi kecil sekali. Ateisme itu satu hal yang tidak mungkin. Justru
yang ada dan sangat banyak terjadi pada manusia ialah politeisme. Problema
manusia sebetulnya bukan ateisme yang utama, tetapi politeisme. Oleh karena itu
tema-tema al-Qur’an itu yang dicerminkan dalam perkataan laa ilaaha ila-Allah,
ialah usaha dan ajaran menghancurkan politeisme. Dan kalau nenghancurkan
politeisme kita pergunakan politeisme dalam bahasa sekarang, akan berbunyi,
“bebaskan dirimu dan belenggu-belenggu yang menjerat dirimu sendiri.” Sebab
semua kepercayaan dan sistem kepercayaan itu membelenggu. Tetapi kalau manusia
tidak memiliki kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin. Oleh karena itu
harus ada kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga
tidak membelenggu kita, bahkan nenyelamatkan kita. Itulah kepercayaan kepada
Allah, satu-satunya Tuhan, yang Allah ini adalah the High God, Tuhan Yang Maha
Tinggi. Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu Allah lain dengan Zeus dan Indra yang
merupakan mitologi. Orang Yunani kono itu dulu percaya pada Zeus. Dan Zeus itu
nama dewa dalam mitotologi mereka. Orang Mesir, Ra, kemudian orang India,
Indra.
Jadi
masalahnya begini, manusia ini tidak mungkin hidup kecuali kalau mempunyai
kepercayaan. Akan tetapi kalau terlalu banyak yang dipercayai, akan menjerat
manusia sendiri, dan tidak akan banyak membuat kemajuan. Sementara itu manusia
tidak mungkin hidup tanpa kepercayaan. Oleh karena itu dari sekian banyak
kepercayaan harus disisakan yang paling benar, yaitu la ilaaha ha-Allah ini.
Ini keterangan yang banyak sekali, akan tetapi saya mau meloncat sedikit kepada
isolasi agama.
Agama
Islam itu satu rumpun dengan agama Yahudi dan Kristen yang disebut agama
Ibrahim. Nah, kita masih mewwarisi ajaran Nabi Ibrahim, yaitu Inni Wajjahtu
wajhia lillàd Fatharassamawati wal ardha, Hanfam muslima wama ana minal musyri
kin. Itu suatu pernyataan Ibrahim setelah “eksperimennya” dalam mencari Tuhan.
Itu dalam aI-Qur’a yaitu ketika Ibrahim melihat bintang itu hilang, dia bilang,
ah, tidak mungkin Tuhan kok tenggelam, ini bukan Tuhan.. Setelah melihat bulan,
kemudian mendapatkan matahari itu lebih besar. Dia pun bilang inilah Tuhan.
Pokoknya setelah eksperimen melalui bintang, bulan, matahari, yaitu
gejala-gejala aIam. Kalau di sini ada masalah pembebasan, masalah negatif,
masalah karena manusia itu cenderung untuk menjadikan apa saja yang memenuhi
syarat sebagai misteri/sebagai Tuhan; sesuatu yang mengandung misteri, sesuatu
yang mengandung kehebatan sesuatu yang mengandung rasa ingin tahu. Kalau sebuah
gunung yang setiap kali meletus dan membawa bencana tidak bisa diterangkan oleh
orang, maka mereka melihatnya sebagai misteri dan kemudian menyembahnya. Inilah
akar tentang syirik sebetulnya.
Jadi,
syirik itu sebetulnya kelanjutan mitologi. Barangkali kita sudah mempelajari
bagaimana lahirnya mitologi. Oleh karena
itu, mitologi secara bahasa lain boleh dikata sebagai kecenderungan manusia
untuk menuju sesuatu yang tidak dipahami. Begitulah kira-kira. Pemimpin yang
kita agung-agungkan, akhirnya berkembang menjadi mitologi terhadap pemimpin
kita itu. Nah, kalau kita menganut mitologi, maka suatu mitos itu pasti
menjerat kita. Kalau misalnya, kita memitoskan gunung, maka tertutup
kemungkinan bagi kita mempelajari apa sebetulnya hakikatnya. Gunung itu mengandung sebuah kekuatan misterius, yang
setiap kali meletus akan menghancurkan sekian banyak orang, sawah ladang dan
sebagainya. Oleh karena itu pendekatan kita kepada gunung itu mengarah kepada pendekatan
keagamaan; disembah. Nah, itulah ontoh mitologi yang menyeret kita.
Jadi
artinya, suatu mitologi menutup kemungkinan suatu objek untuk diteliti secara
ilmiah. Seorang ahli vulkanologi misalnya, melihat itu sebagai sesuatu yang
biasa, tidak lagi mengandung misteri. Begitulah kira-kira. Sebab untuk syarat
sebagai tuhan haruslah misteri, tidak bisa dipahami. Jangan lupa bahwa kita
masih banyak mewarisi mengapa hari itu tujuh. Dan Tuhan itu diandaikan
bintang-bintang atau benda-benda langit. Jadi yang paling besar adalah
matahari, kemudian yang kedua adalah rembulan, kemudian bintang seperti mars,
venus dan sebagainya. Itu sebabnya kemudian orang-orang Babilonia menyediakan
setiap hari satu tahun. Nah, itu masih bisa dilihat sampai sekarang. Misalnya
namanya dalam bahasa Inggris, seperti Sunday, itu artinya hari matahari. Waktu
itu orang menyembah matahari. Monday artinya hari rembulan. Kalau dalam bahasa
Francis itu lebih kentara lagi: Mardi (hari Mars), Mercredi (hari
Merkurius), Jeuvi (hari Jupiter),
vendredi (hari Venus), Saturday (hari saturnus).
Baru
ketika bangsa Semit, bangsa Semit yang sudah bertahuhid yang dimulai oleh
Ibrahim mengambil alih, mitos itu dihapus dan kemudian nama hari yang tujuh
diganti dengan angka. Ahad, Senin, Selasa, itu maksudnya satu, dua, tiga, dst.
tapi hari Sabtunya tetap dipertahankan. Jadi artinya kalau Ibrahim dahulu itu
ada pikiran atau usaha begitu, ada pikiran untuk menyembah bintang, itu
sebetulnya karena ia memang orrang Babilonia. Tapi kemudian lihat
kesimpulannya, ketika matahari tenggelam, dia bilang “ah masa tuhan tenggelam“.
Nah, lalu diapun bilang, “Inni wajjahtu wajhia lilladzi tharassamaawaati wal
ard”. Sesungguhnya akau menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi ini. Jadi, “Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan rembulan,
tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya.”
Nah,
jadi meskipun matahari itu sampai sekarang belum seluruhnya kita pahami,
artinya masih mengandung misteri, ada potensi untuk paham. Karena itu matahari
tidak akan memenuhi syarat sebagai Tuhan, karena suatu saat akan dipahami
manusia. Begitu juga seluruh alam ini. Di situlah kita bisa melihat mengapa
Allah menjanjikan: “Kami akan perlihatkan tanda-tanda-Ku seluruh cakrawala dan
dalam diri mereka sendiri, sehingga terlihat bagi mereka bahwa Allah itu
benar”. Artinya, orang akan haqqul yaqin bahwa Allah itu benar bila seluruh
alam ini sudah dipahami, bisa dipahami, sehingga tidak tersisa misteri lagi.
Dengan perkataan lain bahwa Allah itu Allah, oleh karena itu yang tidak bisa
dipahami manusia. Tuhan itu adalah yang tidak mungkin dipahami manusia, dan
sebetulnya konteks ketuhan menurut Tauhid itu adalah konteks mengenai misteri,
laisa kamislihi syai’un (tiada sesuatu yang sebanding dengan Dia). Jadi Dia
tidak bisa digambarkan, tidak dapat dipahami. Sebab Allah itu mutlak. Perkataan
memahami Tuhan itu kontradiksi inter- minus. Sebab memahami berarti mengetahui
batas-batasnya. Jadi, kalau memahami Tuhan berarti sudah apriori bahwa Tuhan
terbatas, terjangkau oleh kita.
Oleh
karena itu, kalau Allah itu memang mutlak, maka dia tidak dapat dipahami.
Sebetulnya ini kontroversi yang lama di kalangan umat Islam. Yaitu antara
Mu’tazilah dan Asy’ary mengenai isu mengenai apakah manusia itu bisa melihat
Tuhan atau tidak, di surga nanti. Menurut Mu’tazilah tetap tidak bisa,
sedangkan menurut asy’ariyah bisa, meskipun selalu ditutup dengan bila kaifa,
tanpa bagaimana. Jadi sebetulnya antara keduanya tidak ada perbedaan. Kalau
tanpa bagaimana berarti tanpa bisa diketahui sendiri. Mengetahui tanpa bisa
diketahui. Mengetahui tanpa bisa mengetahui bagaimana mengetahui itu. Itu bila kaifa dari sistem Asy’ariyah yang banyak
dianut sebagian dari kita yang berpaham Sunni.
Yang
jelas adalah bahwa dalam al-Qur’an, ajaran yang dominan itu bukan tentang
mengetahui Tuhan, tapi mendekati Tuhan. Jadi taqarrub itu, mendekati Tuhan.
Allah asal tujuan dan segala yang ada dalam hidup ini. Oleh karena itu,
perjalanan hidup kita sebetulnya menuju kepada Allah. Maka dari itu sebutlah di
sini dalam bahasa yang sedikit kontemporer: kesadaran mengorientasikan hidup
kepada Allah. Oleh karena itu, seluruh perbuatan kita haruslah Lillahita‘ala.
Jadi justru harus menuju pada Allah Subhanahu Wata’ala. Dan ini yang kita
ingkapkan dengan berbagai ungkapan, termasuk ridha, ridha Allah. Dalam al-Qur’an
disebutkan “mencari muka Tuhan”. Jadi kita itu memang mencari muka, yaitu
mencari muka Tuhan, artinya bagaimana melakukan sesuatu yang berkenan pada
Tuhan, mendapatkan ridha-Nya.
Kita
menuju kepada Allah, jadi selalu mendekat, taqarrub kepada Allah. Nah, kita
mendekati Tuhan itu adalah dinamis; iman itu dinamis, bisa berkurang dan bisa
bertambah. Artinya dinamis, sebab manusia itu dengan segala keterbatasannya
kemungkinan besar dia membuat kesalahan. Oleh karena itu dia harus mengikuti
garis yang lurus membentang antara dirinyya dan Allah, yaitu Al-shshirot
al-mustaqiim. Jalan yang lurus, lurus itu terhimpit dengan hati nurani kita,
dengan fitrah kita. Sudah banyak sekali diterangkan dalam NDP tentang peranan
hati nurani yang kadang-kadang disebut juga dhamier dan sebagainya itu.
Dhamier, fitrah atau hati nurani itu adalah kesadaran yang dalam pada diri kita
tentang apa yang baik dan buruk, dan apa yangbenar dan salah. Itu tentu saja tidak bisa dibiarkan sendinian,
tapi harus ditolong oleh suatu ajaran. Di sini kemudian ajaran agama untuk
menguatkan apa yang ada pada hati nurani. Oleh arena itu menurut Ibnu Taymiyyah
agama itu tiada lain adalah fitrah yang diwahyukan, atau fitrah yang
diturunkan. Selain ada fitrah yang diciptakan pada diri kita, juga ada fitrah
yang diwahyukan. Itulah agama. Jadi artinya agama itu adalah fitrah yang
diturunkan dari langit oleh Allah Subhanahu Wataala, untuk memperkuat fitrah
yang ada dalam diri kita sendini. Mungkin teman-teman juga pernah mendengar
Robinson Crusoe.
Robinson
Crusoe adalah novel yang dikarang Daniel Deboe, menceritakan tentang seseorang
yang terdampar di pulau dan hidup sendiri dengan segala romantikanya. Itu sebetuInya adalah plagiat dari seorang filsuf
muslim, namanya Ibn Thufayl Yaitu suatu karya yang namanya Al-Hay Ibnu,
Yaqdzan. ” Orang Hidup, Anak kesadarannnya sendiri.”. Ini sebetulnya sebuah
kisah filosofis berdasarkan konsep tentang fitrah itu. Karena manusia itu —
seperti dikatakan oleh hadits “alwaladu yuladu ‘ala al-fitrah ‘ dilahirkan
dalam keadaan suci. Maka seorang filsuf Muslim ini membuat hipotesa kalau
seandainya manusia itu hidup dengan konsisten mendengarkan kesadarannya sendiñ
dan bebas dan polusi budaya, polusi kultural (orang ini dikatakan bagai hidup
di sebuah pulau sendirian). Kalau orang ini masih seperti itu, dia akan menjadi
manusia sempurna: insan kamil, maka sebetulnya novel ini yang berurusan dengan
persoalan insan kamil dalam konsep sufi itu. Inilah yang diplagiat oleh Daniel
Deboe dan menjadi Robinson Crusoe. Sebetulnya ada urusannya dengan fitrah mi.
Jadi
fitrah itu kemudian diperkuat oleh agama. Nah agama ini yang kemudian memberi
kesadaran tentang bagaimana Allah itu harus dipersepsi, misalnya dengan
ayat-ayat dan Tauhid dan sebagainya itu. Dan manusia harus berjalan pada jalan
ini menuju kepada Allah. Tapi karena Allah itu mutlak, maka Dia bakalan tidak
bisa dicapai. Kita tidak akan bisa mencapai Tuhan dalam arti menguasai. Sebab
itu akan berarti Tuhan itu terbatas. Jadi kontradiksi lagi dengan pemutlakan
Tuhan. ini mempunyai implikasi bahasa kebenaran yang ada pada benak manusia itu
tidak pernah merupakan kebenaran mutlak, sebab keterbatasan kita. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa kebenaran yang ada dari kita itu lalu kita buang begitu
saja, karena relatif. Itu tidak bisa tidak.
Misalnya saja kita dan Jakarta ini mau ke Bandung. Tentu saja sebagai analogi, Bandung menjadi
tujuan kita. Tapi dari Jakarta tidak bisa begitu saja kita loncat ke Bandung.
kita harus melalui Cibinong, melalui Bogor, melalui Puncak dan sebagainya. Nah
itulah yang kita alami dalam hidup, yaitu Cibinong, Bogor, Cianjur, sampai
Padalarang dan sebagainya. Akan tetapi tidak berarti karena itu kita tahu
Cibinong bukan Bandung maka sudahlah kita tak usah ke Cibinong karena tujuannya
Bandung. Soalnya ialah Bandung tidak bisa dicapai, kecuali melalui Cibinong.
Kebenaran mutlak tidak bisa dicapai kecua1i dengan eksperimen relatif, kecuali
dengan mengalami kebenaran-kebenaran relatif. Jadi kebenaran relatif apa pun
yang kita alami, itu harus kita pegang, tetapi karena pada waktu yang sama kita
tahu bahwa ini kebenaran yang relatif, maka kita harus nemegangnya sedemikian
rupa sehingga harga tidak mati. karena kita tahu Cibinong bukan tujuan kita,
Cibinong harus kita lewati, tetapi kita harus segera menuju Bogor, segera
menuju ke Puncak, ke Padalarang dan seterusnya.
Nah,
oleh karena itu dinamis. Di sini lalu kemudian bergerak terus menerus. Itulah
sebabnya mengapa agama itu, agama Islam terutama, selalu dilukiskan sebagai
jalan. Ini penting sekali. Kita melihat,
agama Islam itu dulu selalu disebut sebagai jalan. Shirat itu artinya jalan.
Kalau ada dongeng al-shirot al-mustaqim itu adalah titian rambut dibelah tujuh
yang membentang dintara dunia dan surga dan di bawahnya api neraka, itu berasal
dari Persi, dan agama Zoroaster. Kemudian tadi syari’ah itu juga jalan.
Kemudian ada lagi, maslak itu juga jalan. Jadi agama itu dilukiskan sebagai
jalan oleh karena mendekati Tuhan itu tidak harus sekali jadi, tetapi harus
berproses. Dalam proses inilah pentingnya ijtihad. Maka dari itu kemudian
ijtihad harus terus menerus dilakukan. Karena, Tuhan tidak pernah bisa untuk
dicapai tapi kita harus dituntut untuk mendekatkan diri pada Fuhan, semakin
dekat, maka ada proses dinamis, dan itu jadi ijtihad.
SebetuInya
akar ijthad itu ia1ah j, h, dan d. Jadi sama dengan jihad. Satu akar kata
dengan jihad. Satu akar juga dengan juhd, juga dengan mujahadah, yang semua itu
sebetulnya sama dengan jihad. Jadi mengandung makna bekerja keras, bekerja
dengan sungguh-sungguh. Mujahadah. Lalu di sini, “walladziina jaahadu fina
lanah diyannahum subulana “, Barang sia bersungguh-sungguh berusaha untuk
mendekatai Tuhan, maka akan Tuhan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan. Nah
kebetulan ke Cibubur ini tadi saya melewati Jagorawi sedikit Jagorawi ini jalan
ashshirotolmustaqim, tetapi di situ banyak jalur. Misalnya yang sudah matang dalam Islam, itu
ada jalur sufi, jalur fiqh, dll. Orang yang versi ke-Islamannya itu sufisme
apakah anda akan mengatakan bahwa orang-orang sufi itu sesat? Saya kira kita
tidak berhak mengatakan begitu. Ada yang persepsinya kepada Islam itu hukum.
Jadi,
masalah agama adalah masalah hukum. Ada yang persepsinya teologis,
mutakallimun, ada yang persepsinya masalah filsafat dan banyak sekali
jalan-jalannya menuju Tuhan ini. Juga disebutkan, jalan menuju Tuhan itu
subulussalam “berbagai jalan menuju keselamatan”. Mengapa begitu’ .Jadi dengan
iman kita mengorientasikan hidup kita kepada Allah Inna lillahi wainna ilaihi
rojiun.
Kemudian,
berilmu, karena perjalanan menuju Allah itu meskipun mengikuti al-shirot
al-mustaqim dan berhimpit dengan hati nurani kita, tapi disitu ada masalah
perkembangan. OLeh karena itu harus berilmu, harus mujahadah. Jihad atau
mujahadah di sini ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Semua itu tentu saja
tidak mempunyai arti apa-apa, sebelum kita amalkan, kita wujudkan dalam ama! perbuatan itu. Maka dari
itu ideologi misalnya, tidak bisa menjadi mutlak. Ideologi itu berkembang, ilmu
pengetahuan pun berkembang, tidak ada yang benar-benar mutlak. Lihat saja itu
dulu, pada zaman sahabat, itu tidak ada sifat dua puluh. Maka sifat dua puluh
itu muncul oleh Asy’ari oleh karena ada persoalan yaitu bagaimana membendung
pengaruh dari hellenisme melalui filsafat Yunani, yang pada waktu itu mulai
gejala mengancam Islam itu sendiri. Maka kemudian dia tampil dengan sifat dua
puluh itu.
Saya
terangkan begitu, dengan kata lain kita harus menyejarah, bersatu dengan suatu
konsep historis dan karena itu kita menjadi dinamis, terus berkembang, tidak
ada yang harga mati. Oleh karena itu, orientasi hidup kepada Allah yang dalam
bahasa agamanya beriman kepada Allah itu sering kali dalam al-Qur’an itu
dikontraskan dengan beriman kepada Thaghut. Thaghut itu siapa? Thaghut itu
tiada lain adalah tirani, sikap-sikap tirani. Tiranisme. Kenapa disebut tirani?
Yang disebut tirani dah sikap memaksakan suatu kehendak kepada orang lain. Oleh
sebab itu, Nabi atau Rasulullah sendiri sudah diingatkan, kamu jangan jadi
tiran. “Innama anta muzakkir, lasta alaihim biimushaitir” Hai Muhammad, kamu
itu cuma memperingatkan, tidak untuk mengancam orang, memaksa orang. Muhammad
itu manusia biasa, maka itu suatu saat juga tergoda untuk memaksakan pahamnya
kepada orang lain. Lalu Allah pun turun dengan Firmannya yang berat sekali pada
surat Yunus ayat 101. “Kalau seandainya Tuhanmu mau hai Muhammad, menghendaki
semua manusia tanpa kecuali akan beriman, apakah kamuu akan memaksa setiap
orang supaya menjadi beriman?” Tidak boleh, sebab walaupun dia rasul Allah,
kalau dia sudah memaksa, dia sudah terjerembab ke dalam tirani. Thaghut. Tentu
saja tirani yang paling berbahaya ialah tirani politik. Artinya tirani yang
asasi betul. Oleh karena itu tokoh simbol dari pada tiranisme dalam al-Qur’an
itu selalu Fir’aun. Agama Islam adalah agama yang sama sekali tidak membenarkan
tirani, oleh karena itu salah satu konsekuensi berorientasi hidup kepada Allah
itu adalah sikap-sikap demokratis, sikap bermusyawarah dan sebagainya. Jadi,
begitu kira-kira cakupan seluruhnya itu. Titik berat argumen dalam NDP itu
sebetulnya demikian. Di dalam NDP kita tidak berbicara mengenai bagaimana orang
sholat, bagaimana orang zakat dan sebagainya, tetapi kita membatasi pembicaraan
kepada hal-hal prinsipil dan strategis, yaitu nilai-nilai dasar yang akan
langsung mempengaruhi cara berpilkir kita, pandangan hidup kita
No comments:
Post a Comment