SEBAIKNYA, setiap
pengarang mempunyai program sastranya sendiri. Pengalaman, pendidikan, dan
kepercayaan mempengaruhi memori, imajinasi, dan pemikiran. Jalinan kemampuan
itu dapat dikembangkan dengan cara teratur hingga karya-karya sastra
pengarang dapat dilihat dari pikiran-pikiran dasar, masalah, tokoh-tokoh dan
bangunan karya sastranya. Kepribadianlah yang membentuk program sastra.
Kepribadian yang matang, mantap, namun selalu terbuka dan sanggup menerima
serta mencari kemungkinan baru. Di sinilah letak sifat kreatif kepribadian
pengarang. Pribadi yang beku dan keras, hanya akan menghasilkan satu kata saja
dari sejumlah karya sastra. Orang tidak akan menyukai ketunggalan berpikir.
Apakah
pikiran-pikiran harus dikemukakan secara menyolok? Mereka yang halus menyembunyikan
kepercayaan yang jadi pikiran dasar karya sastranya. Mereka yang kasar suka
menonjolkan habis-habisan dan memaksa sejadi-jadinya. Sastra yang baik memilih
kehalusan, kebebasan pembaca, dan tidak menggurui. Pikiran-pikiran tidak
terpisah, tetapi menyatu dengan jalan cerita. Apabila dalam kalimat pertama
saja orang sudah dapat menduga seluruh isi, dan tak ada kerahasiaan lagi, orang
yang arif tak akan suka membaca.
Juga penyajian
pikiran-pikiran kolektif dari pengarang tanpa kejujuran dan kepribadian berbuah
sastra yang kering, sebagai mengulang perjalanan yang sama dan menjemukan.
Sebaliknya, pengarang
yang tidak mempunyai kerangka pandangan, hanya akan menjadi pelapor dari khayal
dan kehidupan yang tak bermakna. Kadang-kadang memang banyak yang ditulis
tetap tidak menjadi penting. Bisa saja dilupakan seperti orang melupakan banyak
kejadian sehari-hari. Mesin-mesin penghasil cerita tidak akan sanggup memberi
warna karya sastra.
Program sastra
dilancarkan dalam karya sastra dengan prinsip patut mendapat upah yang berarti.
Memang ada pembaca yang tak menuntut upah semacam itu, dan malah mencaci maki
ketika upah itu dirasa terlalu banyak. Tetapi lupakanlah saja mereka, karena
sikap itu tidak benar. Banyak orang menolak untuk berpikir, padahal peradaban dibangun
oleh pikiran-pikiran. Sekali manusia berhenti berpikir, peradabanpun boleh
lenyap. Kita takut kepada kemiskinan pikiran, sebagai mana kita takut
kepada kemiskinan material.
Program sastra
dilancarkan dalam karya sastra dengan prinsip seleksi. Pengarang yang
terprogram bersikap selektif terhadap realitas yang ditangkapnya, mengendalikan
khayalnya. Tidak semua masalah, tokoh-tokoh cerita dapat mendukung
pikiran-pikirannya. Ia harus melakukan pilihan dengan tepat, apa yang bisa
ditulis dan apa yang harus ditinggalkan. Dalam benak pengarang kadang-kadang
berjejal banyak cerita yang bisa dituturkan, tetapi tunggulah. Pengarang
harus mengendapkan dahulu bahan itu, sampai suatu ketika ia menemukan makna
yang lebih dalam dari cerita itu, bukan sekedar mengasyikkan. Semua pengarang
pasti ingin menulis sebanyak-banyaknya, tetapi baiklah dipakai prinsip seleksi.
Seleksi itu akan timbul sewajarnya dari program sastra. Setiap karya yang
dituliskan hendaknya adalah bagian dari program itu, seperti juga program sastra
menjadi bagian dari pribadinya.
Setiap kerangka
cerita harus dicarikan tempat duduknya dalam kerangka pikiran pengarang tentang
hidup. Kemudian dituliskan, dan barulah suatu karya mempunyai arti, setidaknya
menurut pengarangnya. Mungkin juga terjadi, apa yang dianggap berarti oleh
pengarang tidak dianggap berarti oleh pembaca. Itu suatu hal yang biasa. Yang
penting bagi pengarang ialah kalau semua karyanya mewakili dirinya,
mencerminkan pribadinya. Pengarang tidak boleh asing dengan karyanya sendiri, artinya
tidak boleh mencipta apa yang tak diyakininya. Kalau terjadi penciptaan tanpa
kesadaran, karya sastra itu adalah anak haram. Melahirkannya adalah dosa.
Mungkin terjadi,
gairah menulis akan hilang bila pengarang menunda gairah menulisnya. Tidak perlu
putus asa, pengarang yang baik tak akan kehabisan bahan. Untuk mengisi karya
sastra dengan kadar intelektuil diperlukan waktu dan tenaga. Pergulatan antara
rangsang untuk menulis dan kehendak untuk memberi bobot adalah ujian bagi
kesabaran pengarang. Pengarang harus berusaha mengendalikan
rangsangan-rangsangan alamiah untuk dipadukan dengan kekuatan akal. Pengarang
jangan condong kepada salah satu saja. Intelektualisme dapat membahayakan
sastra, karena sifat abstrak dan keringnya. Padahal sastra kurang lebih adalah
hidup yang aktuil. Untuk menuliskannya hanya pikiran-pikiran baik diserahkan
orang lain. Sastra yang lengkap ialah yang hidup, sebagai hidup sehari-hari,
tetapi dengan makna. Sastra yang pincang ialah yang mengawang, atau yang sangat
keseharian. Pikiran filosofis sering cenderung ke sastra yang abstrak, kritik
sosial yang cenderung ke keseharian.
Untuk membenarkan
kedudukan sastra dalam masyarakat, sastra harus mempunyai jalannya sendiri.
Yaitu jalan yang tidak ditempuh oleh sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi,
antropologi, dan juga yang bukan mata orang awam. Sastra terletak sedikit
di atas atau dibawah kehidupan sehari-hari. Di atas, dalam arti sanggup menarik
makna dari kehidupan. Di bawah, yaitu sanggup melihat bagian yang paling kecilpun
dari kehidupan. Ia sanggup melihat manusia dari abstraknya dari konkritnya,
semua dimensinya, manusia luar dan dalam.
Tokoh-tokoh dalam
karya sastra adalah orang dari hidup sehari-hari, tetapi yang tak terjangkau
oleh filsafat, ilmu dan mata awam. Gambaran sastra tentang hidup lebih tajam
dan cermat. Sastra dapat menangkap manusia secara lengkap. Pengarang yang
mencipta tokohnya, mengetahuinya sedalam-dalamnya, kesadaran dan
ketidaksadarannya. Pengetahuannya tidak terbatas kepada data-data faktuil,
tetapi mengetahui seginya yang paling rahasia. Oleh karena itu pengarang dapat
menjadi wakil yang tepat dari kemanusiaan.
Penerapan prinsip
seleksi sering mengebiri kemampuan mencipta pengarang. Kekurangan itu dapat
ditutup dengan usaha mencari pengalaman baru, mempertajam kepekaan, memperkaya
diri dengan kecerdasan dan pengetahuan empiris. Fiksi yang bertumpu pada
ingatan, pengalaman, khayal, penyelidikan tidak akan kehabisan tenaga.
Tanpa ikatan dengan
suatu program karya-karya sastra pengarang akan nampak sebagai cakar ayam.
Tidak menunjuk ke kesatuan pernyataan pengarang. Apakah program itu suatu
belenggu? Ya dan tidak. Tergantung dari kelenturan pikiran pengarang. Dogmatis
terbelenggu oleh pikirannya, tetapi mereka yang longgar pikiran tidak. Program
hanya penunjuk jalan. Perlu diingat pula, pengarang tidak dinilai dari
programnya, tetapi dari karya sastranya. Sebab, sastra masih saja tetap sebagai
sastra, yang dapat dinikmati dan dibaca itu.
Program sastra
menguntungkan pengarang. Pertama, sebagai pedoman untuk menjadikan karya
sastranya sebagai suatu keutuhan. Kedua, dapat menjadikan sastra sebagai bagian
yang sah dari pribadinya. Ketiga, ada sumbangan positif kepada sesamanya, kalau
pikiran-pikirannya diperhatikan. Tetapi apabila dengan program ia dikuasai oleh
kebekuan, maka sastranya akan terasing, terpencil, tidak ada relevansi dengan
kehidupan. Memang tidak selalu pengarang yang terpencil adalah dogmatis, tetapi
pengarang yang dogmatis pasti terpencil. Keterpencilan pengarang yang
berprogram diterima sebagai tragedi. Pengarang yang tak punya pamrih, kecuali
menyatakan kejujuran tentang apa yang diketahuinya, bisa terasing dari
masyarakat. Marilah kita mendorong pemberani-pemberani.
Program sastra dapat
dianggap sebagai pertanggungan jawab pengarang. Mengarang tanpa suatu program,
sama dengan mengobral kata dengan sia-sia. Kesia-siaan adalah musuh peradaban,
kecuali kalau orang menganggap hidup itu sia-sia. Sekali pengarang menangkap
makna dari kehidupan, ia mengambil sikap, dan tak jemu-jemunya ia menyajikan
lewat karya-karyanya.
Program itu tidak
harus dituturkan dalam satu sistem filsafat, tetapi tersirat dalam setiap karya
sastra. Pendek kata, pengarang harus tahu untuk apa dia itu menulis, hingga
pekerjaan itu tidak muspra. Hanya pengarang yang mempunyai program sastra dapat
mengetahui tujuan-tujuannya sendiri, dan mengembangkan kreativitasnya.
Pikir-pikirlah
tentang suatu program sastra!
Jakarta,
Desember 1972
Kuntowijoyo,
Prof, Dr., lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta (18 September
1943 – meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun) adalah seorang
budayawan, sastrawan, dan sejarawan Indonesia.
No comments:
Post a Comment