Shindunata : Filsafat Itu Gelisah - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Sunday, February 11, 2018

Shindunata : Filsafat Itu Gelisah


Oleh : Shindunata
Tak ada kata berhenti bagi filsafat. Filsafat itu selalu mencari. Karena itu siapa berfilsafat, ia selalu resah. Tak mungkin ia menepiskan keresahan itu daari hidupnya. Tak jarang keresahan menuntutnnya berdiri dijurang tanda Tanya: benarkah yang saya pegang selama ini? Jika tidak, ia pun akan nekat terjun ke jurang tersebut, dan bergulat lagi dengan pertanyaan yang makinn giris dan menggugat pegangan hidupnya selama ini.

Hal itulah yang secara ekstrem dialami Nietzsche. Ia berpendapat, manusia ditandai dengan “tanda Tanya”. Dan menurut dia, tanda Tanya itu adalah keingin tahuan yang sangat berbahaya. Didorong oleh keingintahuan itu, setelah sembuh dari sakit yang berat, pada tahun1886, Nietzsche bertany, dapatkah orang menjungkirkan dan memutar semua nilai yang selama ini jadi pegangannya? Kalai ya, tidakkah yang baik itu adalah yang jahat? Dan Tuhan?, hanyalah penemuan dan akal licik dari setan belaka? Adakah semua hal pada dasarnya salah? Jika kita adalah pihak yang tertipu, tidakkah justru karena itu kita juga adalah pihak yang menipu?

Selalu bertanya, dan karenanya juga siap senantiasa untuk berubah, itulah yang dilakukan oleh filsuf Polandia, Leszek Kolakowski (81), yang baru saja meninggal dunia, bulan juli 2009 lalu. Kolakowski dilahirkan pada 1972 di kota industry Random. Semasa invasi Jerman di Polandia tahun 1945, Kolakowski yang waktu itu belum genap berumur delapan belas tahun hanya punya satu keinginan, yakni menjadi komunis. Maklum ia anti Gestapo, yang telah membunuh ayahnya. Dan ia anti-kapitalisme, yang pada hematnya telah menyediakan tanah yang subut bagi tumbuhnya rezim otoriter Hitler. Hanya komunismelah yang bisa menentukan masa depan. Kolakowski lalu masuk dalam organisasi kepemudaan Partai Komunis. Semboyan “perdamaian, kesamarataan, dan kebebasan” dipegangnya untuk melawan khayalan filsafat Katolik dan kaum borjuis yang sedang melapuk.

Kolakowski yang muda dan cerdas itu menjadi binyang harapan para kamerad dan fungsionaris partai. Ternyata dengan tajam ia mulai mengkritisi ajaran partai dan berpendapat, marxisme harus direformasi. Lebih dari anggota partai Kolakowski adalah filsuf. Maka wajar bila ia mengutamakan akal dan pikiran daripada doktrin partai. Ia berpendapat, adalah penghinaan terhadap akal manusia, bahwa komunisme mengidentikkan kebenaran, yakni kaum ploretariat. Kolakowski menjadi makin propokatif, ketika ia mengkritik dan bersikap negative terhadap apa saja yang dimutlakkan, termasuk absolutism ploretariat. Ia bilang lebih baik ia mengambil posisi yang dianggap sinting daripada melalaikan kehati-hatian dan kecurigaan terhadap klaim-klaim absolutis. (Thomas Assheuer, die Zeit, 23 Juli 2009)

Tahun 1996 Kolakowski memihak mahasiswa dan menentang cara-cara terror yang dilakukan partai komunis untuk membentuk pendapat masyarakat. Ia pun dicap revisionis dan intelektual yang nihilistis. Ia meracuni pikiran-pikiran anak muda, seperti yang dilakukan Socrates. Ia terus melakukan perlawanan dengan pemikirannya yang kritis. Dan  lahirlah masterpiece-nya yang mendapat reputasi internasional, yakni tiga seri tebal tentang aliran-aliran pokok dalam marxisme. Dalam karyanya ini Kolakowski melucuti penipuan-penipuan yang dilakukan oleh ajaran marxisme yang ortodoks. Tudingnya,  mereka telah mengubah dan memanipulasi harapan-harapan manusia yang penuh dengan tanda Tanya menjadi kebenaran-kebenaran yang absolut. 

Mereka seakan menjemput kebenaran-kebenaran itu dari tabernakel masa depan, padahal sebelumnya mereka sendiri telah meletakkan kebenaran-kebenaran tersebut. Marxisme bermula dari upaya peluhuran manusia, tapi berakhir dengan tragedy berdarah. Itulah yang teradi dengan stalinisme, dimana manusia dinistakan dengan perbudakan dan penghambaan yang feudal dimana kehidupan manusia dibenamkan oleh samudra pembohongan. Ramalan-ramalan marxisme ternyata berakhir dengan kebohongan. “Marx pasti tidak mengasosiasikan komunisme dengan Gulag. Tapi bahwa komunisme terlaksana sebagai gulag. Itu semua pasti bukan suatu kebetulan,” kata Kolakowski.

Di mata Kolakowski, marxisme tak ubahnya seperti teologi dan pendirian pseudo-religious, yang suka bermain-main dengan imajinasi dan spekulasi masa depan Kolakowski mengatakan, bukan keadilan tapi kebebasanlah nilai  tertinggi bagi manusia. Ia menjauhi kebenaran-kebenaran marxisme yang pseudo-religius itu. Yang harus dilakukan manusia adalah menyegarkan kembali pencerahan budi, demokratisasi kekuasaan, dan pembagian yang adil dari sumberdaya yang terbatasa.

Tahun 1989 komunisme benar-benar gulung tikar. Dan Francis Fukuyama merayakan kejatuhan itu sebagai akhir sejarah, dimana satu-satunya yang akan Berjaya meraja adalah kapitalisme dan demokrasi. Kolakowski tidak ikut dalam perayaan tersebut. Baginya, kapitalisme barat tetaplah dipenuhi oleh kepalsuan, dimana berkuasa setan-setan lama, yang menggoda manusia untuk mendewakan dirinya sendiri tanpa batas. 

Dalam kapitalisme, manusia tidak hidup dari kebebasannya. Sementara derajat dan kemampuan akal manusia sudah diturunkan hanya menjadi alat untuk kepentingan dirinya sendiri. Kata Kolakowski, sekarang kita tidak takut lagi akan komunisme tapi akan serba ketidakpastian, karena kita telah menggerogoti dasar-dasar terdalam hidup kita, dimana seharusnya dibagun kepercayaan akan kehidupan. kepercayaan itu hilang. Gantinya adalah ketakutan yang serba tidak jelas dan menentu.

Kolakowski juga mengkritik pemikiran liberal yang merebak dalam kapitalisme. Pemikiran liberan yakin bahwa yang jahat bisa ditiadakan begitu saja. Menurut Kolakowski itu mustahil sebab yang jahat itu masuk lewat celah dunia. Yang tidak kita ketahui tapi harus kita waspadai. Pendeknya, kita harus bisa hidup dalam konflik antara yang baik dan yang jahat. Konflik itu membuat kita berani menerima perbedaan dan ketidak cocokan. Itulah dasar toleransi, yang akan membuat kita memeluk kebaikan tanpa kecurigaan, menjadi berani tanpa fanatisme, hidup dengan kecerdasan tanpa keraguan, serta memupuk harapan tanpa setumpuk khayalan.

Begitulah Kolakowski, filsuf yang terus gelisah sampai akhir hayatnya. Memang, kegelisahan yang terus bertanya adalah ciri khas filsafat.


Reproduksi dari:
Majalah BASIS Nomor 09-10, Tahun Ke-58, September – Oktober 2009
Rubrik “Tanda-Tanda Zaman” Hal 03

No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages