PENGANTAR ATAS
PEMAHAMAN TERHADAP NILAI-NILAI DASAR PERJUANGAN
HMI
OLEH : SAKIB MACHMUD
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) adalah
dokumen organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang dtetapkan dalam Konggres HMI
ke 9 di Malang, Jawa Timur, pada tahun 1969.
Naskah tersebut memuat pertelaan
mengenai asas HMI yaitu Islam, dan tata cara serta rambu-rambu dalam
memperjuangkan asas tersebut dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
Perjuangan menegakkan asas harus dilakukan oleh HMI sebagai organisasi maupun
oleh para kadernya.
Tentu saja naskah NDP yang singkat bukan
keterangan tentang Islam secara keseluruhan. Dia adalah pengantar untuk
memahami Islam dan implementasinya di dalam beberapa bidang kehidupan, terutama
yang berkenaan dengan dunia kemahasiswaan. Naskah ini berawal dari konsep NDP
yang disusun oleh Ketua Pengurus Besar HMI masa itu, Nurcholish Madjid dan
dipresentasikan kepada para peserta Konggres, di dalam Komisi Khusus NDP.
Banyak masukan dari peserta, yang merupakan tambahan, usul perubahan dan
sebagainya. Selanjutnya Kongres menetapkan tiga orang Panitia Perumus yaitu
Nurcholish Madjid, Endang Saefuddin Anshari dan Sakib Machmud. Hasil rumusan
disampaikan dalam Seminar Kader di Pekalongan tahun 1970, kemudian
disosialisasikan oleh PB HMI dan menjadi materi wajib dalam setiap tahapan
perkaderan.
Saya, Sakib Machmud, adalah seorang anggota
perumus NDP yang masih dikaruniai umur oleh Allah SWT sampai saat tulisan ini
disusun. Yang saya sajikan ini bukan naskah NDP yang menjadi milik organisasi
HMI, tetapi interpretasi dan penjabaran saya pribadi terhadap NDP. Karena yang
dirumuskan dalam NDP adalah Islam, menurut pendapat saya perlu dikemukakan
kepada kalangan yang lebih luas selain di lingkungan HMI sendiri. Maka dengan
tanggung jawab pribadi, saya sampaikan pemahaman saya terhadap NDP. Pemahaman
terhadap delapan bab NDP tersebut insya Allah akan saya sampaikan, yaitu:
1. Dasar-dasar Kepercayaan
2. Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan
3. Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal
4. Ketuhanan YME dan Kemanusiaan
5. Individu dan Masyarakat
6. Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
7. Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
8. Kesimpulan dan Penutup.
Saya berharap tulisan ini diterima dengan
lapang hati oleh siapapun yang berniat untuk menambah wawasan dalam memahami
Islam.
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia yang merupakan paduan raga dengan
jiwa, memerlukan kepercayaan tentang berbagai hal di dalam hidupnya. Orang
perlu percaya bahwa yang duduk di sebelahnya tidak akan mencelakakan dirinya.
Orang perlu percaya bahwa gedung atau rumah yang sedang atau akan dimasukinya
tidak akan runtuh menimpa dirinya. Orang perlu percaya bahwa jantungnya akan
terus berdetak, darahnya selalu mengalir ke seluruh tubuh membawa berbagai zat
yang diperlukan dan mengangkut sisa-sisa pembakaran untuk dibuang.
Orang perlu percaya bahwa selalu ada oksigen yang dihirupnya, bahwa orang yang mengaku ibunya benar-benar yang mengandung dan melahirkan dirinya, dan sebagainya. Tanpa kepercayaan demikian orang akan selalu resah dan berada dalam ketidakpastian. Sejalan dengan pikiran dan perasaannya yang terus berkembang, orang perlu dan dapat percaya bahwa matahari yang muncul dan terbenam, angin yang berhembus, pohon yang tumbuh, berbunga dan berbuah, terjadi karena ada yang menjadikan dan mengaturnya. Maka orang yang menggunakan nalar dan perasaannya akan sampai kepada kepercayaan tentang Tuhan. Biolog Julian Huxley menyatakan bahwa dalam diri manusia ada kepercayaan yang kuat kepada Tuhan. Psikolog pemenang hadiah Nobel Carl Gustav Jung menerangkan bahwa percaya kepada Tuhan merupakan kecenderungan yang alamiah.
Orang perlu percaya bahwa selalu ada oksigen yang dihirupnya, bahwa orang yang mengaku ibunya benar-benar yang mengandung dan melahirkan dirinya, dan sebagainya. Tanpa kepercayaan demikian orang akan selalu resah dan berada dalam ketidakpastian. Sejalan dengan pikiran dan perasaannya yang terus berkembang, orang perlu dan dapat percaya bahwa matahari yang muncul dan terbenam, angin yang berhembus, pohon yang tumbuh, berbunga dan berbuah, terjadi karena ada yang menjadikan dan mengaturnya. Maka orang yang menggunakan nalar dan perasaannya akan sampai kepada kepercayaan tentang Tuhan. Biolog Julian Huxley menyatakan bahwa dalam diri manusia ada kepercayaan yang kuat kepada Tuhan. Psikolog pemenang hadiah Nobel Carl Gustav Jung menerangkan bahwa percaya kepada Tuhan merupakan kecenderungan yang alamiah.
Apa yang semestinya dipercaya oleh setiap orang?
Tidak lain kecuali kebenaran! Orang memerlukan kepercayaan tentang Tuhan,
tetapi Tuhan yang dipercayainya itu harus benar-benar Tuhan yang mencipta,
mengatur, menguasai seluruh yang ada termasuk manusia sendiri. Ada ilmuwan yang
menganjurkan orang agar percaya kepada Tuhan, apapun kepercayaan itu, karena
kepercayaan demikian baik bagi dirinya. Pikiran demikian tidak logis. Orang
perlu percaya tetapi pada saat yang sama juga perlu kebenaran. Maka orang harus
mengusahakan kepercayaan yang benar itu, dengan seluruh kemampuan yang ada pada
dirinya.
Karena kepercayaan kepada Tuhan itu diperlukan
oleh setiap orang, kenyataan menunjukkan bahwa ada berbagai kepercayaan tentang
tuhan, yang juga disebut dewa serta sebutan lainnya, yang dianut oleh
masyarakat. Penganut keyakinan kepada dewa-dewa itu hidup di berbagai tempat
dan kurun waktu.
Tuhan dengan berbagai sebutannya itu dipercayai sebagai yang
mencipta, mengatur atau menguasai keseluruhan atau sebagian dari proses dan
kejadian di alam ini. Karena kedudukan para dewa itu, orang memujanya menaruh
harapan dan minta tolong kepadanya. Ada dewa-dewa alam (matahari, bulan,
gunung, lautan, pohon besar), ada dewa-dewa kemanusiaan (pahlawan, pemimpin
besar suatu bangsa), ada dewa-dewa keluarga (ayah, kakek, leluhur), ada
dewa-dewa penguasa suatu bidang kegiatan manusia (dewa perburuan, dewa cinta,
dewa perang).
Setiap kepercayaan melahirkan tata nilai, yang
dianut dan ditaati oleh penganutnya. Kepercayaan tentang "penunggu
gunung" menjadikan masyarakat tidak mengganggu gunung itu, tidak
mengekspoitasi potensi-potensi yang terdapat di dalamnya tanpa "ijin"
penunggunya. Kepercayaan kepada dewa perang mendorong para pemujanya untuk
"memenuhi keinginan sang dewa" dengan terus menyerbu musuh-musuhnya.
Dan sebagainya. Kepercayaan yang salah menimbulkan adat dan tradisi yang keliru
dan merugikan. Karena itu sebagaimana yang telah dikemukakan, kepercayaan yang
dianut harus benar, karena kepercayaan yang benar melahirkan perilaku individu
dan sosial yang menguntungkan manusia, bukan hanya yang menjadi pelakunya
tetapi juga lingkungannya, bahkan generasi-generasi sesudahnya.
Ajaran Islam diawali dengan syahadah
(pernyataan keyakinan), yang terdiri atas dua ucapan, disebut syahadah tauhid
dan syahadah Rasul. Keduanya merupakan Rukun Iman yang pertama. Syahadah tauhid
berbunyi Asyhadu anlaa ilaha illallah – Aku menyatakan kebenaran yang aku
yakini sepenuh hati, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dengan perkataan laa
ilaha seorang mukmin menolak mengakui kepercayaan apapun yang tidak benar.
Kalimat illallah menegaskan bahwa kepercayaan yang dia anut dan diyakini
sebagai benar hanyalah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Allah SWT. Seluruh
sikap dan perbuatan seorang mukmin didasarkan kepada kalimah syahadah yang
diikrarkannya itu. Dia tidak akan menyembah apapun dan siapapun selain Allah.
Dia menyerahkan keputusan tentang hidup matinya, sehat dan sakitnya, kaya atau
miskinnya, kepada Allah. Dia menegaskan kata hatinya: الْعَالَمِينَ رَبِّ لِلَّهِ وَمَمَاتِي وَمَحْيَايَ وَنُسُكِي صَلاتِي إِنَّ – Sesungguhnya shalatku, amal ibadahku, hidup dan matiku,
hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. [QS Al-An'am (6): 162]. Seorang mukmin
akan senantiasa patuh kepada ketetapan-ketetapan Allah.
Iman kepada Allah merupakan fitrah manusia,
bawaan manusia sejak berada di rahim ibu. Secara metaforik dikemukakan di dalam
Al-Quran, Allah bertanya kepada semua janin: بِرَبِّكُمْ أَلَسْتُ – Bukankah Aku ini
Tuhanmu? Mereka menjawab: بَلَى شَهِدْنَا – Benar, kami menjadi saksi akan hal itu. [QS Al-A'raf
(7):172]. Jadi iman kepada Allah itu telah ditanamkan oleh Allah sendiri ke
dalam diri manusia. Tetapi kemudian dalam perkembangan akal dan emosinya, orang
lupa. Maka dia perlu dan harus "me-recall" keyakinan dasarnya itu
dengan dua cara: dzikir dan tafakur. Dzikir adalah mempertajam kepekaan rasa
dengan mengingat dan menyatakan apa yang diingatnya tentang Allah, dengan cara
yang diajarkan-Nya kepada manusia. Tafakur adalah mengunakan akalnya untuk
berpikir tentang lingkungan alam, lingkungan masyarakat, dan dirinya sendiri,
sehingga sampai pada keyakinan yang mantap tentang Allah Swt. Orang yang sampai
pada tataran yakin disebut Ulul Albab. Mereka mengekspresikan suara hatinya: رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ – Wahai Tuhan kami, tidak Engkau jadikan segala sesuatu ini
dengan sia-sia. Semua serba harmonis dan serba bermanfaat. Maka jauhkan hati
kami dari pikiran-pikiran sesat yang menjerumuskan kami ke dalam adzab neraka.
Manusia karena fitrahnya dan dengan penjelajahan
akal dan perasaannya, dapat mengenali adanya Tuhan. Tetapi hanya dengan usaha
sendiri dia tidak dapat mengerti siapa Tuhan itu, di mana tempat-Nya, bagaimana
sifat-sifat-Nya, apa yang Dia kehendaki untuk dilakukan oleh manusia, dan
sebagainya. Seandainya Tuhan tidak memberi tahu hal-hal yang sangat diperlukan
manusia tersebut, orang pasti tersesat sehingga menemukan tuhan-tuhan yang
bukan Tuhan. Maka dengan kasih-Nya yang agung serta kebijaksanaan-Nya yang
sempurna Dia berkenan memberi informasi yang cukup tentang diri-Nya, kepada
manusia.
Dengan kekuasaan-Nya yang tidak berbatas,
Tuhan tentu dapat menyampaikan informasi-Nya kepada manusia dengan cara yang
"dahsyat", seperti melalui suara yang menggelegar sehingga terdengar
oleh semua orang menurut bahasa mereka masing-masing, atau tertulis di langit
dengan sangat jelas, menggunakan huruf dan bahasa yang berbeda-beda. Tetapi
sekiranya cara itu yang Dia gunakan, tentu tidak sesuai dengan penerima
informasi, yaitu manusia yang berakal sehingga diberi keleluasaan untuk
menerima atau menolak petunjuk Tuhan tersebut. Maka Tuhan menurunkan keterangan
dan petunjuk-Nya melalui pribadi- pribadi yang dipilih dan ditetapkan di antara
manusia sendiri. Informasi tersebut Dia wahyukan kepada Nabi (penerima wahyu),
selanjutnya sang penerima bertindak sebagai Rasul (utusan) untuk meneruskannya
kepada umat. Dengan prosedur demikian orang dapat menerima keterangan Allah
secara jelas, sesuai dengan sifat-sifat dasar yang ada pada manusia. Rasul
Allah mengemban tiga tugas, yaitu menyampaikan wahyu, menerangkan hal-hal yang
dianggap belum jelas dari teks wahyu serta memberikan rinciannya, dan
menjadikan diri sebagai uswatun hasanah – suri teladan kebaikan, yaitu dalam
melaksanakan petunjuk Tuhan tersebut dalam kehidupan nyata [QS Al-Ahzab
(33):21].
Karena yang memerlukan petunjuk itu semua
orang, yang hidup di berbagai tempat dan kurun waktu, maka Tuhan menurunkan
banyak sekali Rasul. Al-Quran menyatakan: وَلِكُلِّ أُمَّةٍ رَسُولٌ – dan tiap-tiap umat
mempunyai Rasul. [QS Yunus (10):47]. وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ – dan bagi tiap-tiap
kaum ada yang memberinya petunjuk. [QS Ar-Ra'd (13):7]. Tuhan tidak memberi
tahu jumlah Rasul yang telah diutus-Nya, kecuali sebagian saja. Mengenai hal ini Al-Quran menerangkan: وَرُسُلا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ - Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu. [QS An-Nisa (4);164]. Rasul yang terakhir
sehingga Risalah yang disampaikannya masih dan akan tetap berlaku adalah
Muhammad Saw. Maka syahadah kedua seorang Mukmin adalah Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah – Aku meyakini sepenuh hati bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Berbeda dengan syahadah tauhid yang menyatakan
tidak ada Tuhan selain Allah, syahadah Rasul hanya menekankan bahwa Muhammad
merupakan salah seorang dari Rasul Allah. Ada Rasul-rasul lain, di antaranya 25
yang diterangkan dalam Al-Quran. Semua mereka harus diyakini sebagai utusan
Allah. Ayat 152 surah 4 An-Nisa menerangkan, orang-orang yang pasti mendapat
pahala dari Allah adalah: وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ – orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di
antara para Rasul itu. Agama yang disampaikan Muhammad Saw bukan agama baru
tetapi kelanjutan dari agama-agama yang disampaikan Rasul-rasul terdahulu.
Seandainya ajaran beliau-beliau masih dapat ditemukan dalam bentuk aslinya,
umat Muhammad wajib mengimaninya. Tetapi fakta menunjukkan bahwa tidak ada
keterangan Rasul terdahulu yang masih utuh sampai saat ini. Maka yang wajib
diimani umat Muhammad hanyalah yang disampaikan oleh Rasul penghabisan
tersebut, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Manusia sangat memerlukan pengetahuan tentang
Allah dan Dia berkenan memberi informasi yang diperlukan manusia. Dia
menerangkan informasi yang paling pokok: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ – Katakanlah bahwa Dia Allah itu Maha Esa. الصَّمَدُ اللَّهُ – Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ – Dia tidak berputera dan tidak diputerakan. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ – dan tidak ada
sesuatupun yang setara dengan Dia. [QS Al-Ikhlas (112):1-4]. Sebelum sebutan
"Allah" diperkenalkan, terlebih dahulu digunakan perkataan Rabb –
Pengatur, Pembina, Pemelihara segala sesuatu. [QS QS Al-Alaq (96):1,
Al-Muddattsir (74:3]. Maka karena kedudukan Allah sebagai Penguasa seluruh
makhluk, Dia menjadi satu-satunya Ilah – sesembahan manusia dan makhluk berakal
lainnya.
Allah yang menjadi Rabb seluruh alam,
menetapkan aturan-aturan bagi tiap bagian alam dan interaksi antara unsur-unsur
alam sehingga terwujud harmoni yang indah dan bermanfaat. Dia menetapkan bumi
berputar mengelilingi matahari dengan kecepatan 107 ribu kilometer sejam. Dia
menetapkan matahari memancarkan energi sebesar 389 juta miliar miliar watt
setiap detik. Dia menetapkan bahwa air mendidih pada temperatur 100 derajat
Celsius di bawah tekanan 76 cm air raksa, dan membeku pada suhu nol derajat
Celcius tekanan yang sama. Khusus untuk manusia Allah Swt menurunkan
aturan-aturan yang tidak dipaksakan tetapi ditawarkan untuk diimani dan
dilaksanakan dengan suka rela, atau ditolak. Nabi Muhammad Saw menerima penegasan
Allah: لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ - Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. [QS Al-Baqarah (2):256]. Allah memberi arahan kepada
Rasul mengenai jawaban terhadap orang-orang bertanya kepada beliau: وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ - Dan katakanlah
(wahai Rasul): "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa
yang ingin (beriman) hend aklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir" [QS Al-Kahfi (18):29]. Tentu saja pilihan bebas setiap
orang untuk beriman atau kafir membawa konsekuensi bagi dirinya. Yang beriman
dan memenuhi konsekuensi imannya itu mendapatkan pahala yang luar biasa
indahnya, yang ingkar dan berbuat buruk menerima hukuman yang luar biasa
pedihnya.
PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG
KEMANUSIAAN
Setelah menerangkan diri-Nya, Allah
membicarakan hakekat dan posisi manusia sebagai salah satu jenis makhluk-Nya.
Manusia dinyatakan sebagai تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ – sebaik-baik ciptaan, tetapi predikat ini dapat berubah
drastis menjadi سَافِلِينَ أَسْفَلَ – seburuk-buruk makhluk. [QS At-Tin (95):4-5]. Derajat setiap
orang bergantung kepada takwanya. Allah menandaskan: إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ – Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah
yang paling takwa di antara kamu [QS Al-Hujurat (49):13]. Takwa adalah
kesadaran akan eksistensi Allah yang tunggal, keagungan Allah yang tidak ada
bandingnya, kekuasaan Allah yang tidak berbatas. Maka orang yang takwa selalu
berusaha dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk melaksanakan semua
perintah Allah dan menghindari setiap larangan-Nya.
Pada awalnya manusia diposisikan di tempat
yang mulia. Allah SWT menegaskan hal ini: وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ - Dan sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan. وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا - Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
cipta [QS Al-Isra (17):70]. Dalam posisi itu manusia bahkan lebih mulia
dibanding malaikat. Manusia, yang direpresentasikan oleh Adam, tidak
diperintahkan untuk memberi penghormatan kepada malaikat, tetapi sebaliknya:
malaikat diharuskan sujud (menghormat) Adam. [QS Al-A'raf (7):11]. Tetapi dalam
keadaan yang buruk karena mendurhakai Allah, manusia bahkan lebih rendah dari
binatang. أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ - Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [QS Al-A'raf
(7):179].
Kelebihan dasar manusia adalah kemampuan
akalnya yang tinggi. Maka manusia diberi dua fungsi yaitu sebagai 'Abdullah –
hamba Allah, dan Khalifatullah fil ardhi – petugas Allah dalam mengelola bumi.
Kedua fungsi itu harus dijalani bersama-sama. Orang taat kepada Allah dengan
mengatur kehidupan di bumi, dan mengatur kehidupan di bumi dengan bersandar
kepada hukum-hukum Allah. Barangsiapa beraktivitas dengan tidak mengindahkan
hukum-hukum Allah, dia kafir, dzalim kepada diri sendiri, dan bergelimang dosa
[QS Al-Maidah (5): 44,45, 47].
Manusia dicipta Allah dalam keadaan fitrah (HR
Bukhari, Muslim, dll). Ulama mengemukakan dua pengertian fitrah. Yang pertama:
suci dari dosa bawaan, tidak menanggung dosa orang tuanya, apa lagi dosa kakek
nenek moyangnya, Adam a.s. dan Hawa r.a. Seorang bayi yang lahir dari rahim
seorang perempuan tuna susila karena hubungan fisik tanpa nikah dengan seorang
penjahat, sama sucinya dengan anak seorang Nabi. Dosa ditimpakan kepada orang
yang sudah balligh – dewasa, karena dengan kemauan sendiri melakukan perbuatan
yang melanggar hukum Allah. Pengertian fitrah yang kedua: cenderung kepada
kesucian dan kebenaran. Manusia bukan makhluk yang dengan sendirinya buruk,
tidak pula seperti meja lilin (tabula rasa), yang sama reaksinya ketika
dituliskan atau dilukiskan padanya kebaikan maupun keburukan.
Tetapi kecenderungan kepada kebaikan ini acap
kali dikalahkan oleh hawa nafsu – keinginan kepada sesuatu secara berlebihan.
Keinginan melampaui batas, mengarah kepada keburukan. [QS Yusuf (12):53].
Sesungguhnya nafsu bukan sesuatu yang buruk; nafsu menjadikan orang menikmati
aktivtas mengerjakan sesuatu dan hasil kerjanya. Allah SWT berfirman: زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ -Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: pasangan
hidup, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ- Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (yaitu surga). [QS Ali 'Imran (3):14]. Pada ayat ini
dikemukakan bahwa keinginan kepada kesenangan dunia itu wajar, tetapi keinginan
kepada kenikmatan akhirat yang hakiki dan abadi itu lebih baik. Untuk
memperoleh kesenangan akhirat itu orang harus mengendalikan nafsunya. Secara
metaforik Allah menyatakan: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ - Makanlah, minumlah, dan jangan
berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berlebih-lebihan
[QS Al-A'raf (7):31].
Karena manusia pada dasarnya menempati
kedudukan yang sangat tinggi di antara makhluk-makhluk Allah, maka tugas
utamanya adalah menjaga agar tidak turun ke tempat yang rendah. Surah At-Tin
menerangkan, manusia akan jatuh dari derajat tinggi ke derajat rendah, إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ – kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya. Beriman artinya percaya kepada Allah beserta segala informasi
ghaib yang diterangkan Allah. Ghaib adalah kenyataan yang tidak dapat ditangkap
oleh manusia dengan indera dan akalnya, dan hanya dapat dipahami dengan percaya
kepada keterangan Allah. Di antara hal-hal ghaib yang harus dipercayai oleh
setiap Mukmin adalah: malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, para Rasul Allah, Hari
Kiamat, dan Taqdir Allah atas segala makhluk-Nya.
Iman yang ada di dalam hati harus diwujudkan
manusia dengan amal saleh. Iman dan amal saleh merupakan kesatuan tak
terpisahkan, sehingga lebih dari limapuluh kali Al-Quran menyebut rangkaian dua
perkataan آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ dalam satu nafas.
Amal artinya perbuatan yang disengaja, yang dilakukan dengan niat; dalam hal
ini niat untuk melaksanakan petunjuk dan perintah Allah. Saleh (shalih) artinya
selaras, yaitu selaras dengan Kehendak dan Ketetapan Allah. Orang yang
melakukan perbuatan baik tetapi didasari oleh niat yang bukan "karena
Allah", perbuatan itu tidak akan rewarding – tidak memberi manfaat
kepadanya. Perbuatan demikian itu digambarkan Al-Quran: كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ – seperti fatamorgana
di tanah datar. يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا – orang yang kehausan
mengira ada air, tetapi setelah didekati ternyata tidak dijumpainya sesuatu
apapun. [QS An-Nur (24):39]. Maka amal saleh harus dilaksanakan dengan ikhlas –
murni karena mengharapkan ridha Allah Swt.
Tata cara berbuat baik juga harus benar, yaitu
sesuai dengan hukum-hukum Allah. Untuk masalah ibadah mahdhoh (ritual), upacara
menghadap Allah harus sesuai benar dengan petunjuk dan contoh Rasulullah Saw.
Shalat dzuhur harus empat raka'at, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
Puasa Ramadhan dimulai ketika pada waktu maghrib sebelumnya, bagian atas bulan
(hilal) sudah berada di atas ufuk, dan selesai tatkala hilal kembali berada di
atas ufuk. Penyimpangan terhadap ketentuan baku adalah tambahan (bid'ah) yang
dilarang keras. Sedangkan dalam mu'amalah (ibadah kepada Allah dengan melakukan
kebaikan sosial), orang bebas berkreasi asalkan tidak menyimpang dari ketetapan
pokok yang digariskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits). Orang boleh berorganisasi,
berpolitik, dan sebagainya tanpa melihat contoh Rasul.
Telah kita bicarakan bahwa pengakuan beriman
baru bermakna bila direalisikan dalam amal saleh. Kehendak untuk beramal saleh
menghadapi godaan dan ujian yang terus menerus dalam segala waktu dan di segala
tempat. Setiap kali seseorang lulus dalam sebuah tahapan ujian, derajatnya
naik, tetapi ketika pada ujian berikutnya gagal peringkatnya turun kembali.
Allah berfirman: أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ - Apakah orang mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) berkata:
"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi (atas
pengakuannya itu? وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ- Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang
yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar
pengakuan imannya dan Dia mengetahui orang-orang yang dusta. [QS Al-'Ankabut
(29):2-3].
Perjuangan keras mengendalikan nafsu dengan
kerbu kebaikan, pasti menghasilkan balasan berupa anugerah Allah yang berupa
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah menurunkan janji-Nya yang sangat jelas:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ - Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [QS
An-Nahl (16): 97]. Sebaliknya orang-orang yang mengabaikan janji Allah dan
karena itu melakukan perbuatan buruk, mereka mendapatkan balasan yang sangat
pedih. Allah menegaskan hal ini: وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا - Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia
mengerjakannya untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. [QS An-Nisa (4):111].
Manusia yang hidupnya bermakna adalah yang
bekerja keras dengan memanfaatkan secara optimal bekal-bekal yang dikaruniakan
Allah kepada dirinya, mulai dari umur, kesehatan, kekuatan fisik, kemampuan
akal, harta benda, sampai dengan iman yang menjadikan dia tahu membedakan benar
dengan salah dan pekerjaan yang bermanfaat dengan yang mendatangkan mudharat.
Kerja keras di jalan yang benar adalah wujud dari tasyakur bin ni'mah –
mensyukuri karunia Allah Swt. Pengerahan semua potensi dengan sepenuhnya
disebut jihad - perjuangan. Allah Swt menegaskan, orang yang benar-benar
beriman adalah yang meyakini Allah beserta Rasul-Nya, patuh kepada Allah dengan
mengikuti ketetapan-ketetapan yang disampaikan Rasul, kemudian tidak ragu-ragu
lagi terhadap imannya itu, lalu berjihad di jalan Allah dengan harta dan
dirinya. [QS Al-Hujurat (49):15]. Sebaliknya yang mengaku beriman tetapi tidak
berjihad dalam berbagai bidang yang tersedia baginya, dia munafik – culas;
derajat munafik ini amat sangat rendah.
Orang-orang munafik itu tidak pernah memenuhi
konsekuensi dari pernyataan iman yang diucapkannya, karena pada dasarnya mereka
memang tidak beriman. Mereka menunaikan shalat hanya bila dilihat oleh
orang-orang mukmin; itupun dengan amat malas. [QS An-Nisa (4):142]. Mereka
berjanji akan memberikan sedekah apabila mempunyai harta yang memadai, tetapi
janji itu tidak pernah dipenuhi. [QS At-Taubah (9):76]. Apa lagi tatkala
diperintahkan untuk berjihad di jalan Allah, orang-orang itu selalu mencari
alasan untuk menghindar [QS At-Taubah (9):86]. Rasulullah Saw menuturkan
ciri-ciri munafik dalam kehidupan sehari-hari: Bila berbicara dusta, bila
berjanji mungkir, bila dipercaya khianat (Al-Hadits).
Orang yang benar-benar beriman harus
mewujudkan imannya dengan berjihad penuh semangat dan kesediaan berkorban. Tetapi
melaksanakan jihad tidak boleh dengan semangat semata; harus mengetahui tujuan
yang hendak dicapai dan teguh (istiqomah) dalam mencapai tujuan tersebut.
Semangat yang menggebu-gebu tanpa kendali akal akan menyebabkan orang melakukan
hal-hal yang justru menjauhkan dia dari tujuan. Sebaliknya, pemikiran yang
dalam tanpa semangat tinggi untuk bertindak, menjadikan orang ragu,
berputar-putar dalam dunia teori tanpa berbuat apa-apa. Agar jihad (perjuangan)
mencapai hasil yang sebaik mungkin, perlu dilakukan musyawarah di antara para
pemangku kepentingan. [QS As-Syura (42):38]. Musyawarah harus dilandasi kemauan
mendengarkan pembicaraan orang-orang lain, karena yang demikian itulah sikap
orang yang beriman [QS Az-Zumar (39):18].
IKHTIAR MANUSIA DAN TAKDIR ALLAH
Manusia lahir di dunia sebagai individu,
tetapi begitu berada di dunia, dia hidup dalam lingkungan alam dan sosial yang
memberi pengaruh kepadanya. Sebagai individu, orang punya kebebasan penuh untuk
berpikir, berpendapat dan bersikap. Tetapi karena berada di dalam lingkungan,
pelaksanaan kebebasannya itu dibatasi oleh unsur-unsur yang berada dalam
lingkungannya itu. Unsur-unsur alam yang berupa benda mati, flora dan fauna
membatasi pewujudan kehendak manusia, begitu pula orang-orang lain yang merupakan
lingkungan sosialnya.
Sebagai Rabbul 'alamin – Pembina semesta alam,
Allah mengatur setiap ciptaan-Nya sehingga berinteraksi satu sama lain secara
harmonis dan saling memberi manfaat. Dia perintahkan matahari memancarkan
energi yang berupa cahaya dan panas sebesar 389 juta miliar miliar watt setiap
detik. Begitu pula dengan miliaran bintang lain yang matahari merupakan salah
satu anggotanya yang "kerdil". Dia perintahkan bumi untuk mengitari
matahari secara terus menerus dengan kecepatan tetap sekitar 107 ribu kilometer
sejam. Dia atur segala sesuatu sehingga air berotasi dari kawasan laut ke
kawasan darat lalu kembali lagi ke laut dan seterusnya. Dia atur udara bergerak
dari tempat yang lebih rapat ke tempat yang kosong; maka terjadilah angin. Dia
tempatkan bumi pada jarak 150 juta kilometer dari matahari kemudian berputar
pada porosnya sehingga suhunya moderat bagi semua penghuninya. Dia pastikan
bumi mempunyai gaya gravitasi sehingga semua orang, hewan dan tetumbuhan berada
di permukaannya dengan mantap. Dia detakkan jantung, dia denyutkan darah, dia
kembang kempiskan paru-paru setiap orang, dan Dia proteksi terhadap rupa-rupa
penyakit.
Aturan-aturan Allah untuk alam itu disebut
Taqdir atau Sunnatullah. Al-Quran menerangkan: وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا - dan Dia telah mencipta segala sesuatu, dan Dia menetapkan
taqdir-Nya [QS Al-Furqan (25):2]. وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ - Dan matahari berjalan di tempat peredarannya, Demikianlah
taqdir yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui [QS Yasin (36):38]. Aturan-aturan
itu bersifat tetap dan tak berubah sampai Kiamat tiba. سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا - Sunnatullah itu
telah berlaku sejak dahulu dan kamu tidak akan menjumpai perubahan dalam
Sunnatullah itu sedikitpun [QS Al-Fath (48):23]. Tetapi sudah tentu Allah yang
Pemilik alam ini pada suatu ketika berhak dan mampu mengintervensi proses alam
yang Dia tetapkan. Mu'jizat Nabi Musa As, kelahiran 'Isa As tanpa ayah, Ibrahim
As yang tidak cedera sedikitpun ketika dibakar oleh Namrudz, terjadi karena
Kehendak khusus Allah yang Mahakuasa dan Mahabijaksana.
Manusia merupakan paduan dari jasmani dan
ruhani. Jasmani setiap orang, tanpa kecuali tunduk kepada semua taqdir Allah
yang diberlukan bagi alam. Tubuh manusia mengikuti hukum gravitasi yang menarik
setiap benda ke bawah; dengan itu orang dapat berdiri, duduk atau berbaring dengan
mantap di permukaan bumi. Tubuh juga mengikuti hukum pemuaian dan pengerutan,
penguapan dan pengembunan, osmosis, dan sebagainya, dengan
konsekuensi-konsekuensi yang terjadi padanya, baik yang menguntungkan maupun
yang merugikan. Adapun ruhani, dia merupakan inti dan jati diri kemanusiaan.
Dia berkehendak dan pada batas tertentu mampu memerintahkan bagian-bagian tubuh
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Bagian-bagian tubuh itupun patuh
kepada perintah ruhaninya: mata berkedip, tangan bergerak, kaki berlari, dan
sebagainya. Tetapi dalam hal-hal yang sangat perlu, jasmani bertindak sendiri
tanpa menunggu perintah ruhani: jantung berdetak, paru-paru mengembang dan
mengempis, darah mengalir ke seluruh tubuh, dan usus memproses pencernaan
makanan. Ada kalanya bagian tubuh setia mengikuti keinginan ruhani tetapi pada
kondisi tertentu berbuat tanpa perintah; itulah gerak-gerak reflek yang terjadi
karena kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan.
Ruhani memiliki kesadaran
tentang benda-benda yang ada dan proses yang sedang berlangsung di sekitarnya.
Ruhani juga berpotensi untuk memahami benar dan salah, baik dan buruk,
bermanfaat atau mendatangkan mudharat. Tetapi acap kali ruhani keliru dalam
memahami kebenaran, dan gagal dalam menilai benar dan salah. Maka Allah
Pencipta dan Pengatur segala sesuatu, dengan kebijaksanaan-Nya yang tidak
berbatas menetapkan aturan-aturan untuk dipatuhi oleh ruhani manusia.
Aturan-aturan yang ditetapkan oleh yang Mahapengasih dan Mahapenyayang itu
pasti baik serta bermanfaat bagi yang mematuhinya. Apabila ruhani dengan sadar
dan suka rela tunduk kepada aturan Allah, dia menyatu dengan jasmaninya, yang
sebagaimana kita bicarakan tadi, dengan sendirinya patuh kepada Takdir Allah.
Sikap demikian itu disebut Islam dan pelakunya Muslim. Dengan berpadunya ruhani
dan jasmani secara harmonis, orang mendapat ketenteraman dan kebahagiaan.
Tatkala Allah memberi tahu malaikat mengenai
keputusan-Nya untuk menjadikan Adam dan keturunannya sebagai khalifah yang
bertugas memimpin pengelolaan bumi, malaikat bertanya: "Mengapa Engkau
menjadikan manusia sebagai khalifah, sedangkan mereka (sebagaimana yang Engkau
informasikan), adalah makhluk yang mempunyai potensi untuk merusak alam dan
saling berseteru?". Malaikat kemudian bertanya, mengapa bukan mereka yang
diberi posisi itu. Bukankah mereka selalu bertasbih memuji-Nya dan menunaikan
semua perintah-Nya? Allah menukas pertanyaan malaikat tersebut dengan penegasan
bahwa Dia Mahatahu tentang segala sesuatu [QS Al-Baqarah (2): 30]. Kemudian
dengan menggunakan matsal (kiasan), Allah menerangkan bahwa Dia memberi potensi
kepada manusia untuk mengembangkan pengetahuannya; itu adalah kelebihannya yang
tidak dimiliki malaikat.
Dengan kemampuan yang khas itu manusia mengembangkan
alam raya secara dinamik, walaupun dapat menyebabkan kerusakan dan degradasi
fungsi serta potensi alam itu sendiri. Seandainya malaikat yang menjadi
khalifah, tidak akan terjadi kerusakan, tetapi juga tidak ada perubahan.
Dinamika yang tinggi di alam adalah Kehendak Allah Swt; maka Dia menetapkan
manusia sebagai pengaturnya.
Manusia dengan inderanya mengetahui berbagai
hal yang terdapat di lingkungannya. Dia mengetahui bundarnya matahari,
cahayanya yang terang benderang, panasnya yang menyengat. Dia mengetahui daun
yang hijau, batu yang keras, air yang dapat berubah menjadi es atau uap.
Kemudian dengan akal – rasio dan rasa – orang melakukan penelitian atas setiap
kenyataan yang diketahuinya itu sehingga menemukan pengetahuan baru mengenai
asal muasal, proses pembentukan dan pengembangan, serta kegunaan dari apa yang
ditangkap dengan inderanya itu. Melalui penalaran dan penelitian, orang
menemukan berbagai pengetahuan baru. Orang menghimpun
pengetahuan-pengetahuannya lalu mensistematisasikan pengetahuan itu dengan
metode tertentu; maka terbentuklah ilmu, yang semakin luas dan semakin
mendalam. Ilmu (science) pada hakekatnya adalah pemahaman manusia mengenai
Takdir Allah. Proses pengembangan ilmu tidak pernah berhenti selagi manusia
ada. Akan tetapi toh pengetahuan manusia memiliki batas, tidak ada artinya
dibanding dengan pengetahuan Allah. Dia menegaskan: وَلَوْ أَنَّمَا فِي الأرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ - Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut
(menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya,
niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya
Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. [QS Luqman (31):27].
Meskipun seluruh pengetahuan manusia
dikumpulkan menjadi satu itu amat terbatas, tetapi yang sedikit dibanding
pengetahuan Allah itu telah menghasilkan banyak karya ilmu di banyak bidang.
Orang menemukan banyak sekali hukum alam – yang bagi seorang Mukmin adalah
hukum Allah untuk alam. Telah kita bicarakan bahwa hukum-hukum alam ini
merupakan bagian dari Taqdir atau Sunnatullah. Penemuan Newton tentang
gravitasi bumi dikembangkan oleh dia sendiri dan orang-orang lain, menghasilkan
sumbangan berharga terhadap ilmu. Begitu pula penemuan Archimedes bahwa benda
yang dimasukan ke dalam benda cair akan ditekan ke atas dengan kekuatan seberat
benda cair yang dipindahkan. Demikian juga penemuan-penemuan para ahli Biologi,
Sosiologi, Ekonomi, dan sebagainya.
Ilmu tidak hanya memuaskan kecenderungan
manusia yang serba ingin tahu. Ilmu kemudian dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang tidak berbatas. Prinsip Archimedes menghasilkan cara
pembuatan kapal secara akurat, karena tahu luas dari alas kapal yang harus
disediakan, bentuk yang efisien, bobot muatan yang diijinkan, dan sebagainya.
Gaya gravitasi bumi mula-mula menghalangi orang melepaskan diri dari kondisi
"terpaku" di atas tanah. Tetapi dengan menggunakan pengetahuan
tentang sifat-sifat gravitasi, orang menemukan baling-baling sampai roket, yang
justru memudahkan orang melesat dari permukaan bumi. Adanya friksi, gesekan
antara dua benda, pada awalnya menghambat orang menggeser sebuah benda yang
terletak di atas tanah. Tetapi kemudian dengan prinsip friksi itu orang
menemukan roda, yang justru dapat memindahkan benda di atas tanah dengan mudah.
Orang memang tidak pernah dapat meniadakan Taqdir Allah, tetapi bisa
memanfaatkan
Taqdir untuk memperoleh apa yang dia perlukan. Pemanfaatan ilmu untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia disebut teknologi.
Ada lagi manfaat ilmu yang sebenarnya sangat
penting tetapi acap dilupakan banyak orang, yaitu memantapkan keyakinan kepada
Allah, Pencipta dan Pengatur segala sesuatu. Penguasaan ilmu mengembangkan
kesadaran bahwa setiap unsur alam ini memiliki sifat-sifat khas, sehingga
ketika berinteraksi dengan unsur alam lainnya membentuk harmoni yang sangat
bermanfaat. Cahaya matahari berinteraksi dengan chlorophyl di daun mengubah
udara kotor menjadi udara bersih. Air hujan yang bersifat sadah masuk ke tanah,
disaring dan dilaruti berbagai zat yang ada di dalam tanah, kemudian ke luar
lagi menjadi air yang siap untuk 'disantap' oleh tanaman, hewan, dan manusia.
Bunga-bunga yang tumbuh di tubuh pohon memiliki bentuk dan warna yang indah
serta bau yang harum, sehingga menarik kumbang dan kupu-kupu mengunjunginya. Di
dalam bunga ada madu; maka para penyintanya datang untuk menghisap
menikmatinya. Pada saat yang sama hewan-hewan tersebut menggugurkan serbuk sari
dalam benang-benang sari untuk bertemu dengan putik. Terjadilah perkawinan
keduanya yang menghasilkan buah. Di dalam buah terdapat bijih-bijih yang
merupakan calon pohon baru, ketika buah yang tua kemudian jatuh ke tanah.
Tetapi kalau semua bijih jatuh di dekat pohon induk, akan terjadi persaingan
tak seimbang antara pohon muda yang lemah dengan induknya yang kuat. Pohon muda
akan cepat mati sehingga tidak terjadi penambahan populasi. Hal itu tidak
terjadi karena ada hewan dan manusia yang menyukai buah-buahan, membawanya
pergi dan memakannya di tempat lain, lalu membuang bijihnya di tempat jauh.
Pengetahuan manusia akan keteraturan dan
keserasian itu menimbulkan kekaguman, dan keyakinan akan kehebatan Allah, di
dalam hati orang-orang yang disebut Ulul Albab – cendekiawan sejati. Ulul Albab
adalah: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ - Orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (di
segala posisi) dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
mengekspresikan suara hatinya): "Wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
(pikiran-pikiran sesat yang membawa kami ke dalam) siksa neraka [QS Ali 'Imran
(3):191].
Manusia adalah salah satu species dari makhluk
Allah dan merupakan bagian serta penghuni alam raya. Karena itu manusia juga
terkena oleh keharusan untuk mematuhi Takdir Allah. Yang tunduk kepada Takdir
itu bukan hanya jasmaninya tetapi juga ruhaninya. Namun terhadap ruhani manusia
itu Allah yang berkuasa atas segala sesuatu dan yang memiliki kehendak sempurna
bebas, menetapkan manusia menjadi makhluk merdeka. Manusia dibebaskan untuk
mempunyai kehendak, boleh memilih apa yang diinginkannya dan boleh mengusahakan
terwujudnya keinginan itu. Tetapi sebagai konsekuensinya manusia bertanggung
jawab atas pilihannya itu. Allah menjelaskan policy-Nya : وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ - Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Allah dapat menjadikan semua orang itu satu
umat, yang sama dalam pemikirannya, keinginannya, potensinya. Tetapi Dia justru
menghendaki perbedaan antara seorang dengan yang lain, sehingga masing-masing
menggunakan potensinya itu untuk – kalau dia ingin – berbuat kebaikan. Meskipun
demikian, orang harus menyadari bahwa ada batas-batas di lingkungan setiap
orang, yang mendorong atau menghambat realisasi dari keinginannya itu.
Seseorang berkehendak untuk menjadi dokter. Bisa jadi orang tuanya cukup mampu
untuk memasukkan dia di Fakultas Kedokteran, tetapi boleh jadi orang tuanya
serta keluarganya tidak memiliki kemampuan itu. Seseorang yang sangat kuat
minatnya dapat mengusahakan sendiri sarananya, seseorang lainnya tidak.
Demikian pulalah seorang pemuda ingin sekali mempersunting seorang gadis, bisa
jadi dia berhasil dan boleh jadi tidak. Kondisi lingkungan tersebut merupakan
bagian dari Takdir Allah. Seperti yang telah kita bicarakan, orang tidak dapat
meniadakan
Takdir, tetapi dapat berjalan di antara Takdir-takdir, atau bahkan
memanfaatkan Takdir yang diketahuinya untuk memperoleh apa yang dia harapkan.
Ikhtiar adalah sebuah keniscayaan untuk memperoleh keberhasilan. Dr. Muhammad
Iqbal menyatakan dengan kalimat kiasan: "Teguhkan semangatmu untuk
berikhtiar secara maksimal, sehingga ketika Allah hendak menetapkan TakdirNya
bagimu, Dia sudi berunding dahulu denganmu". Tentu ini adalah kalimat
kiasan, untuk mendorong orang supaya tidak cepat putus asa menghadapi tantangan
dan rintangan yang dihadapinya.
Allah membebaskan manusia untuk berkehendak
dan berusaha mewujudkan kehendak itu. Diapun memberi bekal setiap orang untuk
berjuang di alam dunia ini. Bekal pertama adalah sarana indera, yang dapat
memahami bentuk dan warna, nada dan keras lembutnya suara, harum dan busuknya
bau, halus kasarnya permukaan benda, manis pahitnya rasa, dan sebagainya. Bekal
yang kedua adalah akal, yang mampu menganilisis setiap kejadian serta proses
yang menghasilkan kejadian tersebut kemudian mengambil kesimpulannya. Bekal ketiga
ialah ad-Din, agama, petunjuk langsung dari Allah mengenai benar dan salah,
baik dan buruk, manfaat dan mudharat untuk dilakukan. Bekal keempat ialah
hidayah taufiq yang menjadikan orang mampu menjaga fitrahnya yang bersih, dan
bersemangat untuk melaksanakan setiap butir hukum Allah. Ini merupakan hak
prerogative Allah untuk memberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ – Allah menyeru manusia ke Darussalam (surga), dan memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. [QS Yunus (10):
25].
TAUHID DAN KEMANUSIAAN
Pembicaraan tentang Ikhtiar Manusia dan Takdir
Allah membawa kita kepada kesimpulan, manusia tidak boleh menyerah kepada
kenyataan-kenyataan yang dia hadapi di lingkungannya. Setiap orang harus
berjuang keras memenuhi keinginan-keinginannya. Perjuangan keras dengan
mengerahkan kemampuan akal dan segala kemampuan lainnya disebut Jihad. Menyerah
kepada keadaan bermakna mengabaikan kemerdekaan yang menjadi hak dasar manusia.
Dengan perkataan lain, menyerah kepada keadaan berarti meniadakan kemanusiaan.
Selanjutnya karena manusia dengan sadar mengikatkan diri kepada Allah, maka
perjuangan hidup yang benar ialah yang ditujukan hanya untuk mengusahakan ridha
(perkenan) Allah, tidak bercampur dengan pamrih-pamrih lain yang rendah. Sikap
demikian disebut ikhlas. Al-Quran menggambarkan ikhlas itu seperti air susu
hewan, yang bersih murni dan memberi kesegaran bagi yang meminumnya, meski
kelenjarnya dekat dengan darah dan kotoran hewan tersebut [QS An-Nahl (16):66].
Perjuangan dengan niat tunggal yaitu mengharap ridha Allah disebut Jihad fi
sabilillah – perjuangan di jalan Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada
manusia. Al-Quran menegaskan: وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ - Padahal mereka
(manusia) tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.
Orang yang menyerah kepada keadaan berarti
putus asa terhadap rahmah Allah. Sikap demikian tidak dikehendaki Allah. Dia
berfirman melalui lisan Nabi Ya'kub As: وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ – Dan jangan berputus asa terhadap rahmah
Allah; sesungguhnya tidak berputus asa terhadap rahmah Allah kecuali
orang-orang yang kafir [QS Yusuf (12):87]. Hidup duniawi bagi manusia merupakan
untaian dari ujian demi ujian. Maka orang harus senantiasa ikhtiar dan selalu
dalam kondisi jihad di jalan Allah. Orang yang tegar menjalaninya, akan
memperoleh petunjuk Allah Swt di dalam menghadapi ujian-ujian hidup itu. Dia
telah berjanji: وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ - Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik. QS Al-Ankabut (29):69].
Telah kita bicarakan bahwa manusia diberi
kemerdekaan untuk berpikir, bersikap, berpendapat, dan berbuat menurut
kemauannya sendiri. Kemudian mengikuti sifat dasarnya yang fitrah – suci dan
cenderung kepada kesucian – sebagian orang menggunakan kemerdekaannya untuk
melepaskan diri dari ketergantungan kepada segala sesuatu dan hanya bergantung
kepada Allah, Pencipta, Pengatur dan Penguasa semesta alam. Dengan perkataan
lain, manusia yang merdeka menyatakan dirinya beriman kepada Allah. Secara
bahasa, iman berarti percaya, tetapi bukan hanya percaya kepada adanya Allah.
Al-Quran menggariskan definisi Mukmin - orang yang beriman sebagai: الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ - orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu (terhadap imannya itu) dan mereka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah. [QS Al-Hujurat (49):15]. Itulah keyakinan
tauhid – keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa, Allah Swt. Lawan dari sikap
tauhid adalah syirik - menyekutukan Allah, menganggap ada kekuasaan atau
kekuatan lain yang setara dengan Allah. Pelakunya disebut Musyrik. Sikap syrik
berarti menghambakan diri secara tidak benar, sikap ini menghancurkan
kemerdekaan dan kemanusiaan. Maka syirik adalah kejahatan kemanusiaan yang
terbesar [QS Luqman (31):13].
Orang yang beriman menduduki posisi sebagai
'Abdullah – hamba Allah dan Khalifatullah fil ardhi – petugas yang
"mewakili" Allah dalam mengatur bumi. Dalam melaksanakan tugasnya
pada dua posisi tersebut, orang beriman harus mematuhi segala ketetapan Allah
yang disampaikan oleh para Rasul-Nya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum
Allah, dia kafir – orang yang ingkar, dia dzalim – orang yang aniaya, terutama
kepada diri sendiri, dan dia fasiq – orang yang bergelimang dosa. [QS Al-Maidah
(5):44,45,47]. Tugas pertama manusia sebagai pengatur bumi ialah mengatur
dirinya sendiri di dalam berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain, di
dalam bingkai ketaatan kepada Allah. Mengikuti alam raya, manusia secara sadar
berusaha menciptakan harmoni di dalam masyarakat. Keselarasan hidup
bermasyarakat menghasilkan kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Dalam tulisan terakhir kita bicarakan bahwa
lawan tauhid adalah syirik, menjadikan sesuatu sebagai sekutu atau kawan bagi
Allah, karena memiliki kekuatan, keagungan, kekuasaan, yang setara dengan
Allah. Berdasarkan keterangan Al-Quran dan Al-Hadits, ulama membagi syirik ke
dalam dua golongan besar yaitu syirik akbar atau syirik jali (syirik besar) dan
syirik asghar atau syirik khafi (syirik kecil atau syirik samar-samar). Syirik
akbar adalah sikap dan perbuatan yang secara jelas dan terang-terangan
menganggap ada tuhan-tuhan yang bukan Allah. Orang-orang Arab pra Islam
(jahiliyah) memuja patung-patung berhala yang mereka ukir sendiri lalu mereka
namai al-Lata, al-Uzza, Manat dan sebagainya. Orang-orang itu mengaku percaya
kepada Tuhan yang satu, yang juga mereka sebut Allah. [QS Al-'Ankabut (29):61].
Tetapi mereka memegang kepercayaan ajaran kakek moyang, bahwa Allah tidak
berkenan untuk berkomunikasi langsung dengan manusia, dan manusia tidak dapat
berhubungan langsung dengan dia.
Untuk berkomunikasi dengan Allah orang
memerlukan perantara (mediator, washilah), yaitu berhala-berhala tersebut.
Mereka mengatakan bahwa pemujaan kepada berhala merupakan tatacara untuk
mendekat sedekat-dekatnya kepada Allah. Tetapi dalam kenyataannya mereka
mempertuhankan berhala-berhala tersebut.
Keyakinan memuja berhala itu sudah dianut
orang sejak dahulu. Kaum Nabi Nuh menyembah patung-patung yang mereka namai
Wadd, Suwaa, Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr [QS Nuh (71):23]. Kaum-kaum lain juga
melakukan yang serupa. Maka missi utama yang dibebankan Allah kepada
Rasul-rasul-Nya adalah menghapuskan syirik dan menegakkan tauhid. Al-Quran
menyebut empat orang Rasul (Nuh. Hud, Shalih, Syu'aib) yang menyeru umat
masing-masing dengan kalimat yang persis sama: يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ - Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan
bagimu selain Dia [QS Al-A'raf (7):59,65,73,85]. Empat Rasul tersebut merupakan
representasi dari semua utusan Allah.
Adapun syirik asghar atau syirik khafi ialah
kepercayaan yang secara tidak langsung menganggap ada kekuasaan lain yang
setara dengan kekuasaan Allah. Ketika orang menganggap obat sebagai penyembuh
penyakit, atau menyatakan diri tidak mampu hidup tanpa berdampingan dengan si
anu, atau mempercayai seseorang mempunyai kesaktian yang adi kodrati, atau
hanya dapat berbahagia bila memiliki harta yang banyak, itu adalah syirik
kecil. Demikian pula orang yang menganggap dirinya lebih dari orang-orang lain
sehingga berhak mengeksploitasi mereka, atau orang merasa berhak untuk
memperoleh pujian dan sanjungan orang lain (riya), dia telah masuk ke dalam
golongan musyrik kecil atau musyrik samar-samar.
Karena syirik merupakan lawan tauhid, maka
orang yang berkeyakinan tauhid berusaha keras menyingkirkan syirik dari dirinya
dan dari sebanyak mungkin orang di lingkungannya. Orang-orang yang berhasil
melaksanakan usaha itu dinyatakan Al-Quran sebagai: الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا - orang-orang yang
menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada
merasa takut kepada siapa(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai
Pembuat Perhitungan [QS Al-Ahzab (33):39]. Sikap tauhid mewujudkan tujuan hidup
yang tunggal yaitu mengusahakan ridha Allah, kepribadian yang utuh sebagai
pengabdi Allah, dan kedudukan di dalam masyarakat yang serasi sebagai sesama
pengabdi Allah. Individualitasnya diliputi oleh semangat kebersamaan, tidak
terpecah apa lagi berlawanan dengan eksistensinya di dalam lingkungan sosial.
Dia mengambil bagian penuh di dalam mencipta dan menikmati kebaikan dari
peradaban dan kebudayaan.
Karena orang beriman dengan sadar dan suka
rela menempatkan dirinya sebagai pengabdi Allah, seluruh aktivitasnya sejak
bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan juga tidur itu sendiri, dilakukan dalam
kesatuan dengan semangatnya melaksanakan Kehendak Allah. Dia mengusahakan
kekayaan, ilmu, kedudukan sosial, dengan niat "karena Allah" dan
selalu mengikuti hukum-hukum Allah. Maka dalam dirinya menyatu keinginan untuk
memperoleh kepuasan lahir dan batin, serta kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tidak ada pembagian dua (dikotomi) di antara keduanya. Dia selalu beramal
saleh. Amal artinya perbuatan yang disengaja, yang didasari niat, sedangkan
saleh bermakna selaras; dalam hal ini selaras dengan Kehendak Allah. Amalnya
didorong dan didasarkan kepada iman, dan sebaliknya imannya semakin menguat
karena amal baiknya. Karena itu dalam banyak sekali ayat, Al-Quran meletakkan perkataan
"amal" dalam satu nafas dengan "saleh". Allah
menggembirakan hamba-Nya yang baik dengan penegasan-Nya: وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ - Dan orang-orang
yang beriman serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di
dalamnya. [QS Al-Baqarah (2):82].
Keyakinan tauhid: bahwa Allah adalah
satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Penguasa alam beserta segala penghuninya
termasuk manusia, mengantarkan pengertian bahwa selain Allah adalah makhluk,
yang dicipta, diatur dan dikuasai Allah. Maka semua orang pada dasarnya sama
derajatnya. Tidak ada kemuliaan yang diperoleh dengan sendirinya (karena suku,
bangsa, keturunan, kekayaan, gender). Kemuliaan didapat seseorang karena usahanya
untuk bertakwa kepada Allah. Al-Quran memaparkan firman Allah: إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ – Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang
paling takwa di antara kamu. [QS Al-Hujurat (49):13]. Sikap musawwah – mengakui
kesamaan derajat dan persamaan hak serta kewajiban, adalah sikap sejati setiap
Mukmin. Al-Quran mengecam keras orang-orang yang mengagungkan diri karena
beberapa kelebihan yang dimilikinya. (Fir'aun karena kekuasaannya, Qarun karena
kekayaannya). Seorang Mukmin seharusnya berendah diri kepada Allah dan berendah
hati (tawaddhu') kepada sesamanya. Rasulullah Saw menegaskan hal ini: Antum
Banu Adam wa antum min turab – Kamu sekalian adalah anak keturunan Adam dan
kamu sekalian berasal dari tanah (Al-Hadits).
Kesadaran akan eksistensi setiap orang sebagai
hamba Allah dan keturunan Adam, seharusnya menggerakkan hati manusia untuk
saling menyayangi dengan tulus. Rasulullah menyatakan: “Al-mu’minu lil mu’mini
kal bunyaan yasyuddu ba’dhuhu ba’dha – orang Mukmin terhadap Mukmin lain
bagaikan sebuah bangunan, yang bagian-bagiannya saling menguatkan”. Maka beliau
memerintahkan kepada umat: “Irhamuu ahlal ardhi yarhamkum man fis samaa-i –
sayangilah penduduk bumi, niscaya Yang di langit akan menyayangimu”. Kasih
sayang ini lalu direalisaikan dalam bentuk ta'awun – kerjasama di antara
manusia. Orang yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, mutlak
harus bekerja sama untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya – lahir maupun batin –
yang tidak berbatas. Kerjasama harus ditujukan untuk kebaikan semua orang,
bukan untuk menyulitkan sebagian mereka [QS Al-Maidah (5):2].
Termasuk bekerjasama
adalah : saling memberi nasihat, saling mengingatkan, dan saling mencegah
berbuat buruk. Rasulullah Saw menyatakan: “Tolonglah saudaramu, yang didzalimi
maupun yang dzalim”. Sahabat bertanya: “Bagaimana menolong orang yang dzalim?”
“Dengan menahan tangannya (dari melakukan kedhzaliman)”.
INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Manusia lahir sebagai individu, tetapi segera
setelah itu dia berada di dalam masyarakat. Sebagai individu setiap orang
mempunyai sifat dan potensi-potensi lahir dan batin yang khas. Di dalam
masyarakat sifat dan potensi seseorang berinteraksi dengan sifat dan potensi
orang-orang lain, didorong serta dibatasi oleh orang-orang lain. Potensi dan
kemampuan masing-masing orang itu berbeda-beda, bukan hanya dalam tingkatannya
tetapi juga bidang kekhususannya. Perbedaan itu penting bagi manusia, karena
dengan itu orang dapat mencurahkan kemampuannya secara optimal di dalam lingkup
yang lebih terbatas. Maka masyarakat mencakup orang-orang dari berbagai
profesi. Allah menyatakan dalam Al-Quran: نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا – Kami (Allah) membagi-bagi penghidupan manusia itu di dalam
kehidupan dunia [QS Az-Zuhruf (43):32].
Berbeda dengan makhluk-makhluk lain, kebutuhan
manusia merupakan paduan dari keperluan lahir dan keinginan batin. Orang makan
bukan sekedar memasukkan zat-zat yang diperlukan tubuh, tetapi juga yang
bergizi tinggi, lezat di lidah, sedap dipandang, diletakkan di wadah-wadah yang
serasi, dan sebagainya. Orang berpakaian bukan hanya untuk melindungi tubuh
dari sengatan cuaca, tetapi juga yang enak dipakai, serasi dengan pemakainya,
bahkan yang diapresiasi orang lain. Orang menjadikan rumah bukan sekedar
sebagai tempat berteduh, tetapi juga wahana berkomunikasi, bahkan dapat menjadi
sarana ekspresi diri. Selain dari kebutuhan-kebutuhan yang bermula dari hal-hal
lahiriah itu, orang juga membutuhkan pengakuan akan eksistensi dirinya,
menginginkan kedudukan sosial, kekuasaan, cinta kasih, dan sebagainya. Kita
dapat mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu tidak berbatas. Semua kebutuhan
manusiawi itu hanya bisa dipenuhi dengan cara bekerja sama di dalam masyarakat.
Mengapa?
Karena kemampuan individual itu sangat terbatas. Manusia tidak mungkin
memenuhi kebutuhannya bila setiap orang harus menaman padi sendiri, berburu
hewan sendiri, memasak sendiri, menenun dan menjahit pakaiannya sendiri,
mengajar anak-anaknya sendiri. Bila dipaksakan seperti itu maka kemampuan
individual yang ada pada masing-masing orang tidak akan berkembang.
Dengan bekerja sama, yang berarti saling
memberi dan menerima, manusia dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhannya secara
optimal. Kebutuhan yang sangat banyak dan beragam itu tidak mungkin diperoleh
seseorang, hanya dengan usaha sendiri semata-mata. Tidak mungkin seseorang
bertani mengurus sawah dan ladang, tetapi juga menjahit bajunya sendiri, dan mengajar
anak-anaknya sendiri, dan membangun rumahnya sendiri, dan seterusnya. Tidak
mungkin pula seorang guru menanam padi sendiri dan membangun rumahnya tanpa
bantuan orang lain. Perkembangan budaya hanya diperoleh bila orang bekerja sama
secara serasi. Maka kerjasama merupakan keharusan bagi orang-orang yang
berkeinginan maju.
Setiap individu manusia dikaruniai Allah hak
dasar, yaitu kemerdekaan. Dia bebas memilih profesinya, tempat tinggalnya,
bahkan juga keyakinan yang dianutnya. Agama, yang diturunkan untuk menjadi
pedoman hidup di dunia, tidak dipaksakan tetapi ditawarkan kepada manusia.
Allah menandaskan hal ini: لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ - Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat. [QS Al-Baqarah (2):256]. Rasul ditugasi untuk menyampaikan
kebenaran itu kepada manusia, tetapi tidak dibebani kewajiban untuk
meng-Islamkan manusia. Pilihan bebas itulah yang menjadikan orang diminta
tanggung jawabnya atas apa yang dia kerjakan selama berada di dunia. وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ - – Katakanlah (wahai
Rasul): Kebenaran (yang aku sampaikan ini) dari Tuhanmu. Maka barangsiapa mau
silakan beriman dan barangsiapa mau silakan menjadi kafir [QS Al-Kahfi
(18):29].
Di dalam masyarakat, kemerdekaan individual
seseorang pasti berhadapan dengan kemerdekaan orang lain. Maka kemerdekaan yang
merupakan hak asasi seseorang itu harus diselaraskan dengan hak asasi yang
dimiliki orang-orang di lingkungannya. Tahap pertama dari usaha penyelarasan
itu adalah pengendalian nafsu. Sebelum ini telah kita bahas, bahwa nafsu,
meskipun merupakan potensi yang menggairahkan manusia untuk mengembangkan
budayanya, cenderung berlebihan melewati takaran.
Nafsu yang tidak dikendalikan
akan merusak hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Al-Quran
mengartikulasikan kesadaran Yusuf As: إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي – Sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang mendapat rahmah
Tuhanku [QS Yusuf (12):53]. Nafsu yang dirahmati Allah adalah yang dikendalikan
dengan semestinya. Bila orang membiarkan nafsunya berkembang melampaui batas,
dia tidak pernah puas dengan segala yang dimilikinya. Setiap kali memperoleh
sesuatu, dia ingin yang lebih lagi, begitu seterusnya. Rasulullah Saw
menggambarkan hal ini: "Apabila seseorang sudah memiliki dua lembah penuh
emas permata, dia masih berusaha mendapatkan lembah ketiga. Padahal yang dia
perlukan ketika mati hanyalah sepetak tanah untuk mengubur jasadnya".
Keinginan memenuhi kebutuhan tanpa batas pasti merugikan orang lain. Sedangkan
membiarkan setiap orang memperjuangkan keinginannya tanpa batas, berarti
memberi kesempatan bagi yang kuat untuk menghimpit yang lemah, dan yang cerdik
memaksanakan kehendak kepada yang bodoh. Kondisi demikian itu tidak adil, karena
setiap orang adalah makhluk Allah, yang memiliki hak untuk menikmati
"pelayanan" alam kepada dirinya. Al-Quran menerangkan dengan amat
jelas: Dan Dia (Allah) menundukkan untukmu (manusia) apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya [QS Al-Jatisyyah
(45):13].
Allah menundukkan alam raya ini untuk melayani
semua orang, bukan hanya yang kuat atau yang cerdik saja. Karena itu pembatasan
atas kemerdekaan setiap anggota masyarakat merupakan keniscayaan; maka masyarakat
harus mematuhi hukum yang adil bagi semua orang. Tetapi bila ketetapan hukum
itu sepenuhnya diserahkan kepada manusia sendiri, obyektivitas tidak akan
didapatkan. Setiap orang pasti akan memperjuangkan kepentingannya sendiri
dengan mengabaikan hak-hak orang lain. Maka hukum yang mengatur manusia harus
didasarkan kepada ketetapan dari yang Maha menyayangi semua orang, dan yang
Mahatahu serta Mahabijaksana, Allah Swt. Orang hanya menjabarkan norma-norma
keadilan yang digariskan Allah tersebut, supaya dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi yang senantiasa berubah. Barangsiapa menganggap mampu mengatur dirinya
sendiri tanpa campur tangan Allah, dan karena itu menolak ketetapan Allah, dia
kafir (durhaka), dzalim (aniaya, terutama kepada diri sendiri), dan fasiq
(bergelimang dosa) [QS Al-Maidah (5):44,45,47].
Keadilan tidak dapat diwujudkan di masyarakat
bila hanya mengandalkan aturan-aturan hukum, karena orang pasti dapat mencari
celah-celah di antara kaidah-kaidah hukum yang menguntungkan dirinya. Ahli
Hukum Mesir Abdul Qadir Audah (1906-1954) menyatakan, hukum hanya akan berjalan
dengan semestinya bila ada ketaatan suka rela di dalam masyarakat terhadap
hukum tersebut. Ketaatan yang benar-benar suka rela terhadap hukum, hanya
dimiliki oleh orang yang beriman kepada Allah, Penguasa semesta alam dan
manusia. Dia meyakini bahwa kelak di akhirat setiap orang akan diadili oleh
Allah pribadi, dengan keadilan yang sempurna. Maka dia lebih takut menghadapi
pengadilan Allah dibanding pengadilan manusia. Orang beriman mematuhi hukum
karena Allah memerintahkannya. Adil tidak mementingkan diri atau golongan
sendiri. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ - Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. [QS An-Nisa
(4):135]. Adil memberikan hak-hak orang lain, termasuk yang tidak disukai: وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا -- Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil [QS Al-Maidah (5):8].
Norma-norma yang digariskan Allah tidak hanya
berada dalam angan-angan orang beriman, tetapi telah diwujudkan dengan nyata.
Pada masa Rasulullah Saw orang tidak ragu mengakui kesalahannya, walaupun tahu
bahwa fakta yang dia beberkan tersebut merugikan dirinya. Bahkan ada yang
mengaku telah berzina, meski tidak ada seorangpun selain pelaku yang
mengetahuinya, dan dia tahu benar bahwa hukuman bagi pezina adalah hukuman
maksimum. Kaum muslimin memperoleh kejayaannya, tatkala ketetapan hukum yang
didasarkan kepada syari'ah Allah diundangkan dan dilaksanakan dengan jelas
serta tegas, dan di pihak lain masyarakat menerimanya sepenuh hati. Kejayaan
lenyap ketika kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya untuk mengikuti pola
pikir dan tatalaksana masyarakat yang dilakukan orang-orang lain.
Padahal
Rasulullah Saw telah memperingatkan sebelumnya: "Sungguh kamu akan
mengikuti orang-orang yang kamu kagumi, sejengkal demi sejengkal dan sehasta
demi sehasta, sedemikian sehingga ketika orang-orang yang kamu ikuti itu masuk
liang landak, kamu tetap mengikutinya juga". Seseorang bertanya:
"Apakah yang kami ikuti itu kaum Yahudi?' maka Rasul menjawab: "Siapa
lagi?".
KEADILAN SOSIAL DAN EKONOMI
Telah kita bicarakan bahwa di dalam masyarakat
terjadi tarik menarik antara usaha memenuhi kepentingan individual dengan
kepentingan bersama. Apabila masyarakat memberi kebebasan penuh kepada
anggotanya untuk berusaha memenuhi kepentingan dirinya tanpa batas, akan
terjadi pertarungan antar pribadi atau antara kelompok-kelompok yang bersekutu.
Kondisi demikian pasti menghancurkan masyarakat itu sendiri. Al-Quran
menerangkan hal ini: وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى - Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya serba
cukup, وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى – dan mereka tidak memercayai adanya balasan Allah yang terbaik
(bagi yang saling menyayangi dan bekerja sama), فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى – maka Kami akan
menyediakan baginya (jalan) yang sukar. [QS Al-Lail (92):8-10]. Sebaliknya bila
kepentingan bersama saja yang diusahakan, potensi-potensi individual tidak
berkembang dengan semestinya; akhirnya yang rugi adalah juga manusia itu
sendiri.
Maka usaha memenuhi kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama harus saling diselaraskan. Paduan yang harmonis atas
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itulah keadilan. Maka masyarakat
harus menegakkan keadilan, dengan mengikuti ketetapan-ketetapan dasar yang
digariskan Allah, dan dengan penafsiran dan penjabaran yang diputuskan bersama
oleh seluruh anggota masyarakat. Usaha demikian yang dilakukan secara
berkesinambungan merupakan jalan menuju takwa. [QS Al-Maidah (5):8].
Masyarakat
harus melakukan musyawarah untuk menegakkan keadilan di berbagai bidang
kehidupan. Selanjutnya tatkala musyawarah telah menghasilkan keputusan bersama,
segenap anggota masyarakat berserah diri kepada Allah, tidak lagi
mengungkit-ungkit apa yang telah menjadi ketetapan bersama. Allah Swt pasti
mengucurkan barakah-Nya kepada masyarakat yang telah menjalankan petunjuk-Nya
dengan baik. [QS Ali Imran (3):159].
Keadilan adalah kondisi yang harus ditegakkan
di dalam masyarakat oleh segenap anggota masyarakat itu sendiri. Keadaan demikian
hanya dapat terwujud apabila segenap komponen masyarakat memiliki jiwa
silaturahim – rasa kasih sayang yang tinggi, sebagai pancaran dari ikatan
batinnya yang kuat dengan Allah Swt. Agama mengajarkan bahwa hablun minallah –
hubungan baik dengan Allah, harus membekas nyata dalam hablun minannas –
hubungan baik dengan sesama manusia. Sebaliknya hablun minanas mesti dilandasi
oleh oleh hablun minallah. Al-Quran memaparkan peringatan Allah: ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ – Manusia diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali
jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia. [QS Ali 'Imran (3):112]. Maka aktivitas ibadah mahdhoh (ritual) mesti
menghasilkan kegiatan mu'amalah (sosial) yang baik, antara lain menegakkan
keadilan. Orang yang shalat dikatakan "celaka", apabila shalatnya
dilakukan dengan hati yang lalai, tidak dihayati sehingga tidak menghasilkan
apa-apa bagi kebaikan diri sendiri maupun sesama manusia [QS Al-Ma'un (107):4].
Untuk itu diperlukan segolongan orang yang
menjadi pemimpin. Merekalah yang memelopori, menganjurkan, dan menyemangati
semua orang untuk berbuat yang benar yaitu yang bermanfaat bagi orang-orang
lain, dan menghindari yang salah yakni yang merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Para pemimpin itu harus diciptakan dengan kegiatan pengkaderan
yang dirancang dengan sebaik-baiknya [QS Ali 'Imran (3):104]. Metode
pengkaderan bermacam-macam, yang bukan hanya meningkatkan kemampuan teknis dan
kerjasama, tetapi terutama memantapkan karakter yang ungggul sehingga dapat
menjadi teladan kebaikan (uswatun hasanah) bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin adalah orang yang dibebani tugas membina kesejahteraan lahir batin bagi
orang-orang yang dipimpinnya. Maka agar dapat melaksanakan tugas itu dengan
semestinya, dia berhak memberi perintah dan perintahnya harus dipatuhi oleh
masyarakatnya. [QS An-Nisa (4):59].
Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang
mempunyai kesamaan, mulai dari kesamaan tempat tinggal, etnis, profesi, sampai
kepada keyakinan; mereka bekerja sama untuk mewujudkan keinginan-keinginan
bersamanya. Bentuk masyarakat yang terpenting dan karena itu paling berpengaruh
kepada anggotanya adalah Negara. Yang disebut Negara adalah suatu masyarakat
yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang
secara sah lebih besar daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian
dari masyarakat tersebut (Harold J Laski). Yang memegang kepemimpinan Negara
adalah Pemerintah, yaitu pemegang kekuasaan di tingkat lokal, regional, dan
nasional, di dalam bidang-bidang tertentu (eksekutif, legistalif, dan
yudikatif). Maka Pemerintah merupakan otoritas yang paling bertanggung jawab
untuk menegakkan keadilan di seluruh wilayah Negara.
Tugas Pemerintah yang
terpenting adalah: menjamin kemerdekaan individual dan kemerdekaan kelompok di
dalam Negara, dengan mengutamakan kebersamaan atas dasar persamaan kemanusiaan.
Pemerintah dibentuk oleh warganegara dan
memperoleh kewenangannya dari warga Negara. Sebagai konsekuensinya, setiap
warga Negara wajib patuh kepada Pemerintah yang telah diberinya kewenangan itu.
Bagi seorang mukmin, ketaatannya kepada Pemerintah merupakan bagian dari
ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. [QS An-Nisa (4):59). Sebaliknya sebagai
pemegang amanah dari warga Negara, Pemerintah harus melaksanakan kewajibannya
untuk menegakkan keadilan, dengan mengerahkan seluruh potensi akal dan tenaga
dengan sebaik-baiknya. [QS An-Nisa (4):58]. Rasulullah Saw memeringatkan umat
beliau: "Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di
atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila
telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih
busuk daripada bangkai". (HR. Ath-Thabrani). Maka agar rakyat memperoleh
keadilan yang optimal, sistem pemerintahan ditetapkan oleh rakyat, dan
orang-orang yang memegang tampuk pemerintahan dipilih oleh dan dari rakyat
sendiri.
Salah satu usaha menegakkan keadilan yang
sangat penting adalah keadilan di bidang ekonomi. Manusia memerlukan banyak
sarana penunjang hidupnya, baik yang berupa kebutuhan lahiriah maupun batiniah.
Allah menyediakan di bumi, bahan-bahan untuk memenuhi kebutuhan manusia itu,
lalu mempersilkan manusia untuk mengelola dan merekayasanya dengan ilmu dan
teknologi sehingga menjadi harta kekayaan yang dapat dimanfaatkan secara
optimal. Pada saat yang sama Allah menanamkan kepada setiap orang, kesenangan
kepada harta yang berada di alam dunia. Dia berfirman: "Dijadikan indah
dalam pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: lawan
jenis, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda-kuda pilihan,
binatang ternak dan sawah ladang". Tetapi Allah mengingatkan dengan tegas:
"Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang
baik" [QS Ali Imran (3):14]. Jadi kecintaan kepada harta adalah manusiawi,
tetapi orang harus ingat bahwa di akhirat ada kenikmatan yang jauh lebih tinggi
nilainya dan kekal. Kenikmatan akhirat itu akan diperoleh orang-orang yang
mengendalikan diri dalam meraih kesenangan-kesenangan dunianya.
Harta yang bahan-bahannya tersedia di bumi
pada hakekatnya milik Allah Swt. Orang boleh mengumpulkan dan menggunakannya,
tetapi harus senantiasa ingat bahwa Allah menyediakan harta dunia itu untuk
semua orang, bukan hanya bagi segolongan orang atau sebuah ras tertentu, bahkan
bukan hanya untuk generasi tertentu. Karena itu setiap orang harus menjaga
nafsunya agar tidak menjadi serakah dan boros, dan Pemerintah suatu Negara
berkewajiban untuk mengatur hak-hak warganya dengan adil.
Tanpa aturan yang
membatasi hak-hak warga Negara secara adil, dan tanpa Pemerintah yang memiliki
dan menggunakan otoritasnya dengan bijak, warga dan kelompok-kelompok masyarakat
akan bertarung terus menerus untuk memperoleh harta kekayaan yang diinginkannya
tanpa batas. Maka tujuan didirikannya Negara, yaitu menyejahterakan warganya
tidak pernah tercapai.
Allah memerintahkan setiap anggota masyarakat
agar membatasi nafsunya di dalam mengusahakan maupun menggunakan harta dunia.
Dengan retorika yang sangat indah Dia berfirman: "Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (masuk) masjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan" [QS Al-A'raf (7):31]. Rasulullah menjelaskan tentang hal
itu dengan sabdanya, bahwa kelak di padang Mahsyar tidak ada orang yang
beranjak dari hadapan Allah sebelum diminta pertanggungjawaban (a.l) tentang
hartanya, dengan cara bagaimana diperoleh dan untuk apa digunakan. Memperoleh
harta dengan baik adalah dengan tidak mengganggu hak-hak orang lain, seperti
memakan riba [QS Ali 'Imran (3):130], menipu, mengeksploitasi kelemahan orang
lain, dan sebagainya. Menggunakan hartanya secara patut diterangkan oleh
Al-Quran dengan sangat jelas: Orang-orang yang apabila membelanjakan harta
tidak boros dan tidak pula kikir, dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara
keduanya”. [QS Al-Furqan (25):67].
Maka orang beriman mengupayakan dan
membelanjakan hartanya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah; ulama menyebut
hal itu "ibadah maliyah". Orang yang beribadah, niatnya ikhlas
"karena Allah" dan tata caranya sesuai dengan tujuan syar'at lalu
diperhitungkan secara kreatif, apa yang memberi manfaat optimal kepada dirinya
sendiri, keluarganya, dan masyarakatnya. Orang-orang yang bersikap demikian itu
adalah yang bertakwa; maka Allah menjanjikan kepada mereka: وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ – Jika sekiranya
penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi. [QS Al-A'raf (7):96]. Maka orang
tidak perlu risau akan rizki untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Allah telah
memberikan janji-Nya untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menganugerahkan
segala yang Dia miliki di langit dan di bumi; janji Allah itu pasti Dia tepati
[QS Yunus (10):55].
Kita telah membicarakan keharusan untuk
mewujudkan keadilan di bidang ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan setiap orang
untuk memperoleh hak-haknya atas harta dunia yang disediakan Allah untuk
manusia seluruhnya. Kita mesti mengakui kenyataan bahwa perbedaan kekayaan di
antara anggota masyarakat selalu terjadi, karena adanya perbedaan kemampuan
masing-masing orang, perbedaan kesempatan dalam memperoleh harta tersebut, dan
perbedaan penghargaan masyarakat terhadap berbagai profesi yang dapat dipilih.
Selain itu perbedaan kekayaan juga terjadi karena ketidaksamaan kreatifitas dan
kesungguhan masing-masing orang dalam mengusahakan hak-haknya.
Dalam masyarakat yang adil, perbedaan tersebut
berada dalam batas-batas yang wajar; masyarakat Madinah yang dipimpin Rasul pun
mengenal adanya kelompok kaya dan miskin. Kondisi wajar itu terjadi karena
anggota masyarakat menyadari keharusannya untuk ta’awun – bekerjasama demi
kebaikan semua orang. Ta’awun berarti saling memberi dan menerima, saling
menolong dan menerima. Yang memiliki kekayaan berlebih membaginya dengan yang kekurangan,
yang kuat melindungi yang lemah, yang memiliki lebih banyak kesempatan untuk
menempuh usaha ekonomi membagi peluang tersebut kepada mereka yang kesempitan.
Bahkan orang yang mempunyai semangat lebih besar untuk berjuang mendorong
anggota masyarakat lainnya untuk melakukan hal yang sama. Pemerintah yang adil
mengatur lalu lintas saling memberi dan saling menolong itu dengan
sebaik-baiknya. Semua orang melaksanakan aktivitas ta’awun dengan ikhlas karena
bekerja atas dasar mengharapkan ridha Allah Swt. Mereka menganggap harta yang
didapatnya sebagai bekal yang lebih baik untuk beribadah kepada Allah.
Sebaliknya dalam masyarakat yang tidak adil,
tiap-tiap orang hanya mementingkan dirinya sendiri, sehingga menjadi serakah
yang bertambah-tambah. Keserakahan menjadikan orang tega mengeksploitasi
kelemahan orang lain, sehingga orang-orang tersebut menghambakan diri
kepadanya. Kedzaliman berlangsung, dilakukan oleh yang kuat kepada yang lemah,
yang cerdik kepada yang kurang pintar, yang kaya kepada yang miskin. Maka jarak
antara dua kutub tersebut semakin lama semakin lebar. Pemerintah yang
seharusnya melindungi kelompok lemah justru kemudian terkooptasi oleh golongan
kuat, sehingga dinamika masyarakat mengarah kepada kehancurannya sendiri. Allah
mengingatkan manusia akan proses yang pasti berlangsung dalam situasi
masyarakat yang tidak adil: “Dan jika Kami menghendaki hendak membinasakan
suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu untuk
mengubah sikap, tetapi mereka melakukan kedurhakaan; maka sudah sepantasnya
berlaku ketetapan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya
[QS Al-Isra (17):16].
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh
adalah penindasan oleh Kapitalisme, yaitu sistem ekonomi dan sosial yang cenderung
kepada pengumpulan kekayaan oleh individu tanpa pengendalian Negara. Yang
dituju oleh kapitalisme adalah keuntungan yang sebesar-besarnya oleh individu
atau kelompok individu tanpa memerhatikan kerugian pihak-pihak lain. Kekayaan
yang dihimpun dan dimiliki oleh individu tersebut kemudian digunakan untuk
memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya tetapi menyandang
kelemahan dan kemiskinan, sehingga mereka makin sengsara dan tidak berdaya.
Orang-orang yang kuat itu ditopang oleh berbagai kemampuannya memaksanakan
persyaratan kerja dan hidup kepada yang lemah. Karena itu menegakkan keadilan
mencakup perjuangan yang bersungguh-sungguh untuk memberantas kapitalisme.
Allah berfirman: “Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan sesama manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka
bumi dengan berbuat kerusakan”. [QS Hud (11):85].
Al-Quran memberi contoh nyata tentang bentuk
Kapitalisme yaitu Riba. Allah menurunkan perintah yang amat jelas: “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak meninggalkan riba, ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu”. [QS Al-Baqarah (2):278-279].
Usaha memberantas Kapitalisme dilakukan secara bersama dan terpadu oleh
masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar –
mengajak kepada kebaikan dan mencegah setiap kejahatan, melakukan pendidikan
yang intensif kepada pihak yang menindas agar menghentikan kejahatannya, serta
pihak yang tertindas agar memperkuat diri dengan kebersamaan dan kejasama yang
baik. Pemerintah melakukan restriksi-restriksi atas cara memperoleh dan
menggunakan kekayaan. Cara yang tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan,
sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang dan dilawan. Allah
Swt menjanjikan kemenangan kepada kaum yang tertindas itu atas para penindas:
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi
itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi bumi”. [QS Al-Qashash (28):5].
Sebagaimana ada ketetapan tentang cara
memperoleh harta, juga ada ketentuan tentang penggunaannya. Rasulullah Saw
menyatakan, pertanggungjawaban manusia terhadap harta mencakup keduanya. Pada
dasarnya orang beriman memposisikan harta sebagai modal ibadah kepada Allah.
Mencukupi kebutuhan sendiri beserta keluarga, dan membantu menyelesaikan
kepentingan masyarakat adalah ibadah, karena pada dasarnya kehidupan manusia
adalah aktivitas mengabdi kepada Allah. Dia telah menugasi setiap orang: قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ - – Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Pembina semesta alam".
[QS Al-An'am (6):162]. Pernyataan "Katakanlah" tidak hanya bersifat
lisan tetapi harus diikuti dengan sikap dan perbuatan.
Allah mengijinkan orang menggunakan harta yang
diperolehnya dengan halal, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, selama tidak
melebihi rata-rata pemakaian dalam masyarakat. Menggunakan harta secara
berlebihan (tabdzir atau israf) dilarang, karena merupakan provokasi terhadap
orang-orang lain yang kekurangan. Orang yang berbuat demikian bahkan dinyatakan
sebagai kawan-kawan setan [QS Al-Furqan (25):67]. Orang yang menjadi pemimpin
atau tokoh masyarakat, seyogyanya menahan diri dari bermewah-mewah, meskipun
yang dibelanjakannya adalah harta sendiri yang halal. Dia harus berempati
kepada semua orang yang dipimpinnya; di antara mereka ada yang berkekurangan
harta. Sebaliknya, menyimpan harta secara berlebihan dan kikir dengan hartanya
itu, akan merugikan masyarakat pula. Kekayaan merupakan potensi yang bila
digunakan secara produktif akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Allah
menyatakan tentang hal ini: "Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak
untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang
yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya
sendiri. Dan Allah-lah yang Mahakaya sedangkan kamu-lah orang-orang yang
membutuhkan-(Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu)
dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)". [QS
Muhammad (47):38].
Kapitalisme tumbuh subur di dalam masyarakat
yang tidak berdasarkan tauhidullah – keyakinan kepada
Tuhan yang Maha Esa.
Masyarakat menyatakan percaya kepada Allah tetapi tidak menjadikan
ketetapan-ketetapan-Nya sebagai garis-garis yang membatasi halal dan haram
serta baik dan buruk. Orang yang tidak mengakui Tuhan yang Esa, dapat
diperbudak oleh harta benda; dia mengusahakan dan mendapatkan harta, tetapi
kemudian hartanya justru mengarahkan jalan hidupnya. Rasulullah Saw
mengungkapkan kenyataan, orang-orang yang serakah ketika sudah memiliki dua
lembah penuh emas permata, masih mengusahakan lembah yang ketiga. Cara yang
mudah untuk mendapatkan banyak harta adalah dengan menerapkan kecurangan di
dalam segala aktivitas ekonomi, baik di sektor produksi maupun distribusi.
Produksi berlebih yang diusahakan para buruh, akan memperbesar kekuatan modal
majikan, dan kekuatan itu digunakan sang majikan untuk memeras buruhnya.
Majikan juga tidak lagi merdeka; dia tunduk kepada hukum perputaran modal yang
ada padanya, yang mendorongnya menjadi makin serakah dan bengis kepada sesama
manusia.
Maka usaha untuk menguasai kekayaan dunia dan
menghindari penguasaan harta atas manusia, dilakukan dengan meningkatkan
penghayatan semua orang akan eksitensi Allah Swt, Pencipta dan Penguasa alam
beserta segala isinya. Dengan penghayatan demikian orang tidak tunduk kepada
apapun dan siapapun, dan hanya tunduk kepada Allah. Shalat merupakan tata
upacara yang ditetapkan Allah bagi setiap hamba-Nya untuk dzikir – mengingat,
dan taqarrub – mendekat, kepada Allah. Dengan dzikrullah dan taqarrub ilallah,
maka hati menjadi tenteram [QS Ar-Ra'd (13):28]. Orang yang hatinya tenteram
tidak akan melakukan kejahatan, termasuk kejahatan di bidang ekonomi [QS Al-'Ankabut
(29): 45]. Tetapi shalat yang mengarahkan manusia kepada kebaikan hanyalah yang
dilakukan oleh fisik dan jiwanya. Mereka yang lalai tentang shalatnya (tidak
menunaikan dengan hatinya) justru dikatakan sebagai orang-orang yang celaka [QS
Al-Ma'un (107):4-5].
Telah kita bicarakan bahwa dalam masyarakat
yang adilpun tetap ada golongan kaya dan golongan miskin. Perbedaan kekayaan
disebabkan oleh perbedaan kemampuan masing-masing orang dalam mengusahakan
harta, perbedaan kesempatan berusaha, dan perbedaan penghargaan masyarakat
terhadap berbagai pekerjaan yang dipilih. Di antara orang-orang miskin itu ada
yang bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Untuk
menyelesaikan masalah itu Allah memerintahkan orang beriman agar menunaikan
shadaqah, di antaranya yang bernilai hukum wajib, yaitu zakat. Al-Quran
menyatakan dengan tegas: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka; dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka [QS At-Taubah (9):103]. Zakat
membersihkan harta dari hak Allah yang terdapat dalam harta itu yang bila tidak
dikeluarkan, seluruh harta menjadi kotor sehingga tidak dapat digunakan. Zakat
menyucikan hati pemilik harta dari nafsu-nafsu buruk seperti serakah, sombong,
dengki, dan sebagainya.
Setiap orang beriman menyadari bahwa harta
yang dimilikinya adalah karunia Allah, yang disertai dengan aturan peruntukan
yang digariskan oleh Pemberinya. Salah satu di antaranya adalah untuk
melaksanakan prinsip ta'awun – gotongroyong di dalam masyarakat; antara lain
yang kaya memberi kepada yang miskin. Ta'awun mengeratkan tali silaturahim
seluruh anggota masyarakat, sehingga terhindar dari kejahatan yang bisa datang
dari sebagian mereka. Dengan demikian mukmin menghayati bahwa menunaikan zakat,
sebagaimana perintah Allah yang lain, adalah untuk kebaikannya sendiri. Maka
dia melaksanakan ketetapan Allah itu dengan sukarela dan gembira. Bahkan dengan
senang hati pula mukmin mengeluarkan dari hartanya, shadaqah sunnat, yang pasti
mendatangkan kebaikan bagi pemberi maupun penerimanya.
Karena seperti telah kita bicarakan tadi,
zakat adalah sebuah aktivitas yang suci dan menyucikan, maka harta yang
dizakati adalah yang halal. Sedangkan harta yang didapat dengan cara-cara yang
bertentangan dengan hukum, harus disita untuk Negara. Pemerintah berkewajiban
melaksanakan prinsip tersebut, karena tugas pokok Pemerintah adalah menegakkan
keadilan dan kebenaran di dalam seluruh wilayah Negara. Bila tugas tersebut
tidak ditunaikan – karena dorongan nafsu – Pemerintah menjadi bagian dari
penindas rakyat; maka Allah akan menolong pihak tertindas untuk membebaskan
dirinya dari ketidakadilan tersebut. [QS Al-Qashash (28):5].
KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Kita telah banyak membicarakan bahwa manusia
yang memenuhi jati dirinya ialah yang beriman tauhid, percaya sepenuhnya bahwa
tidak ada yang mencipta, mengatur, menguasai dan memiliki segala sesuatu
kecuali Allah. Dia menetapkan aturan-aturan bagi alam dzahir dan alam batin,
bagi benda-benda mati, seluruh species tetumbuhan, hewan, malaikat, jin dan
manusia. Keyakinan demikian itu menumbuhkan kesadaran dan semangat untuk
bekerja keras bagi kebaikan manusia sendiri dan alam raya. Kerja seperti itu
dinamai amal saleh; amal artinya perbuatan yang disengaja sedangkan saleh
bermakna selaras dengan aturan-aturan Allah. Amal saleh merupakan realisasi
iman yang sejati. Al-Quran berulang kali menegaskan hubungan tak terpisahkan
antara keduanya, antara lain bahwa manusia akan menderita kerugian yang sangat
dalam mengarungi masa hidup di dunia yang amat singkat ini, kecuali yang
beriman dan beramal saleh. [QS Al-'Ashr (104):1-3].
Dengan uraian tadi maka menjadi sangat jelas
bahwa untuk beramal saleh manusia perlu mengetahui secara mendalam
aturan-aturan Allah, yang telah Dia gariskan untuk alam raya dan manusia
sendiri. Al-Quran menyebut ketetapan-ketetapan Allah tersebut sebagai
"ayat", dan Dia memberi kemampuan kepada manusia memahami
ayat-ayat-Nya, baik yang kauniyah - aturan yang dipelajari di dalam alam,
maupun yang tanziliah - diturunkan dalam bentuk wahyu kepada Rasul-rasul-Nya.
[QS Fushilat (41):53].
Aturan-aturan Allah yang pasti dan tidak berubah itu [QS
Al-Ahzab (33):62] menggerakkan dinamika alam yang terus menerus tetapi dari
waktu ke waktu membentuk harmoni. Ayat kauniyah dan ayat tanziliah berasal dari
Allah yang Esa, maka tidak mungkin ada pertentangan di antara keduanya. Bila
seseorang merasa ada konflik antara pengetahuan dari alam dan dari wahyu, itu
hanya dapat terjadi karena pemahamannya terhadap alam yang keliru, atau
penafsirannya atas wahyu yang salah, atau kedua-duanya tidak benar.
Manusia mendapatkan pengetahuan dari segala
fakta berupa benda atau proses, yang ditangkap dengan pancainderanya. Fakta
tersebut diperhatikan dan diteliti dengan saksama dengan mempertanyakan: apa
itu, mengapa ada, bagaimana terjadinya, bagaimana perkembangannya, dan
sebagainya. Maka penelitian itu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang
merupakan pengetahuan baru. Dari waktu ke waktu manusia yang berada di berbagai
tempat dan zaman menemukan pengetahuan demi pengetahuan, menghimpunnya dengan
rapih, lalu mensistematisasikan dengan metoda tertentu; maka terbentuklah ilmu.
Orang beriman menyadari benar bahwa semua fakta dan peristiwa itu terjadi
karena Kehendak Allah dan berlangsung berdasarkan hukum Allah (Sunnatullah).
Maka bagi mukmin, ilmu pada dasarnya adalah pemahaman manusia terhadap
Sunnatullah atau Takdir. Hal ini telah kita bahas ketika membicarakan Takdir.
Sesungguhnya ilmu bukan hanya merupakan
himpunan pengetahuan (the body of knowledge) tetapi juga cara berpikir (the way
of thinking). Maka dengan ilmu orang menjelajahi dunia yang sangat luas,
mendorong diri sendiri dan masyarakatnya untuk senantiasa bergerak maju di
dalam proses yang tidak pernah berhenti. Tetapi proses yang tidak dikendalikan
dengan semestinya, akan menjadikan orang kebingungan dalam menjalani hidupnya.
Karena itu memelajari ilmu harus mencakup dua bidang yang saling mendukung
yaitu ilmu kauniyah dan ilmu tanziliah. Orang yang sukses memahami keduanya
disebut Ulul Albab, yaitu orang yang senantiasa mengingat Allah, seraya
memikirkan karya-karya agung Allah, sehingga dia mengartikulasikan suara
hatinya: "Wahai Tuhanku, sungguh tidak Engkau jadikan segala sesuatu ini
sia-sia. Semua serba indah, tiap-tiap unsur berinteraksi satu sama lain membentuk
harmoni, yang benar-benar memberi manfaat kepadaku. Maka lindungi aku dari
pikiran-pikiran sesat yang menjadikan aku ditimpa siksa neraka". [QS Ali
'Imran (3):191].
Ilmu mencakup himpunan pengetahuan manusia
yang sistematik tentang bumi dan langit beserta segala isinya, tentang malaikat
dan jin, serta tentang rohani manusia sendiri. Fakta tentang kecenderungan
serta sikap dan perbuatan manusia selama keberadaannya di alam dunia, direkam
di dalam sejarah. Maka sejarah merupakan salah satu ilmu yang sangat penting
untuk dipahami. Di dalam sejarah dicatat bukan hanya rentetan perbuatan
berbagai golongan dan kelompok manusia, tetapi juga akibat-akibatnya bagi
golongan itu sendiri dan bagi orang-orang yang bersangkutan dengan perbuatan
tersebut. Allah mengingatkan semua orang: قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ - Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu
sunnah-sunnah Allah (hukum-hukum Allah tentang sejarah manusia); karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan (Rasul-rasul). [QS Ali 'Imran 93):137].
Al-Quran memaparkan sejarah kehidupan manusia
dalam kurun waktu yang panjang, sejak manusia pertama ada di bumi ini sampai
dengan yang terjadi ketika Kitab Allah ini diturunkan, bahkan juga disertai
dengan paparan tentang apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Kebanyakan dari catatan tersebut berkenaan dengan reaksi berbagai masyarakat
yang didatangi oleh para Rasul – positif maupun negatif – beserta
akibat-akibatnya bagi mereka. Al-Quran kemudian mengemukakan tujuan pemaparan
sejarah tersebut yaitu: Pertama: Mengukuhkan iman kepada Rasulullah Saw,
seorang yang tuna aksara dan tidak pernah berguru kepada siapapun tetapi mampu
menceriterakan peristiwa masa dahulu dengan sangat baik. Kedua: meluruskan
kembali catatan sejarah, yang sering kali melenceng dari kebenaran, baik karena
kelalaian maupun kesengajaan. Ketiga: Menjadi pelajaran serta peringatan bagi
orang-orang yang beriman. Sebagaimana dikemukakan tadi, dengan memelajari
sejarah orang akan memahami Sunnatulah yang tetap mengenai manusia, sehingga
dengan pemahaman tersebut dia dapat mengoreksi diri bila berada di jalan yang
salah, dan meneguhkan hati tatkala berada di dalam kebenaran [QS Hud (11):120].
No comments:
Post a Comment