Oleh :
Shindunata
Tak ada kata berhenti bagi filsafat. Filsafat itu selalu mencari. Karena itu siapa
berfilsafat, ia selalu resah. Tak mungkin ia menepiskan keresahan itu daari
hidupnya. Tak jarang keresahan menuntutnnya berdiri dijurang tanda Tanya:
benarkah yang saya pegang selama ini? Jika tidak, ia pun akan nekat terjun ke
jurang tersebut, dan bergulat lagi dengan pertanyaan yang makinn giris dan
menggugat pegangan hidupnya selama ini.
Hal
itulah yang secara ekstrem dialami Nietzsche. Ia berpendapat, manusia ditandai
dengan “tanda Tanya”. Dan menurut dia, tanda Tanya itu adalah keingin tahuan
yang sangat berbahaya. Didorong oleh keingintahuan itu, setelah sembuh dari
sakit yang berat, pada tahun1886, Nietzsche bertany, dapatkah orang
menjungkirkan dan memutar semua nilai yang selama ini jadi pegangannya? Kalai
ya, tidakkah yang baik itu adalah yang jahat? Dan Tuhan?, hanyalah penemuan dan
akal licik dari setan belaka? Adakah semua hal pada dasarnya salah? Jika kita
adalah pihak yang tertipu, tidakkah justru karena itu kita juga adalah pihak
yang menipu?
Selalu
bertanya, dan karenanya juga siap senantiasa untuk berubah, itulah yang
dilakukan oleh filsuf Polandia, Leszek Kolakowski (81), yang baru saja
meninggal dunia, bulan juli 2009 lalu. Kolakowski dilahirkan pada 1972 di kota
industry Random. Semasa invasi Jerman di Polandia tahun 1945, Kolakowski yang
waktu itu belum genap berumur delapan belas tahun hanya punya satu keinginan,
yakni menjadi komunis. Maklum ia anti Gestapo, yang telah membunuh ayahnya. Dan
ia anti-kapitalisme, yang pada hematnya telah menyediakan tanah yang subut bagi
tumbuhnya rezim otoriter Hitler. Hanya komunismelah yang bisa menentukan masa
depan. Kolakowski lalu masuk dalam organisasi kepemudaan Partai Komunis.
Semboyan “perdamaian, kesamarataan, dan kebebasan” dipegangnya untuk melawan
khayalan filsafat Katolik dan kaum borjuis yang sedang melapuk.
Kolakowski
yang muda dan cerdas itu menjadi binyang harapan para kamerad dan fungsionaris
partai. Ternyata dengan tajam ia mulai mengkritisi ajaran partai dan
berpendapat, marxisme harus direformasi. Lebih dari anggota partai Kolakowski
adalah filsuf. Maka wajar bila ia mengutamakan akal dan pikiran daripada
doktrin partai. Ia berpendapat, adalah penghinaan terhadap akal manusia, bahwa
komunisme mengidentikkan kebenaran, yakni kaum ploretariat. Kolakowski menjadi
makin propokatif, ketika ia mengkritik dan bersikap negative terhadap apa saja
yang dimutlakkan, termasuk absolutism ploretariat. Ia bilang lebih baik ia mengambil
posisi yang dianggap sinting daripada melalaikan kehati-hatian dan kecurigaan
terhadap klaim-klaim absolutis. (Thomas Assheuer, die Zeit, 23 Juli 2009)
Tahun
1996 Kolakowski memihak mahasiswa dan menentang cara-cara terror yang dilakukan
partai komunis untuk membentuk pendapat masyarakat. Ia pun dicap revisionis dan
intelektual yang nihilistis. Ia meracuni pikiran-pikiran anak muda, seperti
yang dilakukan Socrates. Ia terus melakukan perlawanan dengan pemikirannya yang
kritis. Dan lahirlah masterpiece-nya
yang mendapat reputasi internasional, yakni tiga seri tebal tentang
aliran-aliran pokok dalam marxisme. Dalam karyanya ini Kolakowski melucuti
penipuan-penipuan yang dilakukan oleh ajaran marxisme yang ortodoks.
Tudingnya, mereka telah mengubah dan
memanipulasi harapan-harapan manusia yang penuh dengan tanda Tanya menjadi
kebenaran-kebenaran yang absolut.
Mereka seakan menjemput kebenaran-kebenaran
itu dari tabernakel masa depan, padahal sebelumnya mereka sendiri telah
meletakkan kebenaran-kebenaran tersebut. Marxisme bermula dari upaya peluhuran
manusia, tapi berakhir dengan tragedy berdarah. Itulah yang teradi dengan
stalinisme, dimana manusia dinistakan dengan perbudakan dan penghambaan yang
feudal dimana kehidupan manusia dibenamkan oleh samudra pembohongan.
Ramalan-ramalan marxisme ternyata berakhir dengan kebohongan. “Marx pasti tidak
mengasosiasikan komunisme dengan Gulag. Tapi bahwa komunisme terlaksana sebagai
gulag. Itu semua pasti bukan suatu kebetulan,” kata Kolakowski.
Di
mata Kolakowski, marxisme tak ubahnya seperti teologi dan pendirian
pseudo-religious, yang suka bermain-main dengan imajinasi dan spekulasi masa
depan Kolakowski mengatakan, bukan keadilan tapi kebebasanlah nilai tertinggi bagi manusia. Ia menjauhi
kebenaran-kebenaran marxisme yang pseudo-religius itu. Yang harus dilakukan
manusia adalah menyegarkan kembali pencerahan budi, demokratisasi kekuasaan,
dan pembagian yang adil dari sumberdaya yang terbatasa.
Tahun
1989 komunisme benar-benar gulung tikar. Dan Francis Fukuyama merayakan
kejatuhan itu sebagai akhir sejarah, dimana satu-satunya yang akan Berjaya
meraja adalah kapitalisme dan demokrasi. Kolakowski tidak ikut dalam perayaan
tersebut. Baginya, kapitalisme barat tetaplah dipenuhi oleh kepalsuan, dimana
berkuasa setan-setan lama, yang menggoda manusia untuk mendewakan dirinya
sendiri tanpa batas.
Dalam kapitalisme, manusia tidak hidup dari kebebasannya.
Sementara derajat dan kemampuan akal manusia sudah diturunkan hanya menjadi
alat untuk kepentingan dirinya sendiri. Kata Kolakowski, sekarang kita tidak
takut lagi akan komunisme tapi akan serba ketidakpastian, karena kita telah
menggerogoti dasar-dasar terdalam hidup kita, dimana seharusnya dibagun
kepercayaan akan kehidupan. kepercayaan itu hilang. Gantinya adalah ketakutan
yang serba tidak jelas dan menentu.
Kolakowski
juga mengkritik pemikiran liberal yang merebak dalam kapitalisme. Pemikiran
liberan yakin bahwa yang jahat bisa ditiadakan begitu saja. Menurut Kolakowski
itu mustahil sebab yang jahat itu masuk lewat celah dunia. Yang tidak kita
ketahui tapi harus kita waspadai. Pendeknya, kita harus bisa hidup dalam
konflik antara yang baik dan yang jahat. Konflik itu membuat kita berani
menerima perbedaan dan ketidak cocokan. Itulah dasar toleransi, yang akan membuat
kita memeluk kebaikan tanpa kecurigaan, menjadi berani tanpa fanatisme, hidup
dengan kecerdasan tanpa keraguan, serta memupuk harapan tanpa setumpuk
khayalan.
Begitulah
Kolakowski, filsuf yang terus gelisah sampai akhir hayatnya. Memang,
kegelisahan yang terus bertanya adalah ciri khas filsafat.
Reproduksi dari:
Majalah
BASIS Nomor 09-10, Tahun Ke-58,
September – Oktober 2009
Rubrik
“Tanda-Tanda Zaman” Hal 03
No comments:
Post a Comment