[Bag 2] Ibadah Sebagai Institusi Iman - artikel Nurcholish Madjid - Arsip Kita

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here
google-site-verification: google687231134d15a242.html

Tuesday, July 10, 2018

[Bag 2] Ibadah Sebagai Institusi Iman - artikel Nurcholish Madjid

foto: Nurcholish Madjid


Fitrah Manusia dan Ibadat

          Sebagai pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadat yang juga mengandung arti pengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni, hal yang secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan alam kejadian asalnya sendiri. Karena itu perpindahan dari satu bentuk tindakan ubudiyah ke bentuk yang lain dapat dilihat sebagai tindakan subtitutif belaka. Hal itu demikian karena dalam kenyataan hidup manusia hampir tidak ada individu yang bebas sama sekali dari suatu bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ubudiyah atau devotional. Jika seseorang tidak melakukan suatu bentuk tindakan ubudiyah tertentu yang standar (seperti shalat dalam islam, misalnya), maka ia tentu melakukan tindakan ubudiyah yang lain (seperti telah disebutkkan, kecenderungan amat kuat pada kaum komunis untuk mengagungkan pemimpin mereka).

                Maka sama halnya dengan semua kecenderungan natural, kecenderungan manusia untuk melakukan tindakan ubudiyah harus disalurkan secara benar. Dan salah satu batu penguji kebenaran suatu tindakan ubudiyah ialah bahwa ia harus berdampak peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan individu bersangkutan. Ibadah yang benar tentunya tidak akan berdampak pengekangan dan pembelengguan individu seperti yang ada pada system-sistem mitologis.

                Itu berarti bahwa ubudiyah harus ditujukan hanya kepada Wujud yang maha tinggi, yang benar-benar merupakan “superior” manusia karena dia adalah Khaliknya, sementara manusia adalah makhluk-Nya (meskipun, malah justru puncak makhluk-Nya). Selanjutnya tindakan ubudiyah harus hanya ditujukan kepada dia yang keyakinan, kesadaran dan pengalaman akan kehadiran-Nya dalam hidup menghasilkan ketulusan untuk berbuat sesuatu guna memperoleh “perkenan”-Nya, yaitu amal yang saleh.

                Dari perspektif ini maka ibadat merupakan lambang pengagungan seorang hamba kepada khalikNya serta pernyataan akan penerimaan hamba itu akan tuntutan moral-Nya. Melalui ibadat itu seorang hamba mengharap bahwa al-Khaliq akan menolong dan membimbing hidupnya menempuh jalan menuju kebenaran. Di hadapan-nya itu seorang individu menyadari bahwa dalam menghadapi tantangan hidup bermoral yang tak terhindarkan itu ia memerlukan rahmat dan keutamaan dari Allah, karena manusia tidak mungkin mencari dan menemukan sendiri secara sempurna dan tuntas jalan kebenaran itu tanpa bimbingan-Nya.

cover buku Islam Doktrin Peradaban

Ibadat dan Religiositas

Dalam al-Quran tedapat penuturan mengenai nabi Yaqub (yang bergelar Isra’il yakni abd Allah atau hamba Allah, konon karena sangat rajin beribadat) yang bertanya kepada anak anaknya sewaktu menghadapi sekarat maut: “Adakah kamu menjadi saksi tatkala maut menghmpiri Yakub, ketika ia bertanya kepada anak anaknya, apakah yang kamu sembah (beribadat kepadanya) sesudahku? Mereka menjawab, ‘ kami menyembah (beribadat kepada) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, ismail dan Ishaq yaitu Tuhan yang maha esa dan kami semua pasrah kepadaNya.’’’ Dari penuturan kitab suci itu tergambar tindakan ubudiyah yang harus disertai dengan sikap pasrah sepenuhnya (islam) kepada sesembahan (al-ma’bud yaitu Allah, Tuhan yang maha esa) itu. Sebab melakukan tindakan ubudiyah tanpa disertai sikap pasrah yang tulus akan membatalkan makna tindakan itu sendiri yaitu pengalaman kedekatan dan keakraban dengan al-khaliq sang maha pencipta. Pengalaman inilah yang menjadi sumber getaran jiwa seorang yang beriman setiap kali disebut nama Tuhan, yang menimbulkan dalam hati seorang yang percaya sikap apresiatif yang mendalam setiap kali ekspresi keagamaan itu seperti firman-firman, diperdengarkan orang dan yang membimbing kepada kerinduan untuk menyandarkan diri dan mempertaruhkan seluruh hidupnya kepada maha pencipta dan maha Pelindungnya. Dalam kesadaran akan kehadiran Tuhan Maha pencipta dalam hidupnya itulah seorang manusia menemukan hakikat dirinya.

Salah satu bentuk ibadat yang amat simbolik untuk kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup manusia ialah shalat. Adalah membina “kontak” dengan Tuhan itu yang menjadi tujuan utama shalat (yaitu tujuan intrisiknya seperti telah dikemukakan diatas), Sebagaimana hal itu jelas dalam perintah Tuhan kepada nabi Musa. Dan perkataan shalat sendiri secara harfiah berarti seruan, sama dengan arti perkataan” do’a yakni seruan seorang hamba kepada tuhan, Pencipta seluruh alam.

Kemudian, shalat yang diberi batasan sebagai “sekumpulan bacaan dan tingkah laku yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan taslim itu juga amat simbolik intuk ketundukan (tha’ah, taat) dan kepasrahan (islam) seseorang kepada Tuhan. Setelah takbir pembukaan dalam shalat seseorang dituntut agar seluruh sikap dan perhatiannya ditujukan semata-mata hanya kepada obyek seruan yaitu Pencipta seluruh alam raya itu dalam sikap sebagai seorang hamba yang sedang menghadap Tuhannya. Sikap lahir dan batin yang tidak relevan menghadap tuhan menjadi terlarang (maka takbir pertama itu disebut takbirat al-ihram). Dengan begitu maka dalam momen shalat itu seseorang, karena didominasi oleh kontaknya dengan Tuhan yang berdimensi vertikal, dilepaskan dari dimensi horizontal, termasuk segi-segi sosial hidup itu.

Dalam momen shalat itu seorang hamba diharapkan menghayati sedalam-dalamnya kehadiran Tuhan dalam hidup ini, “seolah-olah engkau melihat-Nya, dan kalau pun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau. Dengan sikap-sikap badaniah seperti ruku’ dan sujud yang disertai penempelan kening pada permukaan tanah dalam sujud itu, kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan dengan kerendahan hati itu dinyatakan sejelas-jelasnya, disertai bacaan-bacaan suci yang seakan-akan dirancang sebagai dialog dengan-Nya. Maka tidak berlebihan bahwa shalat yang sempurna itu, yaitu yang dilakukan dengan kekhusyukan dan kehadiran hati yang disertai ketenangan (thuma’ninah) seluruh anggota badan, seperti dikatakan oleh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, adalah pernyataan iman yang sempurna. Shalat itu membentuk rasa keagamaan satu religiositas yang sangat tinggi.

Selanjutnya religiositas itu dapat berimplikasi luas sekali dalam hidup ini, baik hidup lahiriah maupun batiniah. Disebabkan oleh ketenangan jiwa karena komunikasi dengan Tuhan, Maka orang yang melakukan shalat dengan patuh akan memiliki jiwa yang lebih seimbang, penuh harapan namun tidak kehilangan kesadaran dirri atau sombong karena “ia tidak berkeluh kesah ketika ditimpa kemalangan dan tidak menjadi kikir jika sedang mengalami keberuntungan.

Maka dari itu shalat yang berhasil akan mempunyai dampak membentuk sikap jiwa yang bebas dari kekuatiran tidak pada tempatnya menghadapi hidup. Ini bukan saja karena iman, seperti ditegaskan dalam kitab suci, senantiasa dikaitkan dengan harapan (sebagaimana keingkaran kepada Tuhan atau kufur dikaitkan dengan keputusasaan), tapi juga karena seseorang yang benar-benar tumbuh dalm dirinya kemantapan dalam mengorientasikan hidupnya demi mencapai ridla Tuhan semata (akibat antara lain diresapinya makna shalat). “para malaikat akan turun kepada mereka itu (dan membisikkan), Hendaknya kamu jangan takut dan jangan pula kuatir, dan berbahagialah kamu dengan adanya surge yang dijanjikan untuk kamu. Kami para malaikat inilah kawan-kawanmu semua didalam kehidupan dunia dan dalm (kehidupan) akhirat. . .

Secara keagamaan, pengalaman ditemani malaikat harus dihayati sebagai nyata. Meskipun para failasuf (muslim) akan lebih menginterprestasikannya secara metaforikal, pengalaman itu tetap mempunyai implikasi kongkret dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman itu jelas merupakan kelanjutan atau konsistensi dari adanya harapan kepada Tuhan dan perlindungan-Nya. Maka kalau pun orang yang bersangkutan harus menderita, derita itu dipandangnya sebagai pengalaman manusiawi biasa yang dapat terjadi pada setiap orang, sedangkan ia sendiri dalam penderitaannya itu tetap berkepercayaan dan berpengharapan kepada Tuhan, yang mungkin sikap itu justru tidak ada pada orang lain.

Dari semua yang dicoba menguraikannya diatas itu dapat dibuat kesimpulan bahwa shalat, demikian pula bentuk ibadat lain seperti misalnya puasa dan haji bersangkutan kuat sekali dengan keteguhan jiwa dan ketabahan hati menempuh hidup karena adanya harapan kepada Tuhan. Sedangkan harapan kepada Tuhan itu sendiri adalah justru salah satu makna iman, yang antara lain menghasilkan rasa aman (al-iman menghasilkan al-amn). Kemudian rasa aman dan terlindung oleh Tuhan itu akan menjadi bekal mewujudkan cita-cita menempuh dhidup bermoral , yaitu hidup yang disemangati oleh kesadaran sosial yang setinggi-tingginya (kesadaran sosial itu misalnya dilambangkan oleh ucapan salam di akhir shalat dengan menengok kanan-kiri, oleh zakat fitrah di akhir bulan Ramadlan, dan oleh pakaian ihram yang serba egaliter dalam ‘umrah dan haji, serta dalm penunaian kewajiban membayar zakat). Sebagaimana telah dikemukakan, ibadah yang tidak melahirkan kesadaran sosial itu ((suatu perwujudan nyata terpenting hidup bermoral)) akan kehilangan maknanya yang hakiki, sehingga pelaku suatu bentuk ibadat formal tanpa kesadaran sosial itu justru terkutuk oleh Tuhan.

Karena efeknya bagi peneguhan hati dan ketenangan jiwa yang melandasi optimism dalam menempuh hidup yang sering tidak gampang ini, maka ibadat khususnya shalat, seperti halnya dengan ketabahan dan ketahanan mental, merupakan salah satu sumber daya keruhanian manusia dalam menghadapi kesulitan. Kreatifitas dan daya cipta serta resourcefulness dalam mencari pemecahan masalah hidup misalnya akan tumbuh semakin kuat dalam diri pribadi yang mantap karena taqwa. Maka ibadat sebagai pernyataan perjalanan seluruh hidup seseorang menuju Tuhan, jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan konsistensi (istiqamah), akan membuat hidup kerta raharja, karena rasa aman berdasarkan iman. Sebab ibadat adalah pelembagaan atau institusionalisasi iman.


Catatan : Q., s. al-Dzariyat/51:56, “Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengabdi (beribadat) kepada-Ku.”


No comments:

Post a Comment

Artikel lainnya

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here

Pages