foto: Nurcholish Madjid |
Fitrah Manusia dan Ibadat
Sebagai
pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadat yang juga mengandung arti
pengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni, hal yang secara
inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan alam kejadian asalnya
sendiri. Karena itu perpindahan dari satu bentuk tindakan ubudiyah ke bentuk
yang lain dapat dilihat sebagai tindakan subtitutif belaka. Hal itu demikian
karena dalam kenyataan hidup manusia hampir tidak ada individu yang bebas sama
sekali dari suatu bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ubudiyah
atau devotional. Jika seseorang tidak melakukan suatu bentuk tindakan ubudiyah
tertentu yang standar (seperti shalat dalam islam, misalnya), maka ia tentu
melakukan tindakan ubudiyah yang lain (seperti telah disebutkkan, kecenderungan
amat kuat pada kaum komunis untuk mengagungkan pemimpin mereka).
Maka sama halnya dengan semua kecenderungan natural, kecenderungan manusia
untuk melakukan tindakan ubudiyah harus disalurkan secara benar. Dan salah satu
batu penguji kebenaran suatu tindakan ubudiyah ialah bahwa ia harus berdampak
peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan individu bersangkutan. Ibadah yang
benar tentunya tidak akan berdampak pengekangan dan pembelengguan individu seperti
yang ada pada system-sistem mitologis.
Itu berarti bahwa ubudiyah harus ditujukan hanya kepada Wujud yang maha tinggi,
yang benar-benar merupakan “superior” manusia karena dia adalah Khaliknya,
sementara manusia adalah makhluk-Nya (meskipun, malah justru puncak
makhluk-Nya). Selanjutnya tindakan ubudiyah harus hanya ditujukan kepada dia
yang keyakinan, kesadaran dan pengalaman akan kehadiran-Nya dalam hidup
menghasilkan ketulusan untuk berbuat sesuatu guna memperoleh “perkenan”-Nya, yaitu
amal yang saleh.
Dari perspektif ini maka ibadat merupakan lambang pengagungan seorang hamba
kepada khalikNya serta pernyataan akan penerimaan hamba itu akan tuntutan
moral-Nya. Melalui ibadat itu seorang hamba mengharap bahwa al-Khaliq akan
menolong dan membimbing hidupnya menempuh jalan menuju kebenaran. Di
hadapan-nya itu seorang individu menyadari bahwa dalam menghadapi tantangan
hidup bermoral yang tak terhindarkan itu ia memerlukan rahmat dan keutamaan
dari Allah, karena manusia tidak mungkin mencari dan menemukan sendiri secara
sempurna dan tuntas jalan kebenaran itu tanpa bimbingan-Nya.
cover buku Islam Doktrin Peradaban |
Ibadat dan Religiositas
Dalam
al-Quran tedapat penuturan mengenai nabi Yaqub (yang bergelar Isra’il yakni abd
Allah atau hamba Allah, konon karena sangat rajin beribadat) yang bertanya
kepada anak anaknya sewaktu menghadapi sekarat maut: “Adakah kamu menjadi saksi
tatkala maut menghmpiri Yakub, ketika ia bertanya kepada anak anaknya, apakah
yang kamu sembah (beribadat kepadanya) sesudahku? Mereka menjawab, ‘ kami
menyembah (beribadat kepada) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, ismail
dan Ishaq yaitu Tuhan yang maha esa dan kami semua pasrah kepadaNya.’’’ Dari
penuturan kitab suci itu tergambar tindakan ubudiyah yang harus disertai dengan
sikap pasrah sepenuhnya (islam) kepada sesembahan (al-ma’bud yaitu Allah, Tuhan
yang maha esa) itu. Sebab melakukan tindakan ubudiyah tanpa disertai sikap
pasrah yang tulus akan membatalkan makna tindakan itu sendiri yaitu pengalaman
kedekatan dan keakraban dengan al-khaliq sang maha pencipta. Pengalaman inilah
yang menjadi sumber getaran jiwa seorang yang beriman setiap kali disebut nama
Tuhan, yang menimbulkan dalam hati seorang yang percaya sikap apresiatif yang
mendalam setiap kali ekspresi keagamaan itu seperti firman-firman,
diperdengarkan orang dan yang membimbing kepada kerinduan untuk menyandarkan
diri dan mempertaruhkan seluruh hidupnya kepada maha pencipta dan maha
Pelindungnya. Dalam kesadaran akan kehadiran Tuhan Maha pencipta dalam hidupnya
itulah seorang manusia menemukan hakikat dirinya.
Salah
satu bentuk ibadat yang amat simbolik untuk kesadaran akan kehadiran Tuhan
dalam hidup manusia ialah shalat. Adalah membina “kontak” dengan Tuhan itu yang
menjadi tujuan utama shalat (yaitu tujuan intrisiknya seperti telah dikemukakan
diatas), Sebagaimana hal itu jelas dalam perintah Tuhan kepada nabi Musa. Dan
perkataan shalat sendiri secara harfiah berarti seruan, sama dengan arti
perkataan” do’a yakni seruan seorang hamba kepada tuhan, Pencipta seluruh alam.
Kemudian,
shalat yang diberi batasan sebagai “sekumpulan bacaan dan tingkah laku yang
dibuka dengan takbir dan ditutup dengan taslim itu juga amat simbolik intuk
ketundukan (tha’ah, taat) dan kepasrahan (islam) seseorang kepada Tuhan.
Setelah takbir pembukaan dalam shalat seseorang dituntut agar seluruh sikap dan
perhatiannya ditujukan semata-mata hanya kepada obyek seruan yaitu Pencipta
seluruh alam raya itu dalam sikap sebagai seorang hamba yang sedang menghadap
Tuhannya. Sikap lahir dan batin yang tidak relevan menghadap tuhan menjadi
terlarang (maka takbir pertama itu disebut takbirat al-ihram). Dengan begitu
maka dalam momen shalat itu seseorang, karena didominasi oleh kontaknya dengan
Tuhan yang berdimensi vertikal, dilepaskan dari dimensi horizontal, termasuk
segi-segi sosial hidup itu.
Dalam
momen shalat itu seorang hamba diharapkan menghayati sedalam-dalamnya kehadiran
Tuhan dalam hidup ini, “seolah-olah engkau melihat-Nya, dan kalau pun engkau
tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau. Dengan sikap-sikap
badaniah seperti ruku’ dan sujud yang disertai penempelan kening pada permukaan
tanah dalam sujud itu, kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan dengan kerendahan
hati itu dinyatakan sejelas-jelasnya, disertai bacaan-bacaan suci yang
seakan-akan dirancang sebagai dialog dengan-Nya. Maka tidak berlebihan bahwa
shalat yang sempurna itu, yaitu yang dilakukan dengan kekhusyukan dan kehadiran
hati yang disertai ketenangan (thuma’ninah) seluruh anggota badan, seperti
dikatakan oleh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, adalah pernyataan iman yang sempurna.
Shalat itu membentuk rasa keagamaan satu religiositas yang sangat tinggi.
Selanjutnya
religiositas itu dapat berimplikasi luas sekali dalam hidup ini, baik hidup
lahiriah maupun batiniah. Disebabkan oleh ketenangan jiwa karena komunikasi
dengan Tuhan, Maka orang yang melakukan shalat dengan patuh akan memiliki jiwa
yang lebih seimbang, penuh harapan namun tidak kehilangan kesadaran dirri atau
sombong karena “ia tidak berkeluh kesah ketika ditimpa kemalangan dan tidak
menjadi kikir jika sedang mengalami keberuntungan.
Maka
dari itu shalat yang berhasil akan mempunyai dampak membentuk sikap jiwa yang
bebas dari kekuatiran tidak pada tempatnya menghadapi hidup. Ini bukan saja
karena iman, seperti ditegaskan dalam kitab suci, senantiasa dikaitkan dengan
harapan (sebagaimana keingkaran kepada Tuhan atau kufur dikaitkan dengan
keputusasaan), tapi juga karena seseorang yang benar-benar tumbuh dalm dirinya
kemantapan dalam mengorientasikan hidupnya demi mencapai ridla Tuhan semata
(akibat antara lain diresapinya makna shalat). “para malaikat akan turun kepada
mereka itu (dan membisikkan), Hendaknya kamu jangan takut dan jangan pula
kuatir, dan berbahagialah kamu dengan adanya surge yang dijanjikan untuk kamu.
Kami para malaikat inilah kawan-kawanmu semua didalam kehidupan dunia dan dalm
(kehidupan) akhirat. . .
Secara
keagamaan, pengalaman ditemani malaikat harus dihayati sebagai nyata. Meskipun
para failasuf (muslim) akan lebih menginterprestasikannya secara metaforikal,
pengalaman itu tetap mempunyai implikasi kongkret dalam kehidupan sehari-hari.
Pengalaman itu jelas merupakan kelanjutan atau konsistensi dari adanya harapan
kepada Tuhan dan perlindungan-Nya. Maka kalau pun orang yang bersangkutan harus
menderita, derita itu dipandangnya sebagai pengalaman manusiawi biasa yang
dapat terjadi pada setiap orang, sedangkan ia sendiri dalam penderitaannya itu
tetap berkepercayaan dan berpengharapan kepada Tuhan, yang mungkin sikap itu
justru tidak ada pada orang lain.
Dari
semua yang dicoba menguraikannya diatas itu dapat dibuat kesimpulan bahwa
shalat, demikian pula bentuk ibadat lain seperti misalnya puasa dan haji
bersangkutan kuat sekali dengan keteguhan jiwa dan ketabahan hati menempuh
hidup karena adanya harapan kepada Tuhan. Sedangkan harapan kepada Tuhan itu
sendiri adalah justru salah satu makna iman, yang antara lain menghasilkan rasa
aman (al-iman menghasilkan al-amn). Kemudian rasa aman dan terlindung oleh
Tuhan itu akan menjadi bekal mewujudkan cita-cita menempuh dhidup bermoral ,
yaitu hidup yang disemangati oleh kesadaran sosial yang setinggi-tingginya
(kesadaran sosial itu misalnya dilambangkan oleh ucapan salam di akhir shalat
dengan menengok kanan-kiri, oleh zakat fitrah di akhir bulan Ramadlan, dan oleh
pakaian ihram yang serba egaliter dalam ‘umrah dan haji, serta dalm penunaian
kewajiban membayar zakat). Sebagaimana telah dikemukakan, ibadah yang tidak
melahirkan kesadaran sosial itu ((suatu perwujudan nyata terpenting hidup
bermoral)) akan kehilangan maknanya yang hakiki, sehingga pelaku suatu bentuk
ibadat formal tanpa kesadaran sosial itu justru terkutuk oleh Tuhan.
Karena
efeknya bagi peneguhan hati dan ketenangan jiwa yang melandasi optimism dalam
menempuh hidup yang sering tidak gampang ini, maka ibadat khususnya shalat,
seperti halnya dengan ketabahan dan ketahanan mental, merupakan salah satu
sumber daya keruhanian manusia dalam menghadapi kesulitan. Kreatifitas dan daya
cipta serta resourcefulness dalam mencari pemecahan masalah hidup
misalnya akan tumbuh semakin kuat dalam diri pribadi yang mantap karena taqwa.
Maka ibadat sebagai pernyataan perjalanan seluruh hidup seseorang menuju Tuhan,
jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan konsistensi (istiqamah), akan membuat
hidup kerta raharja, karena rasa aman berdasarkan iman. Sebab ibadat adalah
pelembagaan atau institusionalisasi iman.
Catatan
: Q., s. al-Dzariyat/51:56, “Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka mengabdi (beribadat) kepada-Ku.”
No comments:
Post a Comment