1.
KEBUTUHAN
MANUSIA AKAN INFORMASI
Manusia membutuhkan sebuah informasi. Informasi
adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang memiliki arti bagi si
penerima dan bermanfaat bagi pembentukan sebuah pengetahuan saat ini atau
mendatang .selain membentuk sebuah pengetahuan informasi juga bisa
mengurangi sebuah ketidakpastian atau menurunkan keraguan dalam diri seseorang
manusia. Informasi itulah yang membentuk pemikiran-pemikiran kita
terhadap sesuatu hal. Maka jika informasi yang kita terima salah pemikiran kita
pun pasti salah. Dan pemikiran yang salah bukan hanya tidak dikehendaki tapi
juga dapat berbahaya. Maka manusia membutuhkan bukan hanya sebuah informasi
namun juga informasi yang benar.
Manusia merupakan mahluk yang tidak mempunyai alat
pertahanan diri dalam bagian tubuhnya seperti mahluk hidup lain namun manusia
dikaruniai akal untuk bekerjasama dalam bertahan hidup. Tanpa bekerja sama
manusia pasti tidak akan bisa bertahan hidup sampai sekarang karena kebutuhan
manusia akan manusia lain itulah manusia disebut mahluk social.
Manusia untuk bekerjasama dengan manusia lainnya
saling berkomunikasi dengan menyampaikan pesan-pesan dari satu manusia ke
manusia lain atau dari satu manusia ke dalam satu kelompok manusia. Pesan-pesan
tersebutlah yang nanti akan disebut informasi.
Semakin banyak manusia dan semakin majunya
pengetahuan terutama setelah mengenal tulisan, manusia tidak lagi hanya
mengenal informasi langsung melalui komunikasi tapi informasi tersebut mulai
menggunakan sesuatu alat lain untuk menyampaikan informasi agar informasi
tersebut bisa didokumentasikan agar dapat dinikmati oleh banyak orang. Alat
tersebutlah yang nantinya banyak dikenal dengan nama “media” dan produk
kumpulan informasi tersebut yang nanti akan dikenal dengan nama “berita”.
Dalam banyak kasus pada jaman kerajaan media
penyampai informasi ternyata hanya dikuasai oleh sang penguasa saja yang
artinya informasi yang dapat dikatakan benar adalah informasi milik kerajaan
dan dengan itu kerajaan dapat menggunakan monopoli informasi untuk membenarkan
segala sesuatu tindakan penguasa sekalipun itu menindas.
Monopoli media dari kerajaan tentu saja menimbulkan
keresahan dari kalangan masyarakat terutama masyarakat yang berpikir antara
realita yang terjadi dan informasi yang disampaikan oleh kerajaan. Masyarakat
yang resah kemudian membuat media-media tandingan untuk melawan
informasi-informasi yang disampaikan oleh kerajaan dengan fakta-fakta yang
terjadi dilapangan. Dan baru pada masa modern berita mulai dikaji secara
akademis kegiatan untuk mencari, mengelola dan menerbitkan berita (jurnalisme/pers)
dan masyarakat mulai memperjuangkan kebebasan mencari dan mengeluarkan berita.
Setelah pengkajian secara akademis dan melalui
perjuangan masyarakat menghasilkan perceraian antara politik dan jurnalisme.
Bukan hanya itu pers juga menjadi salah satu kekuatan masyarakat dan salah satu
system politik menjadikan pers sebagai salah satu pilarnya yang berada diluar
system politik formal.
Dengan demikian pers menjadi kebutuhan bagi
masyarakat karena fungsinya yang bisa mengontrol pemerintah dan memberikan
edukasi kepada masyarakat tentang apa yang tejadi secara factual. Tapi
kebutuhan akan pers ini juga harus diimbangin dengan kompetensi-kompetensi
terhadap kegiatan jurnalistik itu sendiri agar berita yang disajikan bisa
dikatakan benar dan mencerdaskan.
2.
SEJARAH
PERKEMBANGAN PERS
Secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press
(inggris), atau presse (prancis), berasal dari bahasa latin, perssare dari kata
premere, yang berarti “Tekan” atau “Cetak”, definisi terminologisnya adalah
“media massa cetak” atau “media cetak”
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, Pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan
media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
BERBAGAI literatur tentang sejarah jurnalistik (jurnanlism) senantiasa merujuk pada "Acta Diurna" pada zaman Romawi Kuno, khususnya masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
"Acta Diurna" adalah papan pengumuman, sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang. Acta Diurna diyakini sebagai produk jurnalistik pertama, pers, media massa, atau surat kabar harian, atau koran pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai "Bapak Pers Dunia".
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada "Annals", yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan atau informasi bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada "Acta Diurna". Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya.
Papan pengumuman itu dipasang di pusat kota yang disebut "Forum Romanum" (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Berita di "Acta Diurna" kemudian tersebarluaskan.Saat itulah muncul para "Diurnarii", yakni orang-orangyang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan "Acta Diurna" itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Tahun 911 M atau abad 8 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama "KingPau" atau "Tching-pao", artinya "Kabar dari Istana". Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan suratkabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama "Gazetta" lahir di Venesia, Italia, tahun1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah,tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah "Oxford Gazzete" di Inggris tahun 1665M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi "London Gazzette". Ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah "Newspaper".
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah "Journalism". Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, "Publick Occurences Both Foreignand Domestick", di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada
Abad ke-17, kaum bangsawan di Inggris
umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang
bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis)
bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan.
Pada saat yang sama, koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis. Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing.Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss, jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847-1930) dan Max Weber (1864- 1920) dengan nama "Zeitungskunde" tahun 1884 M Di Amerika mulai dibuka "School of Journalism" di Columbia University tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula keterampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan. Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa.
Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensor pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang. "Perceraian" antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an. Wajah jurnalisme pun menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan "sekilas". Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
3.
DASAR-DASAR
PERS
1.
Kewajiban
utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran
Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa
masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut
kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan
kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran
fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat.
Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah.
Semua ini adalah kebenaran fungsional.
Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.
Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.
Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.
2.
Loyalitas
utama jurnalisme adalah pada warga Negara
Tapi mengetahui mana yang benar dan mana
yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua
dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada
perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”
Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).
Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.
Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.
3.
Esensi
jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Lantas bagaimana dengan beragamnya
standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi
bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap
wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal
verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering
menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme
ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.
Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya
Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.
Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.
Byline diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.
Wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).” Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
4.
Jurnalis
harus menjaga independensi dari obyek liputannya..
Kovach dan
Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom
opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan
sikapnya dengan jelas. Kalau begitu wartawan boleh tak netral?
Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
“Wartawan yang menulis kolom memang
punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di
atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times
Menulis kolom ibaratnya, menurut
Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang
tak setuju dengan saya.”
Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.
Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama,
ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan
mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan
Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan
lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.
Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.
5.
Jurnalis
harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan.
Memantau kekuasaan bukan berarti melukai
mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya,
“jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut
menegakkan demokrasi.
Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.
Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.
Salah satu konsekuensi dari investigasi
adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana
mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat
mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini.
Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali.
Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media
bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media
besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan
labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.
Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”
6.
Jurnalis
harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi
Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai
forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar
yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa
datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga
disediakan cerutu serta minuman.
Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.
7.
Jurnalis
harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan
jurnalisme harus memikat sekaligus
relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca
dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang
komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.
Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.
Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.
Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
8.
Jurnalis
harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
Proporsional serta komprehensif dalam
jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana
yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara
si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan
Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa
ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.
Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
9.
Jurnalis
harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Setiap wartawan harus mendengarkan hati
nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan
seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial.
Ini elemen yang kesembilan.
Mennciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.
Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.
4.
INDEPENDENSI
PERS MAHASISWA
Menurut futrah kejadiannya, maka manusia
diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya kemerdekaan pribadi adalah hak yang
pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada kemerdekaan itu. Sifat
dan suasana bebsas dan kemerdekaan seperti di atas adalah mutlak diperlukan
terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan. Masa/fase
pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau
generasi muda.
Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang
dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya. Sifat kepeloporan,
keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda, yaitu
kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang
didasarkan pada objektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan
dengan baik apabila mereka dalam suasana bebas merdeka dan demokratis objektif
dan rasional. Sikap ini adalah yang progresif (maju) sebagai ciri dari pada
seorang intelektual. Sikap atas kejujuran kejujuran dan objektivitas.
Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia memikul tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum muda terdidik harus sadar akak kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan sebagai keuatan moral atau moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi social control. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa merupakan kelompok yang bebas dari kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan objetivitas demi kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap spesialisasi kemahasiswaan ini, maka dala dinamikanya seorang Pers Mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai oleh sikap independen.
Atas dasar keyakinan itu, maka pers sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat independen. Penegasan ini dirumuskan dalam kode etik pers dan Sembilan elemen jurnalistik yang mengemukakan secara tersurat bahwa “wartawan harus bersitat independen” sifat dan watak independen bagi pers terlebih pers mahasiswa adalah merupakan hak azasi yang pertama.
Independensi menjadi pilihan mutlak dibanding netralitas melihat fungsi dan peran pers mahasiswa sebagai social control yang harus berpihak pada kepentingan masyarakat terutama kaum-kaum tertindas. Dalam melaksanakan dinamika organisasi, pers mahasiswa secara organitoris tidak pernah commited dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun kecuali tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran dan objektifitas kejujuran dan keadilan.
Dalam menjalankan garis indenpensi pers mahasiswa dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, semata-mata adalah untuk memelihara mengembangkan anggota serta peranan pers mahasiswa dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap pers mahasiswa semata-mata adalah kepentingan masyarakat luas bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun. Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.
5.
POLITIK
DAN PERJUANGAN PERS MAHASISWA
Informasi merupakan kebutuhan manusia
dan berita menjadi penting untuk menyajikan informasi yang benar dan factual
bagi masyarakat. Namun selain benar informasi yang menjadi kebutuhan adalah
mendidik, menghibur, dan bertanggung jawab. Maka dari itu seorang pers
mahasiswa haruslah independen dalam mengerjakan tugas pemberitaan dan harus
memperjuangkan sifat independennya dari segala sesuatu yang membelenggu.
Sebagai bagian dari masyarakat dalam sebuah Negara pers mahasiswa dapat berkolaborasi dengan Pemerintah. Pemerintah merupakan kelompok paling kuat dalam struktur kemasyarakatan dalam sebuah Negara. Maka dari itu pers sendiri harus menjamin kolaborasi dengan pemerintah tidak membatasi sifat independen dari seorang pers. Sudah pada dasarnnya seorang pers (karena memiliki akses lebih dengan sumber-sumber informasi) bertanggung jawab kepada masyarakat lain dengan jalan mengawasi pemerintah dan mengabarkannya melalui berita. Pemerintah dalam Negara demokrasi juga berkewajiban untuk melindungi kerja-kerja pers untuk mendapat informasi yang benar. Kewajiban melindungi kegiatan pers bukan hanya dengan perhatian namun juga dengan jaminan atau dasar hukum. Karena dalam Negara demokrasi pemerintah adalah pemegang amanat rakyat dan pers sebagai penyambung lidah rakyat kepada pemerintah. Pers dalam menuntut haknya juga harus memebuhi kewajibannya dengan senantiasa meningkatkan kualitas-kualitas dari anggotanya untuk melakukan kerja jurnalistik maupun dari produk jurnalistik itu sendiri. Aturan dalam kegiatan jurnalistik mutlak diperlukan selain untuk melindungi pers dalam melakukan pencarian berita namun juga untuk melindungi masyarakat dari kecerobohan, kebodohan, dan kepentingan wartawan. Aturan tersebut juga harus dibuat oleh pers situ sendiri atas kesepakatan bersama pemerintah dimana pers membuat sebuah suatu perkumpulan untuk mengakaji kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan.
Berita tidak cukup hanya menyajikan fakta saja tapi juga harus menyajikan secara benar dan mendidik. Pembuat berita harus mempertimbangkan efek dari hasil kerjanya jika sampai kepada masyarakat. Seorang pers harus bisa memilih mana berita yang dianggap penting dan dibutuhkan oleh masyarakat. Membuat berita dengan dasar kebencian hanya akan menimbulkan keresahan dimasyarakat. Seorang pers harus jujur dalam melihat suatu kebenaran lapangan yang tidak selalu sesuai dengan dirinya. Seorang jurnalis juga bisa memberikan opininya jika diperlukan untuk tujuan terterntu. Namun sebuah mendia juga harus memberi ruang kritik atau perdebatan dari masyarakat. Maka manajemen konten menjadi penting untuk suatu produk jurnalistik.
Pers harus ikut dalam perjuangan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur. Namun dalam masyarakat sendiri terdapat pertarungan-pertarungan keinginan satu sama lain. Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan. Pers sebagai kekuatan di luar pemerintah harus mengambil peranan aktif dalam mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik. Jalan yang diambil seorang pers adalah dengan menegakkan keadilan. Dalam masyarakat pertarungan keinginan yang paling umum adalah dalam bidang ekomoni dimana golongan-golongan antara penguatan . Pertarungan tersebut yang membuat jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan proses selanjutnya yaitu bila mencapai batas maksimal pertarungan golongan akan menghancurkan sendi-sendi tatanan social.
Kejahatan yang menyeluruh dalam bidang ekonomi adalah kapitalisme. Dengan kapitalisme, dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan. Kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya. Kekayaan dan Kemiskinan memang tidak dapat dihindarkan namun dalam batas-batas tidak wajar akan melahirkan penindasan. Sama seperti capital yang tidak terhindarkan namun jika menjadi paham akan berbahaya dan cenderung menindas. Maka dari itu pers harus dapat memainkan peran advokasi bagi kaum-kaum tertindas dengan jalan membuat produk jurnalistik yang mendidik. Menegakkan keadilan adalah membantu orang yang dirampas hak-hak hidupnya untuk mendapatkannya kembali. Pers mempunyai peranan sendiri dalam ikut berjuang untuk menegakkan keadilan. Maka seorang pers mahasiswa juga dituntut peka dalam melihat keadaan sekitar dan memilah mana yang tertindas dan mana yang menindas.
Kelahiran Pers di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan. Tidak seperti di belahan dunia lain, Pers di Indonesia lahir dengan semangat menentang penindasan dan pembelaan rakyat. Tirto Adi Soerjo, sang pelopor jurnalistik di Indonesia, menerbitkan Medan Prijaji dengan membahas kasus-kasus yang menimpa rakyat miskin, membedah peraturan hukum Hindia Belanda sehingga kalangan pribumi tidak gampang dijerat dan dibodohi, hingga pemuatan karya sastra yang menyuarakan kepentingan rakyat (dimana tidak jarang diadaptasi dari sebuah kisah nyata). Sementara itu Pers mahasiswa yang lahir bertahun-tahun setelah itu, membawa sebuah semangat anti penindasan kolonialis dan menyeru perjuangan demi kemerdekaan.
6.
REFERENSI
1. Ibn
Khaldun – Mukadimah
2. Andreas
Harsono – Resensi buku Sembilan elemen Jurnalistik
3. Nurcholis
Madjid – Nilai-nilai Dasar Perjuangan
No comments:
Post a Comment